lima

227 24 1
                                    

"Abis ini langsung ke kelas atau cabut?" tanya salah satu dari keempat pemuda berpenampilan urakan, ala anak berandal tersebut setelah tak ada pembicaraan lagi.

Suasana kantin saat ini lumayan berisik karena memang sudah waktunya istirahat.

"Cabut aja lah yok, males gue ngikut pelajaran bu Ratna. Pelajaran dia juga bakal masuk ke otak nggak yang ada nambah sakit kepala. Kalian juga pasti sama 'kan?" sahutnya meminta persetujuan pada teman-temannya.

Rajendra mengangguk menyetujui. "Jadi fiks nih kita cabut setelah ini?"

Satria dan Edward mengancungkan jempol pertanda setuju.

Melihat para temannya telah menyetujui kini matanya beralih ke arah Angkasa, yang sibuk mengaduk-aduk bakso nya yang belum berkurang sedikitpun. Sementara ia dan yang lain sudah hampir habis.

Angkasa tertunduk menatap baksonya sendiri, jadi Rajendra tak bisa melihat ekspresi pemuda tersebut.

"Lo gimana, setuju nggak nih? Diem-diem bae," celetuk Rajendra.

Tak ada balasan dari sang teman, justru Angkasa masih sibuk dengan aktivitas mengaduk bakso.

"Dia kenapa tuh?" Ketiga pemuda itu saling lirik kemudian mengedikan bahu tanda tidak tahu.

"Gue liat akhir-akhir si Angkasa uring-uringan, kayak kehilangan  semangat hidup. Terus gue suka pergokin dia suka melamun, kurang lebih kisaran seminggu ini-" Rajendra berhenti sejenak sekedar menghembuskan napas baru kembali fokus kedua temannya, "Sat, lo ingat 'kan pas kita ngikutin dan nemuin tu anak anter cewek yang namanya Daisy itu. Entah cuma gue ngerasa atau kalian juga dari situ tingkah Angka aneh?"

Satria serta Edward saling pandang selang beberapa detik keduanya mengangguk membenarkan ucapan Rajendra.

"Jangan-jangan dia-" Satria sengaja tak melanjutkan ucapannya alasannya ingin melihat ekspresi kedua temannya, pemuda itu menyengir kala mendapat tatapan tajam. "Ya nggak tau, gue nggak bisa nebak," lanjutnya berbisik.

Ekspresi tertekan Rajendra dan Edward si sambut cengengesan Satria.

"Lo-"

"Gue dengar kalian ngomongin apa." suara berat terdengar sarkas mampu membuat ketiga pemuda itu mengalihkan pandangan ke sang empu.

Angkasa menyorot tajam ketiga temannya yang malah menyengir dan menunjukan dua jari. Minta damai. "Ampun Sa. Canda gue canda."

Angkasa tak menggubris ucapan Satria ia mulai menyuapi pentol bakso yang mulai di ke dalam mulutnya.

"Kasa,"

Angkasa menanggapi dengan alis terangkat sebelah ketika Rajendra memanggil namanya. "Lo nggak tidur berapa hari? Ada masalah, ya?"

Angkasa terdiam sesaat kemudian menggeleng singkat. "Nggak." responnya singkat.

Angkasa bukan tipe cowok irit berbicara atau semacamnya. Angkasa itu nakal suka buat onar, hampir seluruh anak SMA pancasila mengenal sosok yang sialnya memiliki wajah menawan sebab tingkahnya yang suka seenaknya.

Maka dari itu Angkasa mendapat julukan badboy.

Sering membuat ulah dan berakhir merugikan orang lain. Selain itu juga Angkasa sudah menjadi langganan bk dan masih banyak kenakalan lainnya.

Hingga guru bimbingan konseling merasa bosan yang di lihat hanya Angkasa dan kawan-kawan. Itu di setiap hari.

Namun guru tak bisa berbuat apa-apa karena Angkasa sendiri anak pemilik sekolah. Menghukum mereka guru tak berani sama saja membawa diri ke dalam masalah karena telah mengusik salah satu anggota keluarga konglomerat. Jika bukan Angkasa dan para temannya mendatangi lalu meminta di hukum.

Aneh 'kan?

Tapi jangan salah-salah meski begitu Angkasa memiliki otak yang cerdas. hanya saja kecerdasannya tertutup oleh kenakalannya. Tentunya pun yang mengidolakan nya tidak sedikit.

Namun mereka cuma bisa mengidolakan untuk mendekati tidaklah berani. Angkasa itu tempramen buruk pada siapapun jika berbuat salah sedikit saja dengannya, maka Angkasa akan membalas secara fisik.

