02. Amanah

8 1 0
                                    

Happy reading!

***

"Apa-apaan sih, Kudanil!" gerutuku kesal menatap mobil pick-up yang sudah keluar area sekolah dan melaju menuju tujuan.

Kudanil-panggilan untuk pria yang tanpa pikir panjang meninggalkan bungkus es di tanganku. Sebenarnya, nama dia di Kartu Keluarga itu adalah Kumang Daniel Baswara. Namun, aku memanggil dengan sebutan Kudanil dikarenakan pertama kali aku mengenalnya hanya sebatas sebutan itu dari teman-teman, lalu aku ikut-ikutan.

"Sampai kapan gue harus megang es dia? Main tinggal-tinggal aja. Apa susahnya bawa sekalian?" Aku menatap bungkus es yang isinya tinggal setengah lagi. Bisanya saja aku membuangnya. Toh, cumas es bungkus yang isinya tinggal setengah dan mengganti dengan es baru jika dia menanyakan. Namun, aku berpegang teguh pada amanah.

"Kenapa sih lo selalu bertingkah tanpa bisa diprediksi, Kudanil?" gumamku menghela napas berat. "Lo maunya gue mikir apa tentang lo?"

"Raka!"

Aku menoleh ke samping saat merasa terpanggil, Sulia-teman sekelas-melembaikan tangan ke arahku. Dia mengkode untuk datang menghampirinya. Kulihat di sekitarnya ada empat temannya yang juga ikut menatapku. Biar aku ramal mereka pasti ingin meminta tolong padaku untuk menjadi fotografer dadakan memotret keindahan persahabatan mereka.

"Sini bentar!" seru Sulia bersemangat.

Jaraknya lumayan jauh aku malas sebenarnya. Namun, aku lebih malas mengeluarkan bantahan dan mendengarkan ocehan buruk mereka tentang sikapku tak mau menolong sesama. Jadi, aku mulai berjalan ke arah mereka antara niat dan tidak niat. Tidak lupa masih membawa amanah Kudanil-es bungkus yang isinya tinggalkan setengah.

"Minta tolong fotoin kita dong," ujar Sulia memberikan sebuah ponsel yang aku ketahui milik Assia-salah satu dari mereka.

Sepertinya aku perlu mempromosikan diriku sebagai peramal karena ramalanku beberapa menit tadi ternyata benar. "Bentar, aku taruh es ini dulu," kataku menuju meja di pohon. Agar tidak tumpah aku ikat bungkus plastik es itu dengan sedotannya. Setelah itu menaruhnya di meja.

"Pake kamera depan?" tanyaku saat sudah mengambil ponselnya.

"Iya, jangan ganti efeknya," jawab Wakasia.

Jepret, jepret, jepret. Proses memotret pun berlangsung. Tak foto, mereka pun meminta video untuk konten joget-joget yang lagi trend di aplikasi hitam dengan logo tangga nada itu. Sekarang semua orang sibuk mengikuti konten-konten di sana. Seperti menari, vlog, tutorial, tips dan trik dan masih banyak lagi. Namun, aku terlalu malu dan malas ikut serta. Bahkan, aku tidak memiliki aplikasi tersebut.

"Ajak juga Raka, masa cuma fotoin doang," ujar Sulia ketika mereka sudah joget-joget berlima.

"Gak usah, aku gak terlalu suka masuk kamera," jawabku cepat.

Sebenarnya aku agak tersinggung, mereka hanya menjadikan aku sebagai fotografer tanpa menanyai terlebih dahulu apa aku mau ikut serta. Dibandingkan dengan tersinggung aku lebih benci jika mereka hanya mengajakku karena kasihan atau rasa tidak enak semata.

Sebuah mobil kijang memasuki area sekolah, diikuti pick-up hitam yang tadi membawa Kudanil. Beban yang akan segera terangkat. Aku langsung menyerahkan ponsel pada sang pemilik. "Aku mau ke sana," kataku sembari mengambil bungkus es tadi.

"Kalian yang di sana! Cepat sini bantu angkat barang-barang ini ke mobil!" Pak Egie-pegawai Tata Usaha sekolah-berteriak ke arah kami di dekat kantor.

Tak pedulikan mereka berlima yang juga termasuk majemuk 'kalian' disebutkan Pak Egie tadi, aku langsung berlari ke sana. Ritme langkahku melambat sampai kini malah berjalan pelan. Mataku tertuju pada Kudanil yang baru saja keluar dari mobil. Aku ingin memanggilnya tapi aku terlalu malu. Harap-harap dia yang dulu menyapaku.

