Jangan Khawatir

249 7 2
                                    

Aku berjalan menuju kelas dengan lesu. Beberapa pertanyaan mengganggu pikiranku sejak tadi pagi. Semalam aku sudah membuat target ibadah untuk Ramadhan tahun ini. Tapi karena tamu berbaju merah datang, itu artinya target yang aku buat tertunda. Lalu bagaimana aku menabung pahala di bulan yang suci ini?

Kulihat Dyah sudah di kelas ketika aku sampai. Kududukkan diriku di sampingnya. Lalu kutimpakan kepalaku di atas meja.

"Nggak sahur lagi?" tanyanya padaku. Ia ikut menimpakan kepalanya di atas meja. Jadi kami saling berhadapan.

"Sahur kok."

"Kenapa lesu begitu?"

"Aku nggak lesu. Lagi sedih aja."

"Kok sedih?"

"Tamu berbaju merah datang."

"Kalau itu ya harus disyukuri. Itu tandanya Allah sayang sama kamu sebagai sebagai seorang pe-"

"Iya, aku tahu soal itu," selaku sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Yang aku butuhkan solusi, bukan berdebat dengannya.

"Lalu masalahnya apa?"

"Seperti yang kamu katakan, puasa itu deposito anti bangkrut di akhirat. Tapi bagaimana aku bisa menabung pahala kalau aku tidak bisa beribadah?"

Dyah malah tersenyum mendengar pertanyaanku. Lihat, kan? Sahabatnya kebingungan dia malah tersenyum. Kurang ajar!

Ia menegakkan tubuhnya. Tangannya menepuk bahuku sambil berkkata, "Jangan khawatir, Nia...,"

Ucapannya yang menenangkan membuatku merasakan kedamaian di hati. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa memiliki suara yang menenangkan seperti itu. Setiap kali mendengarnya bicara, aku seolah terhipnotis untuk terus mendengarkannya. Kehilangan satu kata yang keluar dari mulutnya membuatku merasa rugi.

Ah, ya. Itu juga yang aku iri darinya. Bicaranya tenang dan meyakinkan.

"Tidak dapat sholat, puasa, dan tadarus bukan berarti kamu tidak bisa menabung pahala," lanjutnya. "Allah sudah menyiapkan ibadah yang dapat kita laksanakan semasa haid datang.

"Di antaranya... membaca buku agama dan ilmu pengetahuan, mendengarkan murottal, memperbanyak dzikir, menjaga diri dari hal yang sia-sia, menghadiri majelis ilmu, memperbanyak istighfar, dan sedekah.

"Dan yang terakhir ini, yang paling mudah. Kamu mau tahu?"

Yang paling mudah? Aku mengangguk cepat. Memasang pendengaran dengan sebaik-baiknya.

"Apa?"

"Tersenyum. Bukankah senyum itu juga termasuk ibadah?"

Aku mengangguk lagi.

"Tapi...," Dyah menggantungkan kalimatnya. Aku menegakkan tubuh dan menatapnya dengan harap-harap cemas.

"Asal jangan senyum-senyum sendiri. Hehehe."

Aku mencubit lengannya. Kalau itu aku juga tahu. Bisa-bisa orang-orang menganggapku....

Ah, sudahlah! Yang terpenting, aku tetap bisa menabung pahala meski tidak sedang berpuasa.

Yeay!!!

Ramadhan is Time to Recharge Our ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang