F-00 : Little Sun in Columbia

41 3 0
                                    

Pagi hari yang cerah di Columbia. Mansion besar yang hanya ditinggali oleh tiga orang itu dipenuhi oleh cahaya matahari yang masuk melalui kaca-kaca rumah yang besar. Sinar matahari itu cukup untuk membuat gadis kecil bernama Ifrit bangun dari tidur lelapnya.

"Sudah pagi, sayang," sapa Silence begitu melihat Ifrit menggeliat akibat sinar matahari yang masuk karena dia membuka gordennya. "Kamu tidak mau terlambat sekolah, kan?"

Ifrit masih menggeliat, merasa bahwa tidurnya belum cukup meski dia sudah tidur dari jam delapan malam. Tidak kuat dengan sinar matahari dan tidak mau dimarahi oleh ibunya, Ifrit bangun dari tidurnya. Kesadarannya belum seratus persen terkumpul, matanya masih setengah terbuka. Ifrit menguap sekali, kemudian mengarahkan pandangannya ke arah Silence.

"Ibu Saria sudah berangkat kerja?" tanya Ifrit dengan suara yang masih berat. "Semalam Ibu Saria belum pulang saat aku mau tidur. Aku mau protes."

Mendengar ocehan anak gadisnya itu, Silence tersenyum. Dia menghampiri Ifrit dan mengelus rambutnya dengan lembut. Sejak bertambahnya usia, Ifrit tumbuh dari anak yang nakal jadi anak yang manja namun pintar dan perhatian. Rasa manja Ifrit pun entah kenapa hanya muncul terhadap Saria. Silence berpikir, mungkin karena Ifrit jarang mendapat perhatian Saria sejak kecil, jadi dia hanya manja pada Saria. Sedangkan pada Silence, Ifrit cenderung biasa saja.

"Saria pulang saat kau tidur. Memang agak malam, tapi dia janji untuk pulang lebih awal malam ini," ucap Silence.

"Huh, kemarin-kemarin juga bilangnya begitu," timpal Ifrit setengah merajuk. "Aku tahu kalau ibu punya banyak pekerjaan di luar dan banyak orang yang membutuhkan ibu, tapi bisakah ibu sehari saja tidak ke mana-mana? Hari libur pun ibu tetap bekerja."

Silence tersenyum. Dia bisa memahami kenapa Ifrit begitu manja sampai merajuk seperti itu. Silence menenangkan Ifrit sebisa mungkin dan mengatakan bahwa Saria sedang sarapan di bawah. Ifrit langsung semangat dan segara berlari keluar dari kamar. Silence hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku anaknya, kemudian lanjut membereskan kamar Ifrit.

"IBU!!!!"

Ifrit melompat ke arah Saria, memeluknya dengan erat dari samping saat Saria sedang menonton berita pagi. Saria terkejut, namun dia tidak marah. Dia mengelus rambut Ifrit kemudian tertawa kecil melihat tingkah manja anaknya itu.

"Maaf ya, semalam lagi-lagi ibu pulang telat," ucapnya. "Hari ini, ibu benar-benar janji untuk pulang lebih cepat. Ifrit mau titip apa? Cokelat? Snack? Atau es krim?"

Ifrit menatap Saria dalam-dalam lalu menggeleng.

"Aku hanya mau ibu pulang cepat," ucapnya yakin. "Aku bisa beli semua itu dengan tabunganku sendiri. Aku hanya mau ibu pulang tepat waktu supaya bisa makan malam denganku dan mamah Silence. Ibu selalu pulang setelah jam makan malam, bahkan saat aku mau tidur pun kadang ibu belum pulang. Aku 'kan mau dininabobokan sekali-sekali sama ibu."

Saria mengangguk, kemudian lagi-lagi berjanji untuk tidak pulang terlambat. Ifrit tersenyum, benar-benar percaya bahwa ibunya akan menepati janjinya sekarang. Setelah itu, Ifrit mandi kemudian bersiap-siap untuk sekolah. Saria yang mengantar ke sekolah, sedangkan Silence melambaikan tangan pada mereka saat mobil yang dikendarai Saria perlahan menjauh dari rumah mereka.

"Bibi Joyce akan datang nanti sore," kata Saria selagi mereka di perjalanan. "Dan kemungkinan dia akan menginap. Kamu tidak masalah 'kan kalau tidur berdua dengan bibi Joyce?"

"Heem!! Tidak masalah," ucap Ifrit bersemangat. "Aku sudah lama tidak bertemu dengan bibi Joyce. Ibu tahu 'kan kalau bibi Joyce selalu menyanyikan lagu tidur untukku. Suaranya benar-benar membuatku mengantuk dan malah terdengar lebih bagus daripada mamah Silence."

Saria tertawa kecil mendengar ocehan Ifrit. Joyce memang pandai bernyanyi. Sebagai seorang yang mengenal Joyce lebih dari sepuluh tahun, Saria merssa bahwa Joyce lebih cocok jadi seorang penyanyi daripada dirinya yang sekarang. Tapi, kecintaan Joyce pada sains ternyata lebih besar daripada kecintaannya terhadap hobinya itu. Memang, Joyce adalah saintis yang hebat, termasuk dalam satu dari sekian saintis yang disegani di Columbia. Tapi, sampai detik ini, Saria masih berharap kalau Joyce—paling tidak—membuat satu lagu orisinil. Saria yakin karyanya itu dapat meledak di pasaran, tidak hanya di Columbia, tapi bisa jadi di seantero Terra.

"Baguslah kalau kamu menyukainya," kata Saria. "Joyce itu, meski dia orangnya baik, kadang dia tidak cocok dengan semua orang. Kamu tahu 'kan kalau Joyce itu suka mengoceh macam-macam jika satu meja dengan ibu atau Silence. Semua persoalan tentang sains dia ocehkan, kadang sampai membuat Silence bosan dan memintanya berhenti."

Ifrit mengangguk. Sekali waktu dia pernah duduk satu meja bersama bibi Joyce dan Silence. Waktu itu, Ifrit bahkan sampai sakit kepala hanya karena mendengar ucapan mereka berdua. Dia juga ingat kalau mamahnya benar-benar bosan mendengar ocehan bibi Joyce. Di samping semua itu, Joyce adalah sosok bibi yang baik untuk Ifrit dan tidak segan-segan untuk menuruti keinginan Ifrit atau membelikan sesuatu untuknya.

"Belajar yang tekun ya, sayang. Sini ibu cium dulu."

Saria mengecup kening Ifrit dengan lembut. Ifrit tampak sangat senang, kemudian balik membalas dengan mengecup pipi ibunya. Setelah melambaikan tangan dan berlari ke arah sekolah, Saria pergi menuju tempat lain. Tempat kerja sekaligus tempat yang menahannya untuk memenuhi janji terhadap anak tercintanya

Bersambung..

Family (Arknights AU : Silence x Saria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang