Menempuh perjalanan yang lumayan jauh, membuat Amara tertidur pulas di dalam pesawat yang disewa ayahnya untuk membawanya menemui sang ayah di tempat yang sedang terjadi konflik.
Seorang pramugari menghampiri tempat Amara dan menepuk tangannya pelan.
“ Nona, sebentar lagi kita akan sampai. ” ucap pramugari itu, saat melihat Amara mengerjakan kedua matanya.
Amira membuka mata sempurna dan sambil menguap ia melihat dibalik jendela pesawat yang ditumpangi mulai turun dan mendarat sempurna di landasannya. Amira bergegas membereskan barang-barangnya dan berjalan keluar pesawat, sampai di tanggal pesawat ia tidak menemukan sosok ayahnya di sana, tapi malah seorang pria muda yang tidak pernah ia lihat sama sekali.
“ Selamat datang nona Amara, saya Zaid yang akan menemani kemanapun anda pergi. ” ucap Zaid setelah memberi hormat, dengan wajah datarnya, Amara hanya mengangguk dan tersenyum setipis mungkin.
Siapa orang yang dikirim ayah? Berucap dengan ramah tapi tidak dengan wajahnya. Dalam hati Amara begitu jengkel, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
Zaid berjalan di belakang Amara menuju tempat mobil berada, sedangkan semua barang Amara sudah di serahkan kepada yang lainnya.
Saat ini hanya ada Amara yang duduk di kursi belakang, sedangkan Zaid yang menyetir. Kedua orang itu diam tidak ada yang memulai pembicaraan sama sekali, Zaid memang pria yang sulit didekati dan tidak pandai dalam mendekati wanita terlebih dahulu, sedangkan Amara ia termasuk gadis yang sebenarnya ramah dan mudah berbaur, tapi dengan pertemuan pertamanya dengan Zaid Amara berpikir kalau Zaid pria yang berbeda.
Tidak terasa sudah satu jam an lebih, akhirnya mobil yang membawa Zaid dan Amara sampai di depan sebuah rumah yang ditempati oleh sang ayah.
Amara turun begitu juga dengan Zaid, gadis itu kini berjalan di belakang Zaid, karena ia merasa asing dengan tempat nya saat ini.
“ Dimana ayah saya? ” ucap Amara pada Zaid, Zaid bukanya menjawab pria itu hanya diam saja dan terus melangkahkan kakinya, dengan kesabaran yang masih ada Amara mengikuti langkah kaki pria yang ada di depannya.
Zaid berdiri tepat di depan pintu ruangan jendral Amir Malik berada, membuat Amara menabrak punggung kokoh yang ada di depannya.
“ Aduh, kalo mau berhenti tuh ngomong! ” Amara kesal sambil memegang dahinya.
Zaid hanya tersenyum tipis tapi tidak terlihat oleh Amara karena gadis itu menunduk, Zaid merasa senang karena membuat Amara kesal, menurut Zaid mendengar ocehan Amara sangat menggemaskan dan itu akan menjadi kebiasaan mulai dari sekarang.
Zaid mengetuk pintu dan membuka pintu setelah mendengar suara dari dalam.
Amara masuk kedalam ruangan ayahnya di ikuti oleh Zaid dari belakang.
“ Ayah! ” teriak Amira histeris senang dan berlari ke arah ayahnya lalu langsung memeluk nya, dan itu tidak terlepas dari penglihatan sang ajudan.
Zaid memberi hormat pada Amir saat pelukan ayah dan anak itu sudah terlepas, Amir melihat Zaid tersenyum dan menganggukkan kepala.
“ Kalau begitu saya mohon pamit jendral. ” ucap Zaid kembali memberi hormat, setelahnya ia keluar.
“ Bagaimana kabar mu nak? ” ucap Amir pada Amara, sambil berjalan ke arah sofa.
“ aku baik, tapi aku tidak suka dia ayah, ganti saja pengawal yang lain untuk menemaniku. ” ucap Amara kesal pada ayahnya.
“ Dia bukan pengawal biasa, ayah sudah mengenal dia sejak masih kecil, dia putranya Ikram sahabat ayah. ” Amir mengamati wajah sang ayah.
“ anaknya paman Ikram? ” Amara bertanya, dan diberi anggukan oleh Amir, terlihat Amara meragukan Zaid.
Amara menghela nafas, lalu menatap ayahnya dan tersenyum sendu. Memegang tangan ayahnya dan mengelus dengan lembut.
“ Ayah baik baik saja? Apa ayah minum obat dengan teratur? ” kekhawatiran muncul di benak Amara saat ini, menyentuh tangan ayahnya yang sedikit gemetar.
“ Ayah akan baik baik saja selama putri ayah bahagia. ” Amir menggenggam tangan Amara, menatap wajah putri itu sambil tersenyum.
Amara menghela nafas kembali, dan memeluk ayahnya dengan erat.
…..
Keadaan di sebuah kota tempat tinggal sementara sang jendral dengan anggotanya, dan putri dari jendral tersebut itu terbilang aman, hanya saja serangan tiba tiba mungkin bisa terjadi, maka dari itu banyak orang yang menjaga di sekitar rumah.
Setelah berbincang dengan ayahnya, Amara beristirahat di kamar yang sudah disiapkan.
Keesokan paginya, Amara sudah siap dengan setelan rapi, tas yang berisi make up dan peralatan wanita lainnya tidak lupa ia bawa, serta kamera analog yang bertengger di lehernya.
Amara keluar dari kamar dengan semangat empat lima, gadis itu merubah mimik wajah tersenyum menjadi kesal saat melihat Zaid sudah berada di luar kamarnya.
“ Selamat pagi nona Amara! Sepertinya anda sudah siap untuk jalan jalan? ” Zaid berkata, tidak lupa dengan memberi hormat pada Amara terlebih dahulu.
“ Kalau sudah tahu kenapa bertanya? ” Amara meninggalkan Zaid di depan kamarnya, gadis itu berjalan menuruni anak tangga.
Zaid mengikuti langkah kaki Amara, sampai akhirnya gadis itu berhenti di ujung tangga bawah.
“ Ruang makannya ada di sebelah sana, ayo! ” Zaid berbicara lalu berjalan lebih dulu ke arah yang ia tunjuk tadi.
Amara kini berjalan dibelakang Zaid, tak lama mereka sampai di ruang makan.
Terlihat Amir tengah sarapan bersama dengan anggota yang lain.
“ Selamat pagi nak! Ayo kita sarapan bersama, Zaid kamu juga. ” ucap Amir, pria paruh baya itu lalu tersenyum melihat tingkah laku Amara dan Zaid.
Amara duduk di samping ayahnya dan Zaid duduk disamping Amara. Amara yang menyadari Zaid duduk disampingnya hanya diam, menurut nya mengawali hari dengan pertengkaran itu tidak baik.
Sarapan dimulai dengan keheningan, terlihat semua anggota yang sudah selesai makan kembali ke tempat mereka masing masing, tak lupa mereka berpamitan dengan Amir.
Keakraban yang dilakukan oleh Amir kepada anggotanya adalah hal yang wajar dilakukan setiap melakukan pekerjaan diluar seperti sekarang ini. Yaitu sebisa mungkin Amir memberi waktu kepada anggotanya yang belum mendapat tugas untuk menghubungi keluarganya, selalu berusaha menyempatkan waktu makan bersama, dan sesekali berbincang dengan beberapa anggotanya.
“ Amara habis ini kamu mau pergi? ” ucap Amir pada putri nya, Amara mengangguk.
“ Ya Sudah nanti kamu ditemani Zaid. ” ucap Amir.
“ ayah tidak ingin mendengar penolakan, kalau kamu tidak suka, tidak usah pergi kemanapun. ” lanjut sang ayah dengan nada yang terdengar sedikit tegas di telinga Amara, selanjutnya Amir pergi ke ruangannya.
“ Jadi mau pergi kemana kita? ” Zaid akhirnya bersuara setelah mendengar percakapan ayah dan anak itu.
Tidak ada ekspresi apapun yang terlihat di wajah Zaid, pria itu hanya menatap wajah Amara dengan wajah datar.
“ Terserah! ” ucap Amara kesal, lalu pergi.
Zaid menghela nafas, lalu tersenyum melihat Amara dari belakang, Zaid pun segera menyusul Amara.
Di luar rumah, kini sudah ada mobil yang siap digunakan untuk menemani perjalanan Amara dan Zaid.
Seperti biasa Zaid duduk di kursi pengemudi, tapi ada yang berbeda Zaid terlihat heran dengan wanita yang sejak tadi kesal dengannya, sekarang duduk di sampingnya.
“ Kenapa diam tentara? Ayo jalankan mobilnya. ” ucap Amara kesal pada Zaid, tapi entah kenapa membuat hati Zaid sedikit menghangat.
Zaid segera menyalakan mesin mobil dan menjalankan nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bab Terbaik Di hidupku
Fanficcerita ini hanya karangan fiksi belaka jadi kalau ada hal yang sama mohon di maafkan, mulai dari nama tokoh bahkan ceritanya. cerita ini terinspirasi dari Rony dan Salma. selamat membacanya