Target

730 18 4
                                    

Masjid kampus semakin ramai menjelang senja. Aku baru saja menunaikan shalat Ashar. Angin sepoi-sepoi membuat hijab yang aku kenakan bergoyang pelan ketika aku berjalan di beranda masjid, menghampiri Dyah yang sibuk menggerakkan bolpoinnya di atas kertas putih.

"Hai, Di! Lagi ngapain?"

"Menulis," jawabnya pendek. Dia sama sekali tidak menoleh. Sepertinya menulis lebih penting daripada aku, sahabatnya.

"Nulis apa sih?"

"Target."

Aku mengernyit, memandang Dyah tak mengerti. "UAS semester empat sudah selesai. Kamu bikin target apa lagi? Ah, target pencapaian untuk semester pendek, ya?"

"Target ibadah, Nia...."

"Hai, ibadahmu selama ini kulihat sudah kencang. Target ibadah apa lagi yang kamu buat?"

Kali ini Dyah berhenti menulis, lantas menatapku. Oh, kalau sudah begini dia pasti akan menceramahiku panjang lebar.

"Target ibadah di bulan Ramadhan. Kita sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya menjadikan bulan Ramadhan sebagai sarana untuk menempa kembali iman yang sempat menumpul gara-gara maksiat. Menjadikan puasa Ramadhan sebagai pengingat akan syukurnya nikmat Allah yang begitu besar.

"Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, 'Apabila datang bulan Ramadhan, dibukakan pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan syetan-syetan dibelenggu.'

"Jadi, kita mempunyai tekad untuk berbenah, membenahi ibadah-ibadah seadanya yang bahkan sering terlupa, dan juga berlomba-lomba dalam mencari pahala di bulan yang penuh rahmat dan ampunan yang sebentar lagi akan datang."

Aku terdiam mendengar penjelasan Dyah. Dia yang menurutku ibadahnya sudah bagus saja masih membuat target. Sedangkan aku sama sekali belum kepikiran untuk membuat target ibadah. Padahal masih banyak sekali yang harus kubenahi sebagai seorang muslim.

"Hai, kenapa melamun?" Dyah menepuk pundakku, membuatku kembali tersadar dan menatapnya.

"Nggak apa-apa," jawabku. Aku menengok jam yang menunjukkan hampir pukul setengah lima. "Eh, pulang yuk. Aku nggak mau terjebak macet."

Aku buru-buru mengenakan tas ranselku. Ketika hendak memakai sepatu, Dyah memegang tanganku, menghentikan aktivitasku. Aku menoleh, menatapnya dengan tatapan, 'ada apa?'

"Bagaimana dengan target ibadahmu?"

Aku melotot mendengar pertanyaannya. Sementara dia, hanya tersenyum melihat ekspresiku, lantas berjalan menuju parkiran motor, meninggalkanku yang masih mematung.

"Kamu nggak mau pulang? Katanya nggak mau terjebak macet!" teriaknya dari jauh.

Aish, Dyah!

Ramadhan is Time to Recharge Our ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang