Anggapan mengenai malam Minggu ‘berbeda’ dengan malam lainnya sebenarnya hanyalah sebuah asumsi yang ada pada sebagian besar individu, namun Libra tidak termasuk kedalamnya. Malam Minggu ataupun malam lainnya tetap sama bagi remaja bermata monolid dan berkulit putih tersebut, banyak pekerjaan paruh waktu yang harus ia lakukan.
Faktanya, ketika banyak remaja seusianya menganggap malam Minggu itu spesial karena keesokan harinya ialah hari libur, dan mereka bisa melakukan berbagai aktivitas pada malam tersebut tanpa memperdulikan jam tidur yang selalu menjadi pembatas pada malam-malam lainnya, Libra tidak bisa merasakan itu semua. Ah bukan tidak bisa, melainkan dirinya sendiri yang tidak memiliki waktu luang.
Dibalik meja kasir minimarket, Libra tengah menghitung biaya hidupnya dan beberapa hal menyangkut keuangan lainnya. Bekerja dari pagi hingga malam di akhir pekan pun belum bisa menutup pengeluaran remaja dengan nama bintang khatulistiwa itu.
Libra mengehela nafas sejenak, memijit pangkal hidungnya dibalik masker putih yang ia gunakan. Mungkin, remaja bermata monolid itu akan mencari pekerjaan lain untuk menambah pemasukannya.
Berbicara soal minimarket tempat Libra bekerja, beberapa container box dari warehouse baru saja ia tinggalkan dijajaran shelving bagian tengah minimarket. Libra bangkit dari duduknya untuk menyusun beberapa stok produk minimarket dalam container box tersebut pada shelving yang mulai kosong.
Sembari mengisi shelving display, Libra sesekali menggosok kedua telapak tangannya untuk menyalurkan kehangatan pada tubuhnya. Bekerja seorang diri di malam hari pada minimarket sederhana ini rupanya cukup membuat Libra merasa kesepian.
Rasa sepi itu ternyata tidak berlangsung lama. Tidak ada angin tidak ada hujan, dua orang dewasa berperawakan tinggi besar mendorong kasar pintu minimarket hingga mengejutkan Libra yang sedang menyusun produk pada shelving display. Dua orang itu mendekat ke arah Libra, kemudian menyeretnya secara paksa ke dalam gang sepi di dekat minimarket.
Tubuh jangkung milik Libra terdorong kuat ke arah dinding, dua orang berperawakan tinggi besar itu tidak berhenti menghajarnya. Libra meringis menahan sakit sembari memegangi perut bagian kiri ketika tendangan salah satu dari mereka mendarat tepat ditulang rusuknya.
"Libra, lo pikir dengan kabur dan sembunyi, kita nggak bisa nemuin lo?Tanya salah satu dari dua orang itu. Ia menyejajarkan tubuhnya dan menatap remeh ke arah Libra yang tengah menunduk dengan menggelukan punggungnya sembari bertumpu pada sebuah tiang.
"Handphone lo kemana? Kenapa nggak angkat telpon gue?" Tanyanya lagi kemudian menyentak tubuh Libra.
"Lo hutang banyak sama kita, sialan!"Sambungnya lalu memukul keras perut atas Libra yang berbatasan dengan dada hingga nyaris tersungkur, namun orang tersebut menahan kembali tubuh remaja itu.
Demi apapun itu sakit. Sangat menyakitkan.
"Sakit?Apa itu sakit? Gue sebenernya nggak mau mukulin lo. Tapi lo bebal, kalo gue bilang bayar ya bayar!" Lagi-lagi orang itu meninju wajah Libra. Tubuh remaja jangkung tersebut diambil alih oleh salah satu dari mereka, kemudian kepalanya beradu dengan kepala orang itu hingga tubuhnya tidak seimbang lalu terjatuh dengan posisi bersandar pada dinding.
"Sakit kan? Jawab gue!" Libra tersungkur ke tanah, wajahnya penuh memar, bercak darah tercetak jelas pada masker putih yang ia gunakan. Beberapa tendangan terus menghantam perutnya, ia hanya bisa mengerang kesakitan tanpa bisa melawan.
"Heh! Udah jangan buang tenaga lo sia-sia, ambil aja salah satu ginjalnya, selesai." Kata orang berperawakan lebih besar dari temannya yang tadi menendang Libra. Libra masih sadar dan bisa mendengar jelas apa yang diucapkan orang tersebut, ia ingin lari tapi sekujur tubuhnya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORLIB
Teen FictionOrion, dokter muda yang ramah dan tampan tiba-tiba harus mengurus Libra, remaja laki-laki judes dan bermulut pedas yang tidak sengaja ditabraknya. Bagaimana jika sifat Libra tersebut justru mencerminkan mekanisme pertahanan diri atau coping mechani...