"Jadi...karena adik saya termasuk dalam sepuluh siswa terburuk, maka ia masuk Klaster Merdeka?!"
Sukma menelan ludah, secepat kilat menata kalimat agar bapak wali murid terhormat yang ada di depannya ini tidak tersinggung.
"Begini, Pak. Klaster Merdeka merupakan salah satu program sekolah untuk memfasilitasi siswa yang kesulitan belajar secara mandiri di rumah. Salah satu dasar pemilihan siswanya adalah rata-rata nilai try out yang di bawah lima, ditambah catatan dari setiap guru mata pelajaran akan penguasaan materi siswa. Dan Elok termasuk salah satu di antaranya."
"Karena Elok bodoh?!"
"Bukan bodoh. Kami tidak pernah melabel siswa dengan sebutan itu. Elok hanya kesulitan untuk belajar secara mandiri di rumah."
"Di rumah? Ini fullday school," dengus Bima menyindir.
"Dari 24 jam, siswa hanya menghabiskan 8 jam di sekolah. Sisanya di rumah."
"Jadi maksud Anda, Elok masuk Klaster Merdeka sebab dia tidak paham semua materi pelajaran. Oleh karena itu, dia tidak bisa belajar sendiri di rumah dan kami keluarganya sama sekali tidak memperhatikan Elok saat di rumah sehingga dia semakin malas belajar. Begitu?!" Bima menegakkan duduknya dan menatap tajam Sukma.
Tidak perlu seperti itu pun, postur Bima sudah sangat mengintimidasi. Badan tinggi menjulang dengan otot yang terbentuk. Meskipun tampan namun sorot mata serta mimik wajah datar Bima sudah mampu menciutkan nyali lawan bicaranya. Oh jangan lupakan juga suaranya. Sepertinya lelaki di depan Sukma ini sangat lihai memainkan intonasi untuk mengintimidasi orang.
Sungguh Sukma ingin menangis. Ini bukan kapasitasnya untuk menjelaskan. Dia bukan kepala sekolah, bukan wakil kepala sekolah bidang kurikulum, bukan juga guru BK. Dia hanya guru Biologi single yang ketiban pulung-dalam tanda kutip- untuk menjadi wali kelas Klaster Merdeka selama satu bulan. Sebenarnya pertemuan antara pihak sekolah dan wali murid Klaster Merdeka sudah selesai satu jam yang lalu. Dan bapak wali murid yang terhormat ini datang setelah pertemuan selesai. Catat. Dia datang tidak tepat waktu tetapi tetap ingin mendengarkan penjelasan dari pihak sekolah dari A sampai Z. Dan karena semua manajemen sekolah sedang rapat dengan pihak yayasan yang tidak dapat ditinggalkan maka di sinilah Sukma yang sekali lagi ketiban pulung untuk menghadapi beliau.
Menurut Sukma, etisnya jika terlambat datang ke pertemuan, lelaki ini cukup mendengarkan penjelasan walas Klaster Merdeka dengan sopan lalu segera menandatangi surat pernyataan dukungan wali murid kemudian pulang. Bukan melakukan interogasi seperti ini. Apalagi lelaki di depannya ini terlihat tersinggung. Jantung Sukma berdebar tidak karuan. Dia sungguh takut salah bicara yang mengakibatkan wali murid menjadi semakin marah. Bisa panjang urusannya, apalagi kalau sampai pihak yayasan tahu. Sukma bisa kehilangan pekerjaan.
"Elok pernah bercerita kalau orang tuanya sangat sibuk. Selalu pergi untuk mengurus bisnis bahkan kakaknya juga semakin sibuk sehingga ia selalu merasa kesepian di rumah."
"Elok bilang begitu?" Suara Bima turun satu oktaf.
"Iya." Sukma menjawab mantap walau di dalam hati ia tak henti beristigfar. Tentu saja Elok tak pernah secara langsung menceritakan hal itu padanya. Ia hanya membaca data dari guru BK. Anggap saja Elok bercerita padanya melalui tulisan. Wohoho.
"Elok jadi kurang semangat untuk belajar. Efeknya di sekolah pun ia jadi susah konsentrasi."
Rasa percaya diri Sukma meningkat. Ia benar-benar bersyukur telah membaca semua data peserta Klaster Merdeka. Ia bisa melihat raut muka Bima yang tak segarang tadi. Seperti ada rasa bersalah terselip di sana. Hoho. Ayo, Pak. Mau bicara apalagi. Aku smash dari sini.
Bima menyandarkan tubuhnya pada sofa. Mimiknya kembali serius membaca lembar peraturan untuk peserta Klaster Merdeka.
"Tidak ada tv. Tidak ada hp. Tidak ada majalah, novel, komik. Tidak ada uang saku. Saya rasa Anda pernah remaja. Belajar 24 jam seperti ini sangat menguras tenaga. Mereka juga butuh supply makanan."
"Kami sepakat dengan pendapat Bapak bahwa siswa butuh supply makanan. Daya tahan tubuh mereka juga harus kuat karena itu kami bantu mereka untuk menjaga imunitas dengan tidak jajan sembarangan. Snack dan makan besar semua akan diurus oleh katering sekolah. Bapak tidak perlu khawatir. Insyaallah katering sekolah telah menerapkan standar kesehatan dalam menunya. Anak-anak juga tidak belajar materi UN selama 24 jam. Tambahan materi hanya dilakukan setelah magrib sampai jam 9 malam. Itu pun terpotong salat isya berjamaah, jadi total hanya 2 jam."
Bima menatap Sukma sekilas sebelum akhirnya menandatangi surat pernyataan kesanggupan orang tua mendukung program Klaster Merdeka.
"Saya berharap program ini memberikan hasil yang memuaskan."
"Kami juga mengharapkan hal yang sama, Pak. Dukungan dan kerja sama wali murid selama satu bulan ke depan besar artinya untuk kesuksesan program ini."
"Hmm. Elok tidak bodoh. Saya kenal adik saya dengan baik. Jika nilainya turun karena hal yang Anda katakan tadi, maka Klaster Merdeka harus dapat membuat nilai UN SMP-nya bisa sebagus saat SD. Saya permisi dulu. Terima kasih Bu Sukma."
Meskipun Bima berkata dengan tenang, namun nada mengancam sangat terasa sekali. Sukma hanya dapat meneguk ludah. Tak tahu harus menjawab apa. Namun, tamunya ini memang tak butuh jawaban. Bima langsung menuju pintu keluar.
Sukma mengembuskan nafas lega. Akhirnya ia bisa menyelesaikan sesi 'interogasi' dengan selamat. Saat Bima di depan pintu, tiba-tiba ponsel Sukma berdering. Sukma menatap nomor asing di layar ponselnya hingga tak sadar jika Bima ada dalam posisi mencondongkan wajah ke layar ponsel Sukma.
"Itu nomor saya. Karena Elok tidak diizinkan membawa hp. Otomatis komunikasi kami hanya melalui Anda. Tolong disimpan," titah Bima sebelum keluar dari ruangan.
***
Alhamdulillah. Akhirnya muncul juga bab 1 Klaster Merdeka setelah berbulan-bulan mengendap dalam kubangan kegelapan.
Setting Klaster Merdeka ini terjadi saat UN masih dijadikan tolok ukur kelulusan siswa ya. Dan itu sudah laaaamaa sekali. Jadi jangan protes kalau semua chat di sini berupa sms dan bukan chat WhatsApp.
Yang pernah merasakan tegangnya belajar untuk UN ayo acungkan tangan. Mungkin cerita ini bisa menemani kalian mengenang jerih payah saat itu untuk kemudian tertawa bersama setelah merasakan manisnya rasa kerja keras itu sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
KLASTER MERDEKA
Ficção GeralSukma rasa, tinggal di Cluster Mardeka 24 jam nonstop untuk mendampingi sepuluh siswa spesial yang masuk daftar hitam semua guru di sekolah, telah membuatnya tak lagi hidup merdeka. Namun, pertemuannya dengan Bima, wali murid super protektif yang se...