"Ahh, kamu datang juga."
Wanita itu menyambut Saria dengan nada yang riang, sementara Saria menatap wanita itu dengan perasaan jengah dan dongkol. Wanita itu adalah salah satu dari alasan kenapa dia tidak bisa menghabiskan waktu dengan keluarga kecilnya. Wanita yang tampaknya sangat bersahabat, berwajah manis, dan bersuara lembut, namun Saria tahu wanita itu adalah salah satu definisi sempurna dari pepatah serigala berbulu domba.
"Cepat berikan misinya, Muelsyse," ucap Saria dengan nada yang keras. "Aku mau cepat pulang. Aku mau menghabiskan waktu dengan keluargaku. Aku ingin cepat-cepat keluar dari misi kotor ini."
Muelsyse tertawa kecil, lalu entah kenapa berpose seperti gadis majalah yang imut itu. Saria benar-benar ingin menghajarnya andai dia biaa. Tapi dia tahu, segalanya akan jadi lebih rumit jika Saria benar-benar melakukannya.
"Baiklah, singkat saja." Muelsyse mengambil satu map cokelat dan satu kotak kecil berisi 'benda yang familiar'. "Aku butuh kau untuk mengirim benda ini. Tidak jauh, hanya beberapa puluh kilometer ke perbatasan Bolivar. Aku sebenarnya ingin menyuruh orang lain tapi—"
"Cukup basa-basinya!" Saria mengambil kotak dan map itu dengan cepat sebelum wanita itu terus mengoceh. "Perlu kau tahu aku melakukan ini karena utang yang belun bisa aku bayar. Jika aku sudah punya uangnya.."
"Tapi kau tidak punya, Saria," ucap Muelsyse. "Apa kau pikir, uang hasil penjualan roti milik istrimu itu akan cukup untuk membayar semuanya? Tidak akan pernah. Sayang sekali kau tidak bisa menjual mansion milikmu itu. Aku yakin harganya cukup untuk melunasi semua utangmu. Sayangnya kau tidak mungkin menjualnya, 'kan?"
Saria diam. Tangannya mengepal, menahan amarahnya yang sudah ada di ubun-ubun. Andai dia bisa memukul wanita ini barang sekali saja, maka Saria akan memberinya satu pukulan paling keras yang pernah dia berikan. Tapi, dia masih harus bertahan di situasi ini. Silence membutuhkannya dan Ifrit tidak boleh tahu tentang pekerjaannya ini. Saria menghela napas dan membawa benda-benda itu ke dalam mobilnya. Saria memacu mobilnya menuju perbatasan antara Columbia dan Bolivar, sembari berharap tidak ada tugas tambahan yang menunggunya di sana.
Sesampainya di Bolivar, Saria sudah ditunggu oleh beberapa orang dengan badan besar berpakaian ala-ala preman. Dia tahu bahwa merekalah penerima paket itu. Saria dengan cepat memberikan paketnya, lalu tanpa sepatah kata, dia pergi setelah menerima uang bayarannya. Saria benar-benar marah, kesal, bahkan bisa dibilang benci dengan dirinya sendiri. Dia tahu dia tidak boleh menggunakan uang itu untuk keluarganya, jadi dia menyerahkan semua uangnya ke Muelsyse meskipun kesepakatan awalnya hanya lima puluh persen. Setelah sampai kembali ke Columbia, Saria segara menemui Muelsyse dan menyerahkan uangnya.
"Lagi-lagi seratus persen," kata Saria. "Ayolah, ambil separuh atau seperempatnya. Kau juga butuh uang ini, aku tahu itu."
"Bisakah kau tutup mulut besarmu itu barang sedetik?" Saria menggebrak meja. Sepertinya kesabarannya sudah hampir habis. Namun, dia segera sadar dan mengatur emosinya.
"Aku tidak butuh uang itu, Muelsyse," ucapnya. "Aku hanya butuh ketenangan dan keluar dari semua masa lalu ini. Katakan padaku tinggal berapa lagi sisa utangnya."
Muelsyse tersenyum lalu mengambil buku catatannya. Dia menghitung sisa-sisa utang Saria setelah sekian lama dan cukup terkejut dengan angkanya.
"Tersisa lima ratus dan tujuh puluh ribu LMD. Ternyata sudah berkurang tiga perempat," ucap Muelsyse. "Baiklah, setelah semua ini selesai aku akan melupakan apa yang sudah terjadi antara kau, aku, dan yang lainnya. Kau bisa memulai hidup yang kau pilih dengan tenang. Meski sejujurnya aku tidak tahu kenapa kau memilih jalan hidup seperti itu."
Saria menatap tajam ke arah Muelsyse. Meski amarahnya sudah agak mereda, tetap saja dia ingin sekali memukul wajah wanita itu.
"Kau tidak perlu tahu alasannya, dan kau tidak harus tahu," kata Saria. "Tidak semua harus kau ketahui, Muelsyse. Aku hanya ingin kau tahu kalau setelah semua ini berakhir, aku tidak akan pernah bicara lagi padamu."
Saria meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata lagi. Perjalanan dari bolak-balik Columbia ke Bolivar tidak bisa dibilang singkat. Dia bergegas pulang, tidak ingin melanggar janjinya lagi pada anaknya. Saria buru-buru menginjak pedal gas sampai batas maksimal, berharap bisa sampai rumah tepat waktu. Jalanan kota Columbia malam ini memang tidak ramai, namun masalah berikutnya adalah Saria melihat tiga mobil sedan hitam mengikutinya. Mau tidak mau, hari ini untuk kesekian kalinya dia melanggar janji itu pada anaknya. Saria mencari tempat yang agak kosong untuk memarkir mobilnya. Saat dia keluar dari mobil, orang-orang yang mengejarnya sudah ada di hadapannya.
"Kalian belum puas juga?"
Sayangnya, pertanyaan Saria tidak dijawab dengan benar. Mereka malah menyerang Saria. Tentu saja Saria dengan mudah menghajar mereka satu per satu. Semua gerakan mereka dapat dibaca dengan mudah oleh Saria, pukulan dan tendangan mereka tidak terasa sama sekali. Sebaliknya, Saria mampu menjatuhkan seorang dengan hanya satu atau dua pukulan. Bertarung satu lawan banyak dengan tangan kosong bukan hal sulit untuknya. Dalam waktu singkat, semua yang mengejarnya sudah jatuh pingsan. Namun, waktu tidak pernah berhenti. Tanpa membuang-buang waktu, Saria segera pulang. Berharap dia tidak melewatkan makan malam.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Family (Arknights AU : Silence x Saria)
FanficSaria hanya ingin membuka lembaran baru bagi dirinya dan keluarga kecilnya. Namun, dia sadar bahwa lari dari masa lalu dan tanggung jawab akan tugas yang belum selesai adalah hal yang mustahil. Demi kebahagiaan keluarga kecilnya, Saria bertekad untu...