"Kudanil, kantin, yok!" Rendy-teman sekelasnya tiba-tiba datang merangkul dan langsung menarik Kudanil seenaknya.

Kakiku terhenti saat mata kami bertemu untuk beberapa detik. Aku diam tanpa ekspresi ketika dia mau-mau saja ditarik Rendy tanpa memedulikan aku yang sedari tadi menunggu kedatangan. Lalu, apa gunanya aku berpegang teguh pada amanah yang diberikan olehnya? Apa hanya aku di sini yang terlalu berlebihan?

"Raka! Ayo, bantu-bantu temanya!" Suara dari Bu Fresinka-juga selaku Tata Usaha sekolah-membuyarkan melamunku.

Aku menahan sesak di dadaku yang entah karena apa sebenarnya. Menghela napas dan pergi menuju barang-barang kantor sekolah yang sudah di luar, siap untuk diangkut ke mobil Kijang. Mobil itu adalah milik teman sekelasku. Entah dia menawarkan mobil sukarela atau ada bayaran bensinnya, aku tidak tahu.

***

Hari ini Jum'at, jadi pulang cepat. Beberapa siswa ikut ke lokasi gedung baru dan beberapa langsung pulang ke rumah, begitupun dengan guru serta pegawai sekolah lainnya. Aku masih di lokasi SD alias tempat SMA lama, menunggu untuk di jemput. Tempat ini sudah sepi. Para penghuni SD pun sudah pulang semua. Memang ada jadwal masuk siang tapi itu nanti di jam 2 siang. Sekarang masih pukul 10.54 siang.

"Hei, Seribu!"

Aku mendongak, Kudanil tiba-tiba berdiri di hadapanku yang entah bagaimana prosesnya. Aku bingung mengatur eskpresiku. Lagi-lagi pria ini tidak bisa di tebak, selalu saja begitu. Jadi, aku memasang wajah sebisa mungkin. Walaupun sebenarnya aku kecewa tentang es bungkus tadi.

"Belum pulang?" tanyanya duduk di sampingku yang tengah berada di depan pintu gerbang.

"Belum," jawabku seadanya.

"Ini." Aku menyerahkan es bungkus rasa anggur yang sudah menjadi hanya air suhu ruang berwarna ungu. Tidak ada lagi rasa es di dalamnya karena es batu sudah mencair.

"Lo masih nyimpen es ini?" tanyanya menerima es bungkus tersebut

"Jadi, kamu nggak berharap aku amanah?" tanyaku balik.

Kudanil membuka ikatan es tersebut. Lalu, menyedot isinya sampai tak tersisa. Itu pasti tidak enak karena sudah tak lagi dingin. Bodoh dia yang mau saja meminum air tersebut. Plastik bungkus beserta sedotan es langsung dibuang sembarangan.

"Gue nitipin es ini ke lo karena emang mau ketemu lagi lagi sama lo. Gue tau kok lo orangnya amanah makanya gue titip ini," ujar Kudanil tanpa menatapku. "Gue mau bahas lagi tentang yang kemaren," ujarnya lagi.

"Yang mana yang belum selesai, sih?" tanyaku kesal.

"Kasih gue kesempatan, gue butuh waktu," ujarnya matang.

"Kak, kamu gak perlu minta kesempatan dari aku dan kamu punya banyak waktu buat ngelakuin segala hal. Semua terserah kamu, Kak," terangku serius.

"Tapi, Ra, jangan ngejauh dari gue. Walaupun gue belum bisa nyelesain masalah ini tapi gue minta lo ada di samping gue."

"Kita memang jauh dan kita gak pernah dekat. Aku, kamu itu gak ada masalah di antara kita."

Dia mengacak-acak rambutnya gusar. Tampaknya dia menahan kesal yang begitu dalam. Namun, aku coba untuk tegar dan tidak mengubah keputusanku. Aku tidak ingin kembali termakan kata-katanya untuk kedua kali dan seterusnya.

"Bisa gak sih lo ngertiin gue?" tanya Kudanil menoleh ke arahku.

"Terus siapa yang ngertiin aku? Lebih baik kita ngertiin diri kita masing-masing." Aku menatapnya serius.

Dia beranjak ke motonya yang berjarak dua meter. "Gue anter, ya?"

"Gak usah," jawabku cepat.

Tanpa menawari dua kali, dia melajukan motor itu dan meninggalkanku.

***

Sok nolak giliran diturutin malah nyesel








Epilog si Miris (#03)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang