Chapter 4

125 7 1
                                    

Mereka mulai makan dengan keheningan, selain Zaid ada Abyan yang duduk dihadapan Zaid, Abyan menemani Zaid makan bersama dengan ayah dan anak itu.

“ Amara, bagaimana dengan skripsi mu? ” ucap Amir di sela makan.

“ Semuanya sudah hampir selesai ayah, nanti ayah tinggal menerima surat undangan wisudaku saja. ” ucap Amara dengan yakin.

“ Baiklah, setelah lulus kamu sudah tahu akan melamar pekerjaan dimana? ” ucap Amir bertanya lagi.

“ Mungkin di jakarta, dan sambil nanti aku mau ambil S2 untuk spesialis. ” ucap Amara dan diberi anggukan setuju oleh sang ayah.

“ Wah nona Amara hebat, sebentar lagi akan jadi seorang dokter. ” ucap Abyan berusaha untuk mencairkan suasana yang mendadak jadi canggung.

Perkataan Abyan tidak terlepas dari tatapan tajam yang didapatkannya dari Zaid, dan Abyan hanya nyengir saja, jangan tanya Amara gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

Setelah sarapan selesai, Amara berpamitan dengan sang ayah untuk pergi lagi, tapi kali ini ayah Amara tidak mengizinkan karena beliau mendapat kabar dari daerah perbatasan bahwa mereka harus waspada takut kalau ada serangan tiba tiba.

Setelah mendapat penolakan dari sang ayah dengan wajah kesal Amara kembali lagi ke kamar sambil berjalan menghentakkan kakinya dengan keras, saat saat sudah masuk ia membanting pintu dengan keras.

Amir, Zaid, dan Abyan hanya melihat nya saja, terlihat Amir menghela nafas berat, Zaid mendekati pria paruh baya yang sudah dianggap orang tuanya sendiri itu, lalu mengelus punggungnya.

Amir melihat Zaid dan tersenyum padanya, kini ketiganya sudah meninggalkan ruang makan menuju ke arah tempat dimana mereka bisa memantau pergerakan yang berada di perbatasan.

“ Jenderal, sepertinya mereka sedang bersiap untuk melakukan penyerangan. ” ucap Abyan pada Amir saat melihat sesuatu dengan teropong jarak jauh yang digunakannya.

“ Tapi mana mungkin secepat ini by? Kita kan belum ada sebulan disini, dan bukannya mereka setuju untuk menunggu keputusan dari pemerintah? ” ucap Zaid pada Abyan.

“ Aku juga tidak tahu. ” ucap Abyan.

“ Baiklah perintahkan semua orang untuk bersiap, sisakan beberapa orang untuk menjaga putri saya di sini! ” ucap Amir pada Zaid dan Abyan.

“ Siap jenderal! ” ucap keduanya lalu pergi, dan Amir menuju kamar Amara.

“ Nak ayah ingin berpamitan, ayah akan berangkat untuk perang sekarang! ” ucap Amir dari luar pintu kamar, karena sejak tadi penghuni kamar itu tidak kunjung membuka pintu.

Amara yang sedang menangis di balik selimut, terkejut dan buru buru membuka pintu untuk melihat ayahnya.

“ Ayah jangan pergi, ayah kan bukan prajurit biarkan mereka saja yang pergi. ” ucap Amara memegang tangannya, rasa sayangnya lebih besar dibanding rasa kesal nya pada sang ayah.

Amir menatap putrinya itu dan mengelus wajahnya sambil tersenyum.

“ ayah juga adalah seorang prajurit nak, sama seperti mereka, mereka yang sudah berkorban untuk negara ini, mereka rela meninggalkan keluarga nya dan juga kebahagiaan nya, mana mungkin ayah membiarkan mereka berjuang di sana tanpa ayah nak? Sudah ya ayah harus pergi sekarang juga, kamu disini saja jangan kemana mana mengerti. ” ucap Amir pada Amara,dan mau tidak mau Amara mengangguk.

Amara memeluk Amir dengan erat, menemukan ketenangan pada sosok pria paruh baya itu, pria yang sudah mengurusnya sejak kecil dan yang sangat menyayanginya. Sekitar sepuluh menit telah berlalu kini pelukan ayah dan anak itu telah usai, Amir mengelus kepala putrinya dan mencium kening sesaat sebelum pergi.

Amara masuk kamar dan berjalan ke arah balkonnya, ia melihat semua orang sudah bersiap untuk pergi begitu juga sudah ada Zaid dan Abyan di sana.

Amara memperhatikan setiap hal yang dilakukan oleh Zaid dengan teman-temannya, dari balkon.

Zaid yang tidak menyadari sedang diperhatikan dikejutkan dengan tepukan Abyan yang menyadari ada seseorang di balkon, Abyan melirik ke atas sekilas, memberi kode agar Zaid melihat ke atas.

Zaid terkejut saat mendongak ke atas, ia melihat Amara dengan mengernyitkan dahi, kini keduanya terkunci dengan tatapan satu sama lain.

Amara yang kini dilihat oleh Zaid dari matanya, bukanlah Amara yang ia temui di ruang makan tadi. Amara yang ini memiliki tatapan mata yang teduh dan menenangkan menurut Zaid.

Zaid pun tersenyum sambil melambaikan tangannya, dan membuat Amara membalikkan badannya dan tersenyum lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya.

“Sedangkan Zaid pria itu kembali mengecek s*nj*tanya, dan juga peralatan yang lainnya, sambil wajahnya terus tersenyum.

“ Hey jangan senyum senyum terus, nanti kamu dibilang gila loh. ” ucap Abyan meledek Zaid, Zaid hanya menggelengkan kepalanya saja.

“ Wah beneran udah gila nih orang. ” ucap Abyan, dan mendapat pukulan di lengannya, Abyan pun hanya tertawa.

Tak lama kemudian Amir keluar dari rumah dengan berpakaian lengkap, dan juga s*nt*nya. Amir berjalan dan melihat para prajurit sudah berbaris rapi di hadapan nya kini.
“ Semuanya sudah siap? ” ucap Amir dengan nada tegas.

“ Siap! ” ucap semuanya kompak, sambil memberi hormat.

“ Sebelum kita ke sana, alangkah baiknya kita berdoa terlebih dahulu, berdoa dengan kepercayaan masing masing di mulai. ” ucap Amir, dan semua orang pun berdoa.

Amara kembali keluar saat mendengar suara sang ayah, ia pun juga ikut berdoa sambil memejamkan mata.

“Ya Allah, berilah kemenangan untuk ayahku, dan jaga ia dari hal hal yang buruk, bawalah ia kembali ke sini dengan selamat bersama dengan pria yang bernama Zaid karena ayah menyayanginya amin. ” dalam hati Amara.

“ Ya Allah berilah kemenangan untuk kami dan berikan ridho mu untuk kami, amin. ” dalam hati Zaid.

Sesaat setelah berdoa, entah kenapa Zaid ingin melihat ke atas kembali, dan benar saja Amara kini berada di balkon, gadis itu terlihat sedang memejamkan mata sambil melihat ke arah bawah. Setelah doanya selesai Amara membuka mata, dan orang yang pertama kali ia lihat dan melihat nya adalah Zaid, pria itu memperhatikan Amara sejak Amara masih memejamkan matanya.

Zaid tersenyum sangat manis, senyuman yang belum pernah dilihat oleh Amara sebelumnya, dan itu membuat jantung Amara berdetak lebih kencang dari biasanya.

Tidak mendapatkan respon apapun dari Amara, Zaid merubah kembali ekspresi wajah nya menjadi datar kembali, dan itu membuat Amara tertawa jahil, sambil berjalan masuk ke kamarnya. Zaid yang ditertawakan, ikut tertawa karena tingkah konyol dirinya sendiri.

“ Doa selesai, ayo kita berangkat! ”

Sesuai instruksi dari sang atasan kini semua prajurit masuk ke dalam mobil yang disediakan, mobil itu mulai pergi meninggalkan rumah, Amara menangis sejadi jadinya saat mendengar suara mesin mobil yang kini sudah hampir menghilang dari pendengaran.

Sesampainya di sana, semua prajurit turun dari mobil dengan cepat, dan berjalan mengendap ngerap, mendekati titik perang.

Pasukan yang ada saat ini berjumlah, 300 orang, dan dibagi menjadi tiga kelompok demi mempermudah mengelabui musuh. Sebenarnya peperangan ini dilarang, dan para prajurit sudah diberi peringatan jangan melakukan penyerangan terlebih dahulu kalau tidak diserang, maka dari itu mereka diam, menunggu hal apa yang dilakukan oleh musuhnya itu.

“ Zaid, aku rasa kita harus melakukan sesuatu. ” ucap Abyan sambil berbisik di samping Zaid.

Zaid menggerakkan dagunya, sambil melihat sahabatnya itu.

“ berjalan lebih dekat  ke arah jenderal, aku takut mereka menyerang secara tiba tiba. ” ucap Abyan melihat posisi mereka sepertinya terlalu jauh dari jenderal yang sedang bernegosiasi dengan musuh.

“ itu tidak akan terjadi, kalau kita fokus dan berhenti bicara. ” ucap Zaid langsung membuat Abyan cemberut, Zaid memantau pergerakan Amir dan orang yang sedang berbicara pada pria paruh baya itu.








Bab Terbaik Di hidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang