4 - Dangerous

15 1 0
                                    

Semenjak percakapan pendek dengan Kenneth, dia sudah benar-benar meyakinkan dirinya untuk menjauhi pria itu entah bagaimana pun caranya, yang pasti dia tidak boleh berada dalam jangkauan pria itu jika ingin terhindar dari rasa takutnya.

Emma berulang kali menengok ke kanan mau pun ke kiri, hanya untuk memastikan tidak ada sosok yang membuatnya merasa tertekan di sekelilingnya. Sudah berjalan beberapa hari dia berlaku seperti ini. Melangkah dengan was-was seolah ada seseorang yang mengikutinya. Mungkin, lebih baik dikatakan bahwa ketakutan yang mengikutinya.

Emma berhenti tepat di depan lokernya, membukanya masih dengan perasaan khawatir. Diambilnya tiga buku dan langsung memasukkannya ke dalam tas. Dia bergerak secepat yang bisa dilakukannya. Entah untuk keberapa kalinya dia memastikan sekarang sekolah sedang tidak ramai, jadi dia bergegas menuju kelasnya hari ini. Art, dia tahu kemampuannya dalam hal seni payah terutama dalam menggambar dan dia juga membenci kelas ini. Namun, kabar baiknya, pria abu-abu itu, kau bisa memanggilnya Kenneth, atau Parker, tidak termasuk di dalamnya.

Emma mendorong pintu ruangan itu pelan sampai memicu suara yang berderik. Masih kosong. Ya, memang sekarang masih terlalu pagi untuk datang ke sekolah dari jam biasanya. Pasalnya, dia menghindari bertemu dengan pria bernama Kennteh lagi. Kenapa? Karena setiap melihat pria itu berkeliaran di sekeliling sekolah selalu membuat alarm dalam dirinya berbunyi, dan menyuruhnya segera menghindar sejauh mungkin. Pria itu berbahaya, sisi lain dalam dirinya terus mengingatkannya selama satu minggu ini, karena selama itu Kenneth bagai hantu gentayangan yang muncul di mana pun dia berada. Mengganggu.

Emma mengeluarkan buku sketsanya. Memang, fakta mutlak bahwa 80% hasil karyanya abstrak, tak berbentuk. Tapi, masih juga senang dipandanginya. Selama beberapa waktu tak ada yang dilakukannya selain mengamati hasil karya tangannya yang aneh. Lagi pula, menunggu bel pertama berbunyi masih cukup lama, jadi melakukan hal itu bisa membantunya untuk tidak terlalu bosan.

Lama kelamaan, suara-suara dari luar ruangan kelas sudah mulai terdengar. Gaduh, jangan ditanya. Sudah ada suara beberapa wanita yang berteriak histeris hanya untuk menceritakan malamnya bersama pasangan mereka. Dan ada pula, yang berteriak hanya untuk meramaikan suasana pagi yang membosankan.

Satu per satu orang masuk ke dalam Art Class, masing-masing dari mereka mengambil tempat mereka sendiri, berpasangan. Meninggalkan Emma, yang mirisnya selalu berakhir sendiri. Emma tidak peduli, wajahnya santai melihat bangku di sebelahnya kosong lagi. Dia malah bersyukur dengan seluruh hatinya bahwa orang-orang meninggalkannya.

Mrs. Robinson, pembimbing kelas masuk dengan gaya anggun yang mempesona. Wanita akhir 30 itu nampak cantik karena wajahnya yang lebih muda dari seharusnya. Wanita itu tersenyum ramah, menyapa seluruh penghuni kelas dengan nada yang bersahabat.

"Bagaimana dengan pekerjaan rumah yang ku berikan?"

Nyaris semua orang di kelas menjawab dengan anggukan kepala, hanya beberapa orang yang menjawabnya dengan suara pelan. Mrs. Robinson bertepuk tangan dua kali, dan kembali focus. Dia mengeluarkan buku sketsanya, dan memperlihatkan wajah seseorang di sana.

"Kali ini, gambar wajah seseorang yang muncul dalam benakmu pertama kali. Aku rasa ini hal mudah." Mrs. Robinson mengucapkannya dengan nada menuntut. Tidak menerima segala bentuk layangan protes untuk permintaannya.

Lagi-lagi seisi kelas hanya menganggup pertanda menyanggupi permintaan Mrs. Robinson. Mereka sibuk dengan buku sketsa mereka, dan mulai berpikir wajah siapa yang akan mereka tuangkan dalam bentuk gambaran. Hanya Emma sendiri yang sudah memulai membuat garis-garis kecil di bukunya sementara yang lainnya berpikir. Dia membuat senyum sementara membayangkan wajah seseorang dalam benaknya.

SAVING EMMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang