Emma mengatur deru nafasnya yang tak beraturan karena baru usai berlari menuju sekolahnya. Dia terlambat, untuk pertama kalinya dan ini karena mimpi sialan itu. Kalau saja semalam dia tetap tertidur dan mengesampingkan rasa takutnya dia pasti tidak akan berakhir sampai seperti ini. Emma kembali memulai langkahnya setelah nafasnya stabil. Sama seperti sebelumnya, kepalanya hanya menunduk tanpa mau untuk mengadah. Keningnya berkerut begitu mendengar suara bising dari dalam gedung sekolah. Ini masih terlalu pagi untuk suasana ramai di sekolahnya, dan hal itu patut untuk dipertanyakan.
Emma memberanikan mendongak, dan bola matanya seketika membesar. Kumpulan gadis tengah sibuk bersolek ria dengan alat make-up mereka, sesekali mereka tertawa bahagia. Hal ini semakin membuatnya bertanya-tanya. Dia tetap melanjutkan langkahnya sembari memperhatikan setiap orang yang heboh sendiri dengan kegiatannya. Langkahnya tak terlalu diperhatikannya sampai akhirnya tubuhnya tertimpa rasa sakit karena habis menabrak sesuatu. Ralat, maksudnya seseorang.
"Blind much, huh?"
Suaranya berat. Itu pria. Emma langsung mundur tiga langkah dengan waspada. Wajahnya mulai dibasahi keringat. Emma menarik nafasnya dan membuangnya berkali-kali untuk menetralisir ketakutannya yang muncul tiba-tiba. Jujur saja, ini pertama kalinya ada yang berbicara padanya, dan sialnya itu adalah seorang pria. Emma mendongak takut-takut.
"Sorry," ucapnya dengan nada bergetar, lalu langsung berlalu melewati pria itu tanpa mau menunggu respon lain dari pria itu. Dia harus menenangkan dirinya sekarang sebelum kelas pertamanya usai, yang dibutuhkannya sekarang adalah tempat yang nyaman dan tanpa gangguan. Dan itu adalah perpustakaan.
Sepeninggalan Emma, pria itu hanya mengangkat bahunya tak begitu peduli. Dia melanjutkan langkahnya sembari menebar senyum tipis miliknya tiap seseorang menyapanya dengan cara mengedipkan mata. Menggodanya lebih tepatnya.
"Morning, Kenneth."
Pria bernama Kenneth itu hanya membalasnya dengan sebuah senyuman menawan, dan langsung berlalu. Dia sekarang harus menuju kelasnya, atau dia akan meninggalkan kesan pertama yang buruk pada guru pembimbingnya dan juga temannya nanti di dalam kelas.
Kenneth memasuki ruangan kelas English dengan tenang. Di sana sudah berdiri Mrs. Annabeth, kalau dia tidak salang mengingat nama seharusnya itu memang namanya. Dia mengucapkan permohonan maaf lebih dahulu sebelum mengeluarkan berbagai jenis alasan mengenai keterlambatannya.
"Alasan yang cukup logis. Tersesat di hari pertama, Mr. Parker."
Kenneth mengangguk membenarkan. Namun, dia melihat bahwa Mrs. Annabeth bahkan tak memiliki sedikit rasa percaya untuknya. Sekali lagi dia mengucapkan alasannya, dan kali ini dengan lebih meyakinkan.
Penjelasan Kenneth tak sampai selesai karena terganggu dengan ketukan lembut pada pintu membuat semua orang berbalik menuju sumber suara. Kenneth menaikkan sebelah alisnya melihat gadis berambut pirang yang berdiri di sana sembari meremas ujung pakaiannya dan menggigit bibir bawahnya. Tidak asing, pikirnya. Lalu, setelah memutar otaknya selama beberapa detik dia mengingatnya. Gadis itu si rambut pirang yang meninggalkannya tadi.
"Maaf atas keterlambatanku, Mrs. Annabeth."
Kenneth melihat Mrs. Annabeth tersenyum lembut pada gadis pirang itu dan seketika ia merasa teracuhkan di tempatnya. Dia berdehem dengan keras, tidak peduli entah itu sopan atau tidak karena berniat mencela percakapan di antara Mrs. Annabeth dan gadis pirang itu.
"Ini pertama kalinya, Miss. Grouth, jadi kau boleh duduk."
Mrs. Annabeth mengalihkan dirinya pada Kenneth setelah menyuruh Emma untuk duduk. Dia membuang tatapannya yang tajam pada Kenneth, dan tidak mengucapkan satu patah kata. Dia menunggu pria itu yang berucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVING EMMA
Novela JuvenilThe past is our definition. We may strive, with good reason, to escape it, or to escape what is bad in it, but we will escape it only by adding something better to it. (Wendell Berry) Mulanya, ia selalu berpikir bahwa melarikan diri dari semua ingat...