Cahaya

2 0 0
                                    

Terangmu, membuatku semakin gelap.

Berada di sampingnya awalnya menyenangkan. Cahaya yang ia miliki belum seterang sekarang. Dulu ia masihlah pelita yang hanya menerangi hidup seseorang.

Sekarang ia berbeda. Berada di sampingnya membuatku silau. Berada di sampingnya membuatku semakin gelap. Seakan aku adalah bayangan dirinya.

Dia seorang yang pintar, menawan, ramah, dan orang yang berada. Definisi sempurna bagi semua orang. Sedang diriku pendiam, gelap, dan selalu mengikutinya. Perbedaan kami sedari awal memang sudah sangat jauh.

Awalnya, dirinya adalah lampu yang memberikan cahaya pada hidupku. Duniaku yang awalnya gelap, menemukan cahayanya. Tapi cahayanya semakin lama semakin gelap. Sedangkan diriku masih sama gelapnya. Bersamanya benar-benar membuatku semakin sadar kalau duniaku dan dunianya sungguh berbeda.

Tiap kali aku melakukan kebaikan, pasti akan tertutupi oleh kebaikannya. Tiap kali dia melakukan kesalahan, tertutupi oleh kesalahanku. Selalu seperti itu seolah memang begitulah aturannya.

Semakin lama aku bersamanya, semakin aku benci cahayanya. Semakin lama aku di sisinya, semakin aku ingin membuat redup cahayanya. Yang memadamkan cahayanya harus aku. Hanya boleh aku.

Aku penasaran, apa ia akan benar-benar kehilangan cahayanya jika aku melakukan hal itu? Aku akan tahu besok pagi.

Pagi, aku sudah sampai di depan pintu rumahnya. Bel pun sudah kutekan, tinggal menunggu ia keluar. Ah sudah ada bunyi derap kaki.

Pintu terbuka, di sana dia, membukakan pintu untukku dengan wajah kaget, napas tersengal, dia lari.

"Eh? Kamu ke sini dulu sebelum berangkat sekolah? Sekarang masih pagi banget, lho. Sini masuk dulu." Dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia tersenyum sangat cerah. Matanya juga berbinar. Ah aku ingin segera melihatnya padam.

"Aku tau. Kamu pasti belum sarapan, kan? Tenang, tenang. Temanmu ini bakal bikinin kamu pancake terenak!" Ia mengangkat spatula yang dipegangnya dan bergaya kayaknya chef hebat. Aku tertawa, aku tak punya kesempatan memakan pancakemu.

"Kok ketawa, sih." Ia merengut. Kenapa ia sangat menyilaukan?

Aku menghela napas. "Ga usah repot, kamu gak bakal makan makananmu sendiri kok."

Ia terdiam sebentar. "Kenapa?"

Aku mendekat, membuatnya mundur hingga pundaknya menempel pada tembok. Di belakangnya ada tempat alat makan diletakkan. Aku mengambil pisau yang ada di sana.

"Hey, Kenapa? Kamu mau apa?" Matanya bergetar, anehnya masih ada cahaya di sana. Itu membuatku semakin kesal.

Aku menusukkan pisau itu pada perutnya, matanya membulat. Ia menatapku tak percaya. Kutarik lagi pisau itu dan kembali menusukkannya perlahan. Dia cahayaku walau bagaimanapun.

"Kena..pa..?" Bibirnya saat mengatakan itu bergetar, suaranya juga.

Tanganku terulur mengusap wajahnya yang sudah dibanjiri peluh, jari-jariku terhenti pada matanya. Kutatap itu lekat. "Aku mau lihat ini padam," kataku.

Dia matanya itu mengeluarkan air mata. Kuputar pisau yang ada pada perutnya. Masih belum. Cahayanya masih belum sepenuhnya padam. Aku akan menunggu sampai padam sempurna.

Akhirnya! Akhirnya matanya kehilangan cahayanya. Ternyata selama ini aku tak hanya menginginkan padam cahayanya. Aku menginginkan dirinya yang sama sepertiku. Aku tak ingin aku dan dirinya berbeda. Ternyata itu. Sayang sekali aku baru menyadarinya sekarang.

"Sekarang kamu sama sepertiku. Matamu yang seperti ikan mati itu tepatnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HalloweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang