2.

10 1 0
                                    

Randa tersenyum canggung dihadapan Bu Maryam. Guru senior berkacamata kotak itu menautkan kedua telapak tangan nya seraya menghela napas panjang.

"Tidak ada peningkatan apapun semenjak UTS, Bu," kata Bu Maryam membuat Randa menggigit bagian dalam mulutnya. "Kalau seperti ini terus, Serafin terancam tidak bisa ikut ujian nasional."

"Menurut Bu Guru, apa yang harus saya lakukan? Saya sudah mendaftarkan Serafin di tempat bimbingan belajar. Bisa dihitung sudah 5 kali saya mendaftarkan Serafin di tempat yang berbeda, sempat juga les privat di rumah. Tapi, hasilnya masih sama aja?" Nada frustasi yang keluar dari mulut Randa membuat Bu Maryam mengangguk-angguk.

________

"Mam, aku udah booking kursi di travel nya Una!" Ujar Serafin mengepalkan tangannya di atas paha. Randa tidak menoleh sedikitpun, ia fokus dengan stir di tangannya. Serafin memajukan bibirnya, tangannya menyilang di depan dada.

"Sera pakai uang yang dikasih Papa kok! Lagian ke Jogja nya cuma 4 hari. Bukan cuma Sera sendiri, ada Una, Shasa sama Fiona. Mama nggak usah khawatir lebay gitu deh!"

"Sejak kapan Una punya travel?" tanya Randa lagi-lagi tanpa menoleh. "Kamu kalau mau bohong yang pinter dikit deh, Ser. Kamu kira mama ini orang dungu? Mama kenal sama orangtua nya Una. Nggak ada tuh mereka punya agen travel. Mana nggak jelas pula."

"I-itu travel punya mantan montir nya ayah Una."

"Nah, kan, beda lagi," decih Randa.

"Kalau yang itu betulan, Ma!"

"Aduuuhhh...." Randa menggelengkan kepalanya. Randa mengatur dirinya agar tetap fokus dengan stir dan jalan yang di depannya. "Kamu tau nggak sih, Sera? Mama nggak pernah, ya, ngatain kamu bodoh atau apa lah segala macem. Tapi, ya, kamu sadar dong, Seraaa... Apa kamu nggak malu peringkat 29 dari 30 orang di kelas?"

"Kan, masih mending 29, Ma," kata Serafin pelan. "Berarti Sera bukan yang paling akhir banget, kan?"

"Nggak ada yang mendingan Serafinnn.... Mama udah masukin kamu ke bimbel berapa kali coba? Masa nggak ada yang nyantol sedikit sih di otak kamu?"

Serafin terdiam. Sejak tadi ia selalu melakukan pembelaan atas dirinya, tetapi kali ini ia hanya bisa diam. Sudah beberapa kali ia keluar masuk tempat bimbingan belajar yang berbeda, tetapi, hasilnya tetap 0. Itu karena Serafin tidak pernah hadir di tempat bimbingan belajar. Serafin membolos. Sebagai gantinya, Reyna–adik kelas Serafin, menggantikan Serafin di kelas. Dan itu semua tanpa sepengetahuan Randa. Serafin bersekongkol dengan pihak tempat bimbingan belajar.

Setelah itu ia bebas pergi kemana saja. Lebih tepatnya ia sering menghabiskan waktu kecurangannya itu di taman atau warnet di samping rumah Una. Serafin tidak suka belajar. Lebih tepatnya tidak lagi suka. Baginya membahas mata pelajaran adalah hal yang membosankan.

Bahkan Serafin sempat mengutarakan keinginannya untuk berhenti sekolah. Namun, Randa berkata 'mau jadi apa kamu Sera, lulus SMA aja nggak? Kamu mau hancurin harga diri mama?'

Semenjak itu Randa giat mencari tempat bimbingan belajar yang bersertifikat bahkan dengan biaya yang tidak murah. Namun, dengan itu Serafin semakin yakin, Randa sama sekali tidak mengerti apa masalahnya.

"Paling nggak lulus SMA aja deh, Ser. Setelah itu terserah kamu. Kamu mau jadi pelayan restoran atau tukang antar barang juga terserah kamu," ucap Randa seraya membelokkan stirnya.

Mobil sedan itu berhenti di atas tanah parkir supermarket. Randa melepas sabuk pengaman yang melekat ditubuhnya. Sedangkan Serafin hanya diam dan sama sekali tidak bergerak.

Randa menghela napas panjang. "Satu lagi, ya, Serafin! Mama nggak ijinin kamu kemana-mana di libur semester ini. Nggak ada keluar kota! Nggak ada ke Jogja! Kalau teman-teman kamu mau pergi, ya silahkan mereka pergi. Tapi kamu nggak! Mama akan cari alternatif lain supaya otak kamu jalan walaupun sedikit!"

Suara pintu mobil yang tertutup kencang membuat Serafin memejamkan matanya. Egois. Terkadang ia menyebut Randa seperti itu.

Serafin tidak ingin menyusul Randa ke dalam supermarket. Setelah mendapat ocehan panjang yang membuatnya terdiam, Serafin memutuskan keluar dari mobil. Berjalan kearah gerbang keluar, Serafin melangkah kearah penjual kaki lima.

"Bang, kopi moca nya 1, ya," kata Serafin. Bapak bertopi itu mengangguk seraya membuatkan minuman kopi sachet milik Sera ke dalam cup plastik.

Bisa saja Serafin masuk ke area pintu masuk supermarket, melipir ke kedai kopi dan meminumnya disana, namun ia memilih disini. Di samping halte bus, di hadapan penjual kaki lima yang menjajakan jualannya. Serafin sudah terbiasa meminum kopi sachet rasa moca. Karena saat di warnet, ia selalu memesan minuman itu untuk menemaninya bermain game Point Blank atau saat berselancar di Facebook.

Kopi itu sudah jadi. Serafin menyodorkan uang senilai tiga ribu ke bapak bertopi itu. Sambil duduk di atas besi yang melintang, Serafin menatap apa saja yang terlintas di hadapannya. Seperti menatap mobil angkutan umum yang mengantri di depan halte, motor-motor yang lincah membelah kemacetan, atau sekedar iseng menghitung mundur waktu lampu merah di seberang jalan sana.

Tak luput juga tentang keributan kecil di halte sesaat sebelum angkutan umum datang. Seorang gadis berambut panjang menunduk, tak sanggup melawan Omelan seorang ibu-ibu berkacamata. Dengar-dengar Omelan ibu itu lebih pedas dibandingkan Randa, pikir Serafin. Tak lama, angkutan umum berwarna putih itu datang. Si gadis memilih masuk ke dalam angkutan putih itu, menghiraukan si ibu-ibu yang masih saja melontarkan kata-kata yang tak jelas. Tak lama metro mini datang, dan ibu-ibu itu masuk ke dalam. Tersisa beberapa orang bapak-bapak yang hanya terkikik menertawakan si ibu-ibu tadi.

Serafin hanya memandangnya dari sini. Ia tidak ingin ikut campur. Berdebat dengan Randa saja ia kewalahan, apalagi dengan ibu-ibu itu. Serafin hanya takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kalau dengan beradu mulut tidak bisa menyelesaikan masalah.

Adu tonjok-menonjok mungkin.

Lima belas menit telah berlalu, kopi di cup plastik itu sudah tandas. Serafin kembali melangkah ke arah supermarket. Dilihatnya dari jauh Randa sudah membuka pintu mobil bagian tengah dengan tangan kiri yang masih memegang troli belanjaan.

Walaupun masih kesal, Serafin dengan perlahan membantu memasukkan barang belanjaan itu ke dalam mobil. Randa meliriknya diam-diam. Anak dan ibu itu memiliki sifat yang sama. Walaupun dalam keadaan kesal satu sama lain, rasa peduli atau kasihan terkadang masih ada. Dan Serafin mewarisi sifat yang sama dari Randa.

"Mulai besok jangan kemana-mana, ya, Ser," kata Randa setelah selesai mengembalikan troli ke ujung parkiran.

Serafin hanya berdehem sebagai jawaban, ia memutar jalan menuju pintu depan.

"Denger mama ngomong nggak?!" tanya Randa dengan nada tinggi.

"Iya, denger, Mamaaaa." Serafin menarik napasnya dalam. Ia tidak ingin terpancing.

"Makanya nyahut! Jangan ha hem ha hem doang!" Alis Randa berkerut. Wanita berusia 43 tahun itu masuk ke dalam mobil dengan tangan memegang papper bag berwarna cokelat muda. Dengan cepat Randa menyerahkan papper bag itu kearah Serafin. "Nih!"

Serafin melirik sekilas. Aroma donat kentang kesukaan nya menguar. Cewek itu mengambil papper bag itu dengan tampang datar yang dibuat-buat. "Makasih."

________________

TBC...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang