BAB 3

2 1 0
                                    

Sejak perdebatan terakhirku dengan Ganis, aku lebih suka menyendiri di masjid. Banyak Hal yang membuatku merenung dan berpikir. Satu hal yang tidak aku suka dari kejadian terakhir, Ganis selalu berbuat semaunya sendiri. Berusaha menjauhkan aku dengan gadis cantik itu, Larasati.

"Sebelumnya aku mohon maaf, Ras," kataku lirih di kantin sekolahnya. Saat itu sedang sepi, hanya ada pemilik kantin yang sedang melayani kami berdua.

"Kenapa memangnya?"

"Jujur, di hatiku saat ini hanya bersemayam tiga nama. Seandainya Tuhan memilihkan jodohku suatu saat, hanya tiga nama itu yang kuharap mendampingi suka-dukaku menghabiskan sisa-sisa waktuku," kataku jelas dan tegas.

Mata Larasati menyorot tajam ke wajahku. Bibirnya kelihatan gemetar hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku mengisyaratkan untuk diam. Aku mengeluarkan sebuah foto dari tas dan menyodorkan padanya.

"Dyah Rengganis Palupi, teman dari kecil di desa. Sekarang sedang sekolah di Belanda. Sampai saat ini kami hanya berhubungan lewat surat. Dalam suratnya beberapa bulan yang lalu berjanji akan pulang berkunjung ke Indonesia, tetapi akhir-akhir ini kabar kepulangannya semakin kabur dan samar. Sudah satu tahun lebih hubungan jarak jauh ini berlangsung, dan aku mencoba untuk tetap setia. Entahlah, akankah aku bisa bertahan dengan keadaan yang Sekarang ini?" suaraku terdengar sesak. Laras tiba-tiba tersenyum dan mendekap tanganku.

"Sudah berapa lama kalian berhubungan?" tanya Laras.

"Sejak kecil, Ras. Mungkin sejak SD lah ...," ujarku.

"Wow, amazing ...!" serunya sambil tersenyum.

"Tetapi baru benar-benar pacaran ketika SMP," lanjutku.

Laras menggeleng-geleng sambil berdecak kagum.

"Sampai saat ini masih bertahan? Luar biasa ...!"

"Aku sendiri sudah dihinggapi keraguan, apakah kesetiaanku ini masih memiliki arti bagi dia. Seandainya dia menemukan penggantiku, aku akan tetap iklash, Ras," kataku pasrah. Larasati tersenyum, ada empati teduh dari sorot siar matanya yang bening.

"Lalu yang kedua?" tanya Laras mengingatkan aku.

Aku menyandar ke kursi sejenak, lalu menarik nafas perlahan.

"Kanaya Candra Windaningrum, sengaja aku urutkan berdasarkan kronologis pertemuan. Dan yang terakhir adalah ...," aku mencoba melihat reaksinya. Nafasnya terdengar memburu. Sorot matanya membulat indah, seolah tak sabar akan kelanjutan penuturanku. Aku meneguk minuman hangat di depanku.

"Handira Larasati ...," ucapku cepat, dia spontan berdiri dan memelukku tanpa malu-malu. Aku yang mendapat serangan mendadak tidak dapat berkelit.

"Ih ..., malu-maluin. Dilihat orang tuh!" seruku.

"Biarin, emang apa urusannya dengan kita," katanya sambil terus memelukku dari belakang. Tidak memperdulikan degup jantungku yang tidak karuan. Namun anehnya aku tidak berontak sedikit pun dari dekapannya.

"Eh ..., lalu Rina Jago Volli, Heydar, Paulina?" tanya Laras sambil kembali ke tempat duduk. Matanya berbinar-binar.

Aku terbeliak, lalu, "Kamu kenal mereka juga?"

"Ya iyalah, kebanyakan di antara mereka 'kan teman-teman SMP," jawabnya singkat

Selanjutnya banyak hal yang kami perbincangkan. Larasati berencana membuat firma hukum di Sidoarjo, makanya setamat SMA ingin kuliah hukum. Ketika ia bertanya tentang rencana kuliahku, aku menjawab dengan jujur, jika ada sisa biaya, aku akan kuliah, tetapi jika tidak ada dana, biar aku tunda kuliahku. Aku ingin kembali ke kampung dan membuka usaha bengkel, hanya itu keinginanku. Alasan utamaku tetap kedua orang tua dan adik-adikku. Larasati menerima penuturanku dengan antusias, bahkan ingin berinvestasi ke usahaku.

Setangkai Melati dari Gunung KeludTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang