19 | 𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙

247 27 38
                                    

✒ 19 | 𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

19 | 𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙

┈┈┈┈୨˚୧┈┈┈┈

"Grief is love's souvenir.
It's our proof that we once loved.
Grief is the receipt we wave in the
air that says to the world:
Look! Love was once mine.
I love well. Here is my proof
that I paid the price."
Glennon Doyle Melton, Love Warrior

༘ 𖤓⋆

IRAMA sirkadian Kia berangsur normal sejak ia memulai rutinitas pagi bersama Kala. Irama sirkadian adalah jam biologis yang mengatur proses internal manusia terkait pola bangun-tidur setiap 24 jam. Sebelum bertemu Kala, irama Kia bisa dibilang sangat terganggu lantaran gadis itu lebih sering mulai tidur saat dini hari. Lebih parah lagi kalau harus bangun pagi karena jadwal kelas. Alhasil, ia hanya bisa tidur beberapa jam. Namun, rutinitas baru berupa jalan pagi dan mencari sarapan akhirnya membuat tubuhnya bekerja seperti pola terbit-tenggelamnya matahari. Seperti seharusnya.

Ketika Kia absen dari rutinitas barunya itu karena persiapan Soulsphere pun, matanya sudah otomatis terbuka sendiri saat azan subuh berkumandang. Pasca Soulsphere, Kia yang sudah terbangun di pagi hari akan sesekali berjalan santai di sekitar kosnya. Ia belum pernah benar-benar mengamati tiap sudut dan lekuk rumah-rumah yang menghuni gang kosnya berada. Kegiatan itu pun membuatnya jadi tahu bahwa suara decit pagar yang memilukan yang sering ia dengar tiap pagi berasal dari rumah krem berplafon rendah di ujung gang. Tipe 'rumah nenek' yang rendah, teduh, dan membuat hati seketika diselimuti rindu. Decitan pagar itu sudah sering mengundang erangan Kia di pagi-pagi lalu; ketika dirinya masih memilih memejam saat matahari sudah naik ke persinggahan. Kini, begitu tahu bahwa bunyi menyebalkan itu disebabkan oleh seorang nenek yang keluar masuk untuk menyapu jalan di depan pagarnya, kekesalan Kia melunak.

"Jalan pagi, Mbak?" Nenek itu menyapa duluan. Tersenyum hangat.

Duh, mana baik banget lagi si nenek. "Iya, Bu... Eh, Nek... Mari..."

"Ngekos di Pak Rian, Mbak?"

"Iya! Kok tau, Nek?"

"Sering liat kalo pas Mbaknya keluar-masuk."

"Oh..." Makin tidak enak hati Kia mendengar tuturan tetangganya tersebut. "Padahal saya baru pertama kali liat Nenek," ringisnya.

"Saya bisa maklum kok, Mbak. Siapa juga yang bakal perhatian sama nenek-nenek kayak saya," ujar nenek itu, sedikit berseloroh. "Eh, Mbaknya suka serabi, nggak? Udah sarapan? Saya bikin serabi, lumayan banyak, niatnya buat anak saya sama keluarganya yang mau mampir ke sini, tapi malah nggak jadi datang katanya. Mbak mau ya? Eman-eman kalo basi, nggak mungkin saya habiskan sendiri. Dibagi-bagi ke temen-temen kos Mbaknya juga sekalian."

Jalan pagi mengenalkan Kia pada segelintir orang dan aktivitas dari para tetangga yang baru sempat ia saksikan. Hal-hal yang tidak akan berpengaruh pada seberapa tinggi nilainya di mata kuliah tertentu atau pada baris kalimat yang menghiasi CV-nya. Selama ini Kia hanya fokus bergulat dengan sesuatu atau sesiapa yang bisa bermanfaat untuk membangun masa depan yang ia mau. Melupakan fakta bahwa hidup ini juga terdiri dari hal-hal kecil yang sekilas tampak tidak signifikan, tapi sekalinya kita mau mengamati dan berinteraksi, ternyata tidak butuh hal besar untuk memenangkan hidup ini. Seperti halnya menyelamatkan serabi-serabi Nenek Ida.

always, the sun staysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang