Baik Orion maupun Rigel, keduanya hanya bisa terdiam, terperangah oleh beberapa frasa tajam yang baru saja dilontarkan oleh remaja di hadapan mereka.Orion tidak menyangka bahwa remaja yang kemarin ia tabrak memiliki latar belakang keluarga yang begitu memprihatinkan. Tanpa sadar, rasa iba dan kasihan semakin mengakar di dalam hatinya terhadap remaja bernama bintang khatulistiwa itu.
“Kalo kalian cuma mau nanyain soal si anhar, mending pergi aja dari sini! Kalian cuma gangguin gue doang, tau nggak!” Bentak remaja bername tag ‘Dika’ pada kedua dokter muda itu, suaranya terdengar penuh ketidaksabaran.
“Tunggu, saya pengen tau lebih jauh tentang keluarga Libra.” Orion menelan ludah sebelum melanjutkan, “Apa ayahnya…”
Belum sempat ia menyelesaikan pertanyaannya, handphonenya tiba-tiba berdering keras. Nama ‘Dokter Aqlan’ muncul di layar. Tanpa berpikir panjang, Orion segera menjawab panggilan tersebut.
Sementara itu, Rigel meneliti sosok Dika dari ujung kepala hingga kaki. Penampilannya terlihat urakan. Dengan rambut biru berantakan dan beberapa tindik di alis serta hidungnya, terkesan liar dan kasar.
Selama ini kita sering mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', tetapi hal tersebut tidak selalu berlaku dalam psikologi. Sebagai psikolog, Rigel sangat memahami pentingnya kesan pertama.
Penampilan luar sering kali mencerminkan sisi psikologis yang lebih dalam dan bisa memberikan petunjuk mengenai latar belakang atau kondisi mental seseorang.
Dalam beberapa kasus, terdapat berbagai faktor yang mendorong seseorang seperti Dika untuk melakukan hal-hal tersebut.
Misalnya, rambut berwarna dan tindikan sering kali menjadi cara bagi seseorang untuk mengekspresikan identitasnya atau menunjukkan ketidaksesuaiannya dengan norma sosial. Ini bisa menandakan keberanian untuk tampil berbeda atau ketidakpedulian terhadap penilaian orang lain.
Selain itu, terkadang, penampilan mencolok seperti yang dilakukan Dika, dapat menjadi sinyal bahwa seseorang ingin diakui atau diperhatikan. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya rasa diterima di lingkungannya atau kurangnya dukungan emosional dari orang sekitar.
Orion menghela nafas, perasaannya sedikit goyah, "Ayo cabut, kata dokter Aqlan Libra jatoh di kamarnya." Katanya pelan namun terdengar mendesak.
Rigel yang baru saja sadar dari kegiatannya menoleh sembari mengernyit terkejut dan kebingungan pada Orion, "Hah? Kok bisa?"
"Gue nggak tau detailnya gimana, tapi yang jelas kita harus ke RS sekarang." Balas Orion sembari menyimpan handphonenya ke dalam saku.
“Oke, kita langsung ke rumah sakit sekarang,” Putus Rigel, kemudian bergerak membuka pintu dengan gesit dan berjalan keluar, diikuti Orion di belakangnya.
"Tunggu!" Namun, sebelum keduanya sempat keluar, suara Dika menghentikan langkah mereka.
Remaja seumuran Libra itu bergegas ke arah belakang menuju warehouse minimarket.
Orion hanya mengedikkan bahu kepada Rigel, yang memandangnya dengan ekspresi penuh tanya. Sejujurnya, Orion sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukan Dika.
Beberapa saat kemudian, Dika muncul kembali dengan beberapa tas besar di tangannya, lalu melemparkan tas-tas itu ke arah Orion.
“Bawa sekalian barang-barang si Anhar! Bilang ke dia, bos udah pecat dia, jadi nggak usah balik ke sini lagi! Selamanya!" Perintah Dika sambil menatap Orion dingin, lalu berbalik masuk ke dalam warehouse tanpa sepatah kata lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORLIB
Teen FictionOrion, dokter muda yang ramah dan tampan tiba-tiba harus mengurus Libra, remaja laki-laki judes dan bermulut pedas yang tidak sengaja ditabraknya. Bagaimana jika sifat Libra tersebut justru mencerminkan mekanisme pertahanan diri atau coping mechani...