PROLOG

72 26 32
                                    

Sret!

Lembaran uang ratusan ribu beterbangan di udara. Berserakan di lantai.

Berantakan.

"Apa ini!? Lagi-lagi kamu bikin masalah, ya~ Nath! Udah berapa kali Ibu bilang, jangan temuin orang itu lagi. Kenapa kamu gak mau denger!? Lihat sekarang, kamu babak belur lagi."

Nafas panjang dan berat wanita paruh baya itu menjadi alarmnya setiap malam ia pulang ke rumah.

Selalu.

Selalu seperti ini.

"Ibu gak mau terima uang dari hasil gak bener, Nath! Udah berapa kali Ibu bilang?" Wanita itu berteriak lagi.

Dia berdiri di ambang pintu menatap datar amplop coklat besar di tangan wanita itu. Masih tersisa beberapa lembar uang di sana. "Kalo lo emang gak suka, cari aja sendiri. Lo sendiri aja cuma bisa ngandelin gue, kan?"

Plak!

"Kamu kira Ibu bangga sama hasil kerjamu?" Wanita terengah-engah setelah berhasil meraih putrinya dan menamparnya.

Dia menatap wanita itu sengit. "Kalo emang enggak, ya udah. Mulai sekarang jangan minta gue lagi buat bantu biaya rumah ini." Lelehan darah di bawah pelipisnya kembali menyadarkannya. Sakit.

"Natasha!!!" pekik wanita itu. Air matanya mengalir.

Natasha menutup telinganya. Tanpa melihat wanita itu lagi, ia merampas amplop coklat dari tangan kecil wanita itu dan memunguti lembaran uang yang berserakan di lantai. "Kalo gak ada yang diomongin lagi, bisa pergi dari kamar gue? Gue ngantuk. Mau tidur."

Tangan wanita itu mencekal pergelangan Natasha. Dengan mata penuh lelehan air mata, secara tiba-tiba wanita itu bersujud di depan kakinya. "Ibu mohon ... Ibu mohon, Natasha. Hidupmu akan hancur kalau kamu begini terus! Kita ini miskin, Nath! Jangan terlena dengan bantuan kecil orang itu."

Natasha mematung. Melihat wanita yang biasanya selalu meneriakinya atau memukulinya dengan tongkat kayu bila ia berulah, tiba-tiba tanpa aba-aba bersujud di depannya. Hatinya seperti terhempas ke dasar jurang.

"Ibu mohon, Natasha ... tinggalin pekerjaan kotor itu. Jangan terlibat lagi, Natasha ...."

Tubuh kurus Natasha rubuh. Uang yang ia kumpulkan kembali jatuh berserakan. Tangan kecil Natasha menepuk-nepuk pundak ibunya tanpa berkata sepatah kata. Hatinya begitu hancur dan mungkin tak akan kembali utuh lagi. "Ibu ... lebih baik Ibu marahin aku seperti biasa aja. Kalo tiba-tiba kayak gini, aku gak tahu harus apa."

Detik kemudian, Natasha beranjak dan pergi meninggalkan wanita itu sendirian yang masih diselimuti kabut kesedihan dan tangisan menyayat hati.

"Natasha ... kenapa, kenapa kamu gak mau dengerin Ibu, Nak ...."

***

"Cita-citamu jadi apa, Natasha?"

Satu pertanyaan umum dari guru SD kelas satu.

"Saya ingin jadi detektif! Saya ingin menangkap penjahat!" Natasha mengangkat tangan dengan penuh semangat.

Semua siswa bertepuk tangan melihat Natasha yang berani mengutarakan cita-citanya tanpa ragu apalagi malu.

"Padahal itu bukan keinginan semu. Padahal gue beneran serius waktu itu ...." Natasha berjalan sendirian di tengah jalan sepi di komplek perumahan. Tak jauh dari rumahnya yang berada di pinggiran sungai besar.

Ia sangat suka berjalan melewati komplek perumahan besar nan megah itu. Hatinya tak bisa berhenti bermimpi memiliki salah satu rumah besar di sana.

Menjadi anak selingkuhan salah seorang pengusaha di kota ini dan dibuang begitu saja oleh ayahnya membuatnya berambisi menjadi orang kaya, berpendidikan tinggi, dan memiliki pekerjaan yang keren dan berpenghasilan tinggi.

NATASHA : MELARIKAN DIRI DARI PENJAHAT UTAMA DALAM NOVEL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang