Detik

14 0 0
                                    


Suara-suara penuh harap memenuhi ruangan kali ini, hari ini pengeksekusian telah diputuskan dan dilaksanakan segera. Tali dipasangkan ke satu-persatu tahanan pemerintahan. Raut wajah yang sudah putus harapan tak dapat disembunyikan, sebab penyesalan sudah tidak berguna kali ini.

Aku hanya bisa terdiam di sisi tembok berjamur pada sel yang disatukan oleh ratusan tahanan. "Semuanya diam!" Teriak sipir berbadan besar membawa tongkat panjang. Nampaknya ia telah muak dengan teriakan penyesalan tahanan.

Padahal sebagian dari kami hanya ingin menyuarakan terkait keadilan informasi. Sebab kasus wabah penyakit pada negara kami selalu simpang siur, kematian melonjak drastis setelah beberapa hari negara memberikan obat kepada rakyatnya.

Lantas, kami berpendapat bahwa negara terindikasi mengurangi populasi rakyatnya demi kestabilan sandang, pangan, papan negara ini. Yang berguna dijaga betul-betul, yang miskin diperalat uji coba obat. Namun, pemerintahan bersikukuh untuk tidak mengakui ada hal yang kami pikirkan.

Masyarakat tersinggung lalu turun ke jalan untuk menyuarakan protesnya. Kami hanya menginginkan keterbukaan informasi transparan, namun tidak ada hasil berarti. Saat itu juga Sebagian dari pendemo termasuk diriku ditangkap atas tuduhan pencemaran nama baik. Namun, pasal kami bertambah dengan pasal pemicu keributan, kerusuhan dan penjarahan.

Semakin kami ditangkap semakin hari pasal kami terus bertambah. Terakhir kami dijatuhi hukuman mati satu persatu sebab pasal kami nyatanya sangat amat berlapis. Membuat siapa saja yang tertuduh menangis histeris.

Dan pada saat ini sikapku hanya bisa memandang kosong suara penyesalan di jeruji kali ini.

"Aku tidak pernah menyesal." Ucap pria yang berada di sebelahku.

Diriku yang mendengar itu hanya bisa balas menatap datar tak bisa berkata.

"Istriku mati karena obat itu, aku tak mau kedua kalinya kehilangan anak Perempuan kecilku." Utasnya melanjutkan perkataan tersebut.

Dan kembali diriku hanya bisa terdiam mendengarkan.

Informasi terbaru, kami akan dihukum mati dengan menutup semua saluran udara yang berada di sel tahanan kami.

Semakin mengetahui soal penahanan dan eksekusi ini, semakin diriku tak bisa berkata-kata. Senyap dalam keramaian.

"Dan jikalau aku mati hari ini, diriku tetap bangga. Sebab masyarakat bisa mengetahui bahwa ada yang salah pada negara ini."

Kali ini aku mengangguk pelan kepada wanita tua yang berada di sisi lain diriku menyatakan hal itu. Sebab keadilan perlu disuarakan.

Satu jam sebelum eksekusi suasana di sel tahanan sudah sedikit sunyi. Kami membentuk beberapa lingkaran untuk sama-sama berbincang. Ya perbincangan yang terakhir dalam hidup kami tentunya. Walaupun sembari tangan kami terikat oleh tali, kami berusaha untuk saling mengingat dan menyampaikan pengorbanan kami masih-masing.

Ada yang sangat amat menyesal ikut aksi protes sebab ada orang tua dalam keadaan sakit parah yang ia tinggalkan, ada juga tidak menyangka akan akibatnya. Sedangkan sebagian orang termasuk aku menerima keadaan dengan pasrah.

Oh ya namaku George, walaupun memang itu bukan hal yang penting, sebab sebentar lagi aku akan mati. Tetapi aku ingin kalian tahu namaku, sebelum diriku tak berada. Saya hanya seorang jurnalis pemula dengan hobi membaca buku-buku konspirasi pemerinatahan yang penuh misteri.

Setengah jam menuju eksekusi, kami semua mulai memikirkan diri masing-masing, terdiam merenung dan termangu, semuanya hanya bisa menatap kosong apa yang mereka hadapi. Tubuh berayun-ayun perlahan, kedua bola mata menatap namun tidak ada isi. Pikiran kami hanya tentang akibat setelah kematian ini.

Mungkin pikiran mereka soal nasib keluarga, orang-orang dikenal, harta, tahta dan beberapa urusan mereka pribadi. Namun, itu semuanya sia-sia sebab sepuluh menit sebelum eksekusi, kami dipaksa untuk terbaring pada lantai keras juga kasar di sel kami.

Ratusan tubuh terlihat berabaring bergelimpangan, mungkin ini cara terbaik untuk tenang dalam kematian.

Ruangan sempit suasana pengap, beberapa dari kami ada yang menindihkan kepalanya di badan orang lain sembari terbaring dengan terpaksa. Tidak ada yang protes soal itu, sebab mulut dan emosi kami terkunci oleh kekecewasaan yang sudah tidak ada keadilan di dalamnya.

Lima menit sebelum ekseskusi tangisan berubah menjadi penerimaan, raut wajah terpandang tersenyum lapang dada. Semua sudah tidak bisa diubah inilah akhir jalannya.

Tiga puluh detik sebelum eksekusi, kami mulai menantikan kapan kematian akan dating? Sebab perasaan muak menunggu mulai tertanam, ingin segera hilang.

Detik eksekusi, saluran udara sel kami tertutup dan berhenti. Paru-paru kami mulai panas terbakar, otak kami berhalusinasi, tubuh kami sedikit menggeliat namun seakan mulai terbiasa. Hari kematian sudah kami terima.

Detik sebelum kami mati, ini sudah terjadi. Perjuangan kami terlihat tiada arti, tapi ku harap informasi terus disuarakan seberapa pahit masyarakat menerimanya.

Kami telah mati, perjuangan kami berakhir, menjemput dunia di sisi lain, tenang, berjuang dan dipulangkan.

!Seribu Satu Coklat (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang