Tidak ada yang lebih buruk dari terbangun di pagi hari dengan keadaan kacau balau. Wajah pucat pasi, peluh yang membanjiri setiap inci permukaan kulit, ditambah mata yang membengkak. Emma menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang tertekuk. Mimpi mengerikan itu datang, dan ini untuk ke sekian kalinya. Mimpi itu selalu mengahantui dirinya selama nyaris lima tahun. Semua kejadian-kejadian yang terjadi dalam mimpi itu berputar bagai roll film yang tak pernah rusak, bahkan sampai keberapa kali pun kau memutarnya.
Punggung Emma bergetar selama beberapa saat, menahan guncangan emosinya yang meletup-letup. Dia selalu seperti ini, dan mengetahui fakta bahwa dirinya lemah tidak membuatnya merasa senang. Kenapa? Karena jika ada yang melihatnya seperti ini maka mereka akan dengan mudah bisa menyakitnya, dan ia tidak ingin mengalaminya untuk ke dua kalinya. Setengah dari hidupnya sudah ia habiskan dalam kesengsaraan dan ketakutan, dia tidak bisa membiarkan dirinya sendiri tenggelam lagi lebih jauh kedalam ketakutannya itu.Ketukan pelan di pintunya menyadarkan gadis itu dari kediamannya. Dia bernafas lega. Dia tidak sendirian. Emma beranjak dari ranjangnya, membuka pelan pintu kamarnya sehingga menimbulkan suara derik lantai bersama pintu. Hal pertama yang dilihatnya adalah senyum seorang wanita akhir 20-an yang menyambutnya, tidak ada yang dapat ia lakukan lagi selain membalas senyum itu meskipun miliknya masih memiliki sedikit paksaan.
"Mimpi buruk, Emma?"
"Kau tahu itu, Leah." Emma memelankan suaranya, dia melihat sedikit perubahan wajah Leah yang mengkhawatirkannya. Dia menegakkan tubuhnya, memasang wajah baik-baik saja semampunya. "Aku tidak apa-apa, lihat." Emma berbutar beberapa kali di hadapan Leah, sekedar memberitahu wanita itu dan kepada dunia bahwa dia baik-baik saja sekarang.
"Sekarang lebih baik." Leah mengangguk diikuti merekahnya senyum tipis di bibirnya. Melihat Emma tersenyum sudah cukup untuk mengusir rasa khawatirnya, sekali pun tidak secara keseluruhan, karena kenyataan bahwa Emma masih memaksa wajahnya berekspresi bahagia di wajahnya itu kadang-kadang membuatnya sedih. "Kalau begitu sekarang kau mandi dan aku akan menyiapkan sarapanmu."
Emma mengangguk tanpa mengucapkan satu kata patah berbentuk bantahan. Dia melambaikan tangannya pada Leah ketika wanita itu bergerak menjauh dari kamarnya. Emma menutup pintunya, kemudian membuang nafasnya kasar. Lalu secepat kilat bergerak untuk membersihkan dirinya.
***
Emma mengoleskan selai cokelat ke atas satu lembar roti miliknya, lalu memasukkannya ke dalam bibir mungilnya. Diraihnya satu gelas susu yang sudah tersedia bebas di atas meja, dan menegaknya sampai setengah. Kemudian ia berteriak pada Leah yang sekarang berada di lantai dua rumah mereka. "Leah, aku berangkat."
"Hati-hati, Em."
Emma memulai langkahnya dengan langkah kecil-kecil. Dia tidak berniat sampai ke sekolah lebih awal hari ini, jadi berjalan santai menjadi satu-satunya pilihan terbaik untuknya.
Butuh waktu hampir dua puluh menit, baru akhirnya Emma bisa menginjakkan kakinya di gedung sekolahnya. Dia melihat hanya segelintir orang yang sudah berlalu-lalang di area sekolah, dan ia berani bertaruh mereka semua pasti adalah kumpulan orang-orang ber-otak cerdas, mirip sepertinya. Dia tidak sedang membanggakan diri, hanya saja itu adalah fakta mutlak.
Emma menunduk saat berjalan, bahkan tidak mau melihat siapa pun yang berlalu lagi di hadapannya. Sekarang sepatu dan lantai entah bagaimana bisa menjadi objek yang menarik untuk diperhatikannya dari pada orang-orang yang sama sekali tak di kenalnya.
Emma membuka pintu lokernya, mengambil beberapa buku yang dibutuhkan untuk kelas sejarah di jam pertama. Ia mendengus. Sejarah, satu mata pelajaran membosankan dari Mr. Tyler -si garang berambut botak- Sebanarnya jika bisa ia ingin sekali melewatkan satu kelas dari pria botak itu, namun mengingat ia bisa terkena masalah setelahnya membuatnya membatalkan naiatan jahat itu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVING EMMA
Teen FictionThe past is our definition. We may strive, with good reason, to escape it, or to escape what is bad in it, but we will escape it only by adding something better to it. (Wendell Berry) Mulanya, ia selalu berpikir bahwa melarikan diri dari semua ingat...