Malam itu terasa sangat melelahkan bagi Rin. Seharian ini cuaca terasa mendung bagaikan hatinya. Ia sudah berbaring di kamar berniat untuk beristirahat, tapi harus ia urungkan niatnya itu setelah mendengar suara perutnya yang meminta makan.
Di dapur tidak ada makanan apapun, Rin menghela nafas. Ia kembali ke kamar untuk mengambil uang dan jaket karena malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Sebelum keluar untuk mencari makan— entah baik atau bodoh, Rin mencari sang kakak terlebih dahulu untuk menawarkannya apakah ada hal yang ingin dia makan.
Tentunya Sae menolak mentah-mentah ditambah dengan kata-kata kasar untuk Rin. Lebih buruknya lagi Rin harus terkena tamparan yang cukup keras di pipinya— membuat salah satu pipinya itu memerah.
Rin tidak mau membantah ataupun melawan Sae. Jadi dia pergi setelah Sae menyuruhnya pergi. Rin masih sayang pada sang kakak, sangat sangat sayang. Rin tidak akan pernah bisa membenci Sae. Rin benar-benar bersikap naif pada kakaknya. Rin pikir mungkin Sae memang sering emosi saja akhir-akhir ini karena kelelahan.
Dinginnya malam tidak sedingin hati Rin saat ini. Ia hanya terus berjalan sebelum berhenti di salah satu tempat yang menjual makanan. Membelinya lalu berjalan pulang. Tapi siapa sangka jika dia akan bertemu salah satu temannya— Isagi saat ini.
"Rin? Beli makan?" Siluet itu berjalan kearah Rin sambil bertanya, hingga akhirnya terlihat juga sebuah senyuman di paras indahnya. Senyuman yang langsung menghangatkan hati Rin entah kenapa.
Rin mengangguk untuk jawaban, sebelum Isagi menyadari jika salah satu pipi lelaki di depannya ini berwarna merah. Isagi sentuh bagian itu dengan ekspresi penasaran dan khawatir. Isagi bertanya, dan Rin menjawab jika itu hanya kedinginan.
'Jelas-jelas ini bekas ditampar..' Pikir Isagi. Namun Isagi tidak berani mengutarakannya. Ia memilih untuk diam. Setelah melepas sentuhan dari pipi Rin, Isagi kembali tersenyum.
•
•
•
•Disinilah mereka berakhir. Pantai di malam yang dingin setelah Isagi menawari Rin untuk jalan-jalan sebentar. Semilir angin yang terasa lebih kencang dari biasanya tidak mengganggu dua makhluk yang sedang duduk diatas gazebo. Desir ombak yang terdengar lebih keras di malam hari malah membawa ketenangan bagi mereka. Hening. Tidak ada yang membuka suara sampai saat ini. Mereka sibuk menikmati ketenangan satu sama lain.
"Kak Sae pulang." Hingga akhirnya Rin membuka suara— yang diajak bicara merespon lambat. Isagi hanya ber-'oh' panjang lalu kembali diam. Rin juga tidak mengharapkan respon dari Isagi.
"Gimana kabar kak Sae?" Tanya balik Isagi. Kali ini Rin yang merespon dengan lambat— atau mungkin sengaja.
".. Baik." Jawab Rin akhirnya. Isagi hanya mengangguk lalu mengangkat tangannya untuk menepuk kepala Rin.
"Kata orang kalo kebanyakan mendem masalah, nanti cepet mati." Lantur Isagi kemudian menjauhkan tangannya dari Rin.
Kedua orang itu kembali diam menikmati ombak yang berderu. Suaranya berisik seperti memberitahu jika sedang mempunyai masalah, namun juga menenangkan bagi orang yang mendengar nya.
Akankah orang2 akan tenang setelah aku menyampaikan masalahku? Atau malah merasa takut? Atau sedih lalu menangis? Layaknya mendengar suara ombak— memberi pengaruh yang berbeda bagi setiap orang.
"Gimana ya keadaan orang tua gue disana? Kangen." Tanya Rin— yang malah diberi senyuman tipis oleh Isagi.
"Mereka udah tenang. Mereka tau lo anak yang kuat, Rin." Jawab Isagi, yang akhirnya mengundang tawa pelan dari Rin. Isagi tak merespon. Dia masih tersenyum, tapi kali ini dia tersenyum miris.