Rajendra menghela napas. "Lo dengar apa yang kita bisikin tadi 'kan?"

"Terus?" Dari nada bicaranya saja sudah kentara bila Angkasa malas menjawab.

Jika sudah begini Rajendra tak tahu harus melakukan apa. Angkasa itu selain susah di tebak dia juga keras kepala. Ketika ia berkata tidak maka itulah keputusannya.

"Hmm, apa ini ada sangkut paut sama hubungan lo dan Daisy?" ujarnya agak ragu.

Sekali lagi mendapatkan tatapan teramat tak suka Angkasa membuat Rajendra membuang napas kasar.

"Serah lo deh. Kalo emang bener cuma lo gengsi aja buat cerita, gue bantu doa aja supaya biar cepat selesai." celetuk Rajendra asal, kesal sebenarnya.

"Tapi lo ikut 'kan bolos abis ini?" Kali ini Edward yang berbicara.

Angkasa menanggapi dengan deheman.

"Biarin aja dah mungkin dia lagi pengen cosplay jadi patung, makanya banyak diem." Satria berbisik.

Angkasa menyingkirkan mangkok nya yang sudah kosong, tangannya beralih ke segelas es teh. Baru akan menyesap es teh tersebut gagal, tatkala matanya tak sengaja menangkap sosok gadis yang membuat ia uring-uringan dan kekurangan tidur seminggu ini sebab tak bisa menemukannya, tengah berjalan melewati meja nya yang memang berada di tengah kantin.

Nampaknya sang gadis tidak menyadari.

Pandangan Angkasa mengikuti kemana Daisy pergi. Di mulai dari Daisy memesan makanan dan menunggu. Semua pergerakan gadis itu tak lepas dari pengamatan Angkasa.

Dalam hati Angkasa bertanya-tanya tak biasa Daisy pergi ke kantin, ini pertama kali Angkasa melihat Daisy berada di kantin.

Angkasa sangat menyadari bahwa gadis berkacamata bulat tersebut sedang menghindarinya, bukan tanpa alasan Angkasa berpikir demikian. Balik lagi ke kalimat di atas seminggu ini Angkasa selalu mencari Daisy ke kelas sewaktu istirahat tapi justru tidak menemukan keberadaan.

Pulang sekolah pun Angkasa mendatangi kelas Daisy lagi hasilnya sama. Tatkala Angkasa bertanya salah satu teman sekelasnya gadisnya mereka bilang Daisy sudah pulang.

Begitu juga saat Angkasa kerumahnya untuk mengajak bareng ke sekolah, Daisy selalu meninggalkannya.

Jantung Angkasa berdetak kuat kala si Daisy perlahan berjalan mendekatinya, ketika tepat di sampingnya Angkasa menahan pergelangan tangan Daisy.

Bukan hanya gadis berkacamata bulat tersebut yang terkejut karena perbuatannya, tetapi para temannya juga. Angkasa tidak mempedulikan.

"Daisy ... Kamu hindarin aku?" suara pemuda itu terdengar amat lirih dengan tatapan redupnya. Yang mampu di dengar Daisy seorang.

Angkasa menarik tangan Daisy hingga gadis itu terduduk di sampingnya yang memang kosong.

Reaksi kaku gadis itu Angkasa abaikan, Daisy layaknya patung hidup yang bisa di kendalikan sesuka hati.

Kedua bibir Angkasa tersenyum tipis tangannya terulur mengusap surai panjang Daisy. "Mau ke kelas kan? Nanti aku antar, sekarang di sini dulu."

"I know you are avoiding me. stay by my side, don't use your little brain to run away from me, because I will look for you to the ends of the world. understand, darling?"

"Be an obedient girl and I will make you happy."

Setelah bisikan Angkasa barusan bola mata di balik kacamata Daisy membulat, bahkan kini tubuhnya kian kaku. Lidahnya keluh sama sekali tidak dapat berbicara. Seolah sesuatu menahannya.

Semua tingkah keduanya tak luput dari pandangan para teman Angkasa. Ekspresi berbeda-beda ketiga pemuda itu tampilkan.

Satria menatap horor tangan Angkasa yang melingkar apik di kedua bahu gadis itu. "Bro, di depan kita beneran Angkasa?"

"Nggak, gue nggak yakin," sahut Edward dengan tatapan kosong.

Sementara Rajendra memandang dengan ekspresi tak terbaca.

Anaxiphilia : Repeating TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang