Lembar 2 - Pagi ini

152 29 0
                                    

Matahari semakin panas, keringatnya membanjiri kening dan napasnya sudah tersengal. Jam baru menunjukkan setengah 9 tapi matahari sama panasnya seperti tengah hari bolong.

Juni duduk di sekitaran trotoar sementara orang-orang di sekitarnya berlalu-lalang, ramai sama seperti car free day biasanya. Apalagi mengingat kerumunan itu akan membuat tumpukan sampah membuat Juni menghela napas, bekerja di akhir pekan akan selalu membuatnya lebih kelelahan.

Dengan berbekal satu bungkus roti coklat dan sebotol minum, Juni harus bertahan sekiranya sampai pukul 11 nanti dengan perut kosong dari rumah. Apa yang dilakukan Candana dan Yuda di rumah, ya? Pasti karena pertandingan semalam, mereka akan betah bermalas-malasan di atas kasur. Juni ingat meninggalkan mereka yang saling berpelukan dalam tidurnya.

Juni membuka plastik pembungkus rotinya, berdoa dalam hati, kemudian menyantapnya dalam diam. Sejauh matanya memandang, tukang balon berusia senja, satu keluarga yang menikmati udara pagi, dan segerombolan pelari, apa mereka semua membagi kisah yang sama seperti Juni?

Masalah mereka berbeda-beda, tapi mereka mungkin tak seberisik Juni. Setiap malam, setiap ada waktu untuk menyendiri, tangannya tak akan mau diam menuangkan bait per bait betapa tak beruntungnya dia di belasan tahun menjalani hidup. Juni mungkin harus belajar bersabar lagi.

Tak terasa terlalu banyak merenung, seseorang tak sengaja menyenggolnya. Benar, perbekalannya hari ini terjatuh dan terbuang sia-sia. Juni menatap nanar roti yang baru tergigit sedikit itu. Orang yang menabraknya mengucap maaf beberapa kali, lalu pergi tanpa sempat Juni menatapnya.

Juni bangun, membuang roti itu agar tidak menyampah lalu mengambil sapunya dan berjalan di atas trotoar. Juni menyapu beberapa dedaunan kering atau bahkan sampah pembungkus makanan yang tidak dibuang di tempatnya.

Saat bergelut dengan tugasnya, telinganya menangkap bisik-bisik dari beberapa orang yang ia lalui. Sebuah keluarga yang tampak berseri-seri sambil memakan camilan, yang tentu tak bisa Juni beli dengan gampangnya.

"Kok dia nyapu di jalan, Bu? Bukan di rumah?"

"Karena dia nggak belajar waktu sekolah. Jadi dia nggak bisa ngapa-ngapain selain nyapu, Dek. Kamu mangkanya harus ranking satu biar nggak nyapu di jalan."

Juni meremas gagang sapunya dengan erat. Itu tak sepenuhnya salah, emang benar, orang seperti dia ini bercabang jalan hidupnya. Bukan seperti anak itu yang pasti akan melaju dengan mudah di jalannya yang mulus. Dan memang benar juga, ini merupakan jalan terakhir untuknya bertahan hidup. Jadi, orang seperti Juni tidak boleh menyangkal takdirnya yang buruk.

"Ayo, Dek! Semangat belajarnya biar kamu nggak nyapu di jalan, tapi di rumah saya."

Juni menoleh saat suara familiar terdengar. Dia melihat saat Yuda tak memperdulikan ocehan dari Ibu-ibu yang tadi membicarakannya, mereka dipisahkan oleh Candana dan suami Ibu itu. Yuda dengan santai melambai dan berjalan menghampirinya.

"Bukan aku yang suruh Bang Yuda ngomong gitu!" Candana menyadari tatapan marah dari Juni buru-buru membela diri.

Sementara Yuda yang makan telur gulingnya satu persatu hanya mengangkat bahunya. "Spontan, sorry."

"Lagian mereka keterlaluan banget, bisa-bisanya hina profesi orang gitu!"

Juni menggeleng, membiarkan mereka tak berlarut-larut dalam topik ini. Dia berjalan menjauh untuk melanjutkan pekerjaannya. Sementara Yuda dan Candana duduk berdua di kursi plastik tukang bakso.

"Bang Juni... Kuat, ya?" gumam Candana sambil tersenyum ke arah Juni yang masih semangat bekerja di depan sana.

Yuda memalingkan wajahnya dari ponsel, lalu mengangguk setuju. "Mereka harus tau berapa uang yang Juni keluarin dulu buat ganti minus di toko," timpalnya.

[2] Turning Page (On Hold)Where stories live. Discover now