Bulan purnama bersinar semakin teran diatas sana. Menandakan malam semakin larut. Ke-3 putri tuan Canara itu belum ada yang tidur sama sekali. Mata ke-3-nya masih terjaga, bahkan tidak ada rasa kantuk sama sekali.
Ke-3 gadis itu masih melangkah walaupun tak tahu arah, berusaha mencari sang nenek dalam gelapnya malam. Sesekali Rama menundukan kepala saat ia tak sengaja melihat sesuatu yang selalu ia benci untuk di lihat.
Hanya lampu senter yang menemani ke-3-nya. Angin bertiup semakin kencang. Rora mengeratkan jaketnya.
"Apa yang bakal aku ucapin kalau ayah sama bunda nanyain nenek..." Pikir Raisa sedari tadi. Ia hanya mengenakan kaos putih lengan panjang, seakan tidak peduli dengan cuaca yanga semakin dingin, bahkan bibir nya sudah mengigil. Matanya sesekali melirik jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan nya.
Pukul 10.45 malam. Dan nek Yati belum di temukan. Tidak ada yang bisa membantu mereka di jam selarut ini. Rora mendengus sebal, dia sudah kesal sejak tadi. "Kak! kenapa kita gak mencar aja? biar hemat waktu" ujar Rora yang sudah kesal sedari tadi. Mendengar usulan si bungsu Raisa sedikit memikir kan resiko nya.
"Kalian gak papa emang?" tanya Raisa. Mata nya menatap kedua adik nya itu, terutama Rama. "Kalau Rora ngusulin berarti Rora berani" Jawab Rora yakin. Gadis cantik itu tidak pernah tahu apayang menunggunya. "Kalau Rama sih terserah. Kalau emang dengan mencara ada kemungkinan buat kita nemuin nenek , kenapa gak di coba?" Jawab Rama meyakinkan sang kakak. Raisa mengangguk.
"Inget, komunikasi yang paling penting. Dari sini kita mencar, kakak kasih waktu sampai jam setengah satu malam, ketemu gak ketemu kita kembali kumpul di pintu dan balik bareng" Pesan Raisa pada ke-2 adik nya sebelum mereka berpencar.
***
Suara desir angin malam menerpa dedaunan. Ia berjalan tak tentu arah. Sorot matanya sama seklai tidak menyiratkan rasa kantuk. Jika ditanya dia lelah? tentu saja iya. Ditambah rasa khawatir yang berkeamuk didadanya.
Matanya melirik sekilas jam tangan nya. pukul 11.00 malam, selang 15menit sejak ia berpencar dengan ke-2 adik nya. Lampu senternya setia menyala. Jujur saja Raisa ingin sekali mengakhiri semua ini, ia sudah hampir menyerah di malam pertama.
***
Rama POV
Jika ditanya apakah aku lelah? jawabannya tentu saja. Siapa yang tidak merasa lelah jika sedari tadi hanya berjalan tak tentu arah, di halaman belakang yang luasnya seperti 3 lapangan sepakbola yang dijejer menjadi satu lapangan yang sangat luas, bahkan bisa untuk membangun rumah baru. Tidak lupa dengan pohon-pohon yang tumbuh sangat lebat disini, jangan lupa garis besari bahwa di sini TIDAK ADA PENERANGAN SAMA SEKALI.
Sebenarnya aku sangat benci jika harus berlibur di tempat seperti ini. Banyak arwah yang menggangguku sejak tadi, awal datang ke rumah besar ini. Seperti saat ini, disampingku sudah ada satu arwah cerewet yang memang sudah ngikutin aku sejak dari rumah ku dipusat kota.
"Kenapa kamu sama saudara mu rela membuang waktu tidur demi mencari nenek tua penyakitan itu?" itu salah satu pertanyaan yang keluar dari mulut sobek nya yang pengen kubuat semakin sobek saja.
Aku diam tidak menanggapi pertanyaan nya sama sekali. Yang di otak ku sekarang hanya ada nenek yang entah ada dimana. Arwah laki-laki disampingku masih sibuk berceloteh entah tentang apa disamping ku.
Netra ku enyusuri setiap inci jalanan yang ku lewati. Tetap fokus pada tujuan awal ku, mencari nenek. Sinar pencahayaan dari lampu senter yang ku bawa, menyapu jalanan yang ku lewati.
Seertinya aku sudah dalam memasuki halaman belakang ini. Seingat ku, seoranh penjaga pernah biang jika area selatan halaman belakang di batasi dengan sebuah gudang tua yang jarang disentuh. Tapi, dimana gudang tua itu? Aku rasa sudah terlalu jauh berjalan kearah selatan.
Tunggu, dimana anak laki-laki itu? Kenapa tiba-tiba menghilang. Bukannya tadi dia masih berceloteh tidak jelas di samping ku. Eh. Tunggu. Ini bukan kawasan halaman belakang lagi. Ini hutan. Aku melewati batas, ini gawat.
Aku memutuskan untuk mengjentikan langkah ku. Tangan ku mencengkram kuat pegangan sentwr itu. Mata ku menatal awas sekeliling ku. Kak Isa tolong.
Srak!
Sial. Suara apa itu? Atmosfer di sekitar sinj mulai menegangkan. Ini menakutkan. Tapi aku berusaha untuk memberanikan diri.
Srak!
Suara itu dari arah kanan ku, aku mendengarnya. Tapi, disana tidak ada apa-apa. Aku memutuskan untuk menyusuri kesisi kanan ku. Selangkah demi selangkah kaki ku, ku arah kan kearah sumber suara.
"Hei! Jangan kesana!" keala ku spontan menoleh ke belakang. Hei! Itu arwah anak laki-laki tadi. Dari mana dia?
"Jangan kerah sana! Percayalah ada ku" Bisakah aku mempercayainya? Aku menaikkan satu alis ku sebagai tanda tanya. Anak laki-laki itu terlihat cemas.
"Aku mohon.." pintanya. Dimana mulutnya yang cerewet? Aku merasa iba melihatnya seperti itu. Menatap sebentar ke arah yang ingin ku tuju tadi dan kembali menatap anak laki-laki itu. Memutuskan untuk melangkah kearah nya. Tidak ada salahnya jika kali ini saja aku mempercayai makhluk sepertinya, jika ini demi keselamatan ku, dan aku bisa menemukan nenek.
"Untung saja kamu gak jadk kearah sana.." ucapnya. Ini sedikit menakutkan melihat makhluk sepertinya dengan wajah cemas. "Ayo ikuti aku.." ajak nya. Aku mengangguk dan mulai mengikutinya berjalan di belakangnya. Aku hanya bisa berharap untuk selamat sekarang.
End
***
Grrr...
Suara erangan itu menakutkan. Membuat malam yang gelap ini semakin mencekam. Sepasang manik merah menyala dari sela-sela dinding kayu gudang tua yang gelap dan terpencil. Netra merah itu menatap nyalang seseorang gadis yang berjalan sendirian di tengah gelalnya malam.
"Rro..ssa...rrramm...."
***