Isagi tau, Rin hanya berusaha menyembunyikan kesedihan nya yang sudah ia pendam sejak lama. Dia hanyalah anak malang yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya saat masih usia remaja. Kemudian hidup sendiri layaknya sebatang kara sebelum Sae pulang dari luar negeri. Mungkin kepulangan kakaknya tidak menyembuhkan luka dan kekosongan di hatinya, namun memperburuk nya.
Mengingat betapa hancurnya Rin saat orangtuanya pergi dan satu-satunya anggota keluarganya yang masih tersisa tidak datang menjenguknya saat itu, memberi pelukan ataupun kata-kata penenang— membuat semua orang yang mendengar cerita itu mau tidak mau pasti akan menangis. Tapi sayangnya hanya Isagi dan beberapa teman dekat Rin yang mengetahui hal tersebut.
Mungkin sudah setengah jam mereka berdua di pantai ini— memandangi air laut yang naik lalu surut, atau langit yang kosong tanpa hiasan apapun kali ini.
Isagi menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempat duduknya, ia meregangkan tubuhnya sedikit lalu beralih ke Rin. Tersenyum kemudian mengajaknya pulang karena malam sudah lumayan larut dan menjadi semakin dingin. Sang Itoshi bungsu itu mengangguk menyetujuinya.
Mereka berdua saling berharap bisa menghangatkan diri di rumah mereka masing-masing setelah merasakan dinginnya angin pantai.
Namun sepertinya hal itu tidak akan terjadi untuk Rin.
•
•
•
•PLAK!!
"Habis darimana lo? Beli makan aja lama amat." Sinis Sae yang tiba-tiba saja sudah berada di depan pintu, seakan menunggu Rin.
"Oh? Atau lo ngelonte? Pinter banget ya, kecil2 jadi murahan. Dibayar berapa emang?"
Rin menggeleng dengan cepat. Kepala yang awalnya menunduk sekarang sedikit terangkat setelah mendengar perkataan Sae.
"Ngga gitu ka–"
"Alesan, sana masuk kamar." Perintah Sae setelah dengan mudahnya memotong perkataan Rin tanpa memberi sang adik kesempatan untuk berbicara. Rin terdiam sesaat lalu mengangguk dan melakukan perintah Sae yang menyuruhnya untuk masuk ke kamar.
Selesai melaksanakan apa yang kakaknya perintahkan, Rin sekalian mengunci pintu kamarnya. Awalnya semua masih baik-baik saja dari ia melepas jaketnya lalu membersihkan dirinya. Hingga tiba saat ia sedang makan sambil mendengar lagu yang mengalun dari handphone nya.
When we grew up, our shadows grew up too
But they're just some old ghosts that we grew attached to
The tragic flaw is that they hide the truth
That you're enough, you're enough, you're enough
I promise you're enough, you're enough, you're enough.
Rin memang mendengarkan playlist nya yang berisi lagu acak, tapi seingatnya ia tidak pernah menyimpan lagu seperti ini.
Rin bingung karena tiba-tiba ada setetes air yang jatuh ke sendok makannya, padahal rambutnya sudah kering. Lalu apa?Oh... Rin menangis.
Rin menangis tanpa ekspresi apapun, hanya ekspresi datar seperti yang biasanya ia gunakan. Dia membiarkan air matanya terus turun tanpa berkeinginan untuk mengusapnya. Membiarkan tidak hanya dua atau tiga tetes air yang jatuh melewati pipinya. Dada Rin sesak. Ia mengamati sekeliling kamarnya hingga pikiran Rin sengaja memunculkan bayangan masa lalu— dimana Sae dan Rin kecil sedang duduk di atas kasur dengan Rin yang bersandar di pundak kakaknya.
—
"Dek, kalo ada apa2 jangan lupa cerita ke kakak ya? Kakak bakal selalu ada disamping Rin klo Rin butuh. Kakak bakal dengerin semua ceritanya Rin, meluk Rin, nenangin Rin kapanpun kamu mau. Janji sama kakak ya? Mulai sekarang kalo sakit jangan dipendem.
—
Semakin sesak dada Rin, semakin deras juga air mata yang keluar dari matanya. Kekuatan nya yang selama ini ia bangun mati2 an runtuh sudah kali ini.
"Bullshit..." Rintih Rin saat dia memeluk dirinya sendiri.
Rindu. Dia rindu dengan pelukan yang diberi dari orang2 yang dia sayangi. Sekarang siapa yang akan memeluknya disaat ia jatuh seperti ini?
Malam itu si Itoshi bungsu menghabiskan semalaman untuk menangis. Meluapkan segala emosi yang selama ini ia pendam hingga akhirnya jatuh tertidur dengan rasa sedih yang menyelimuti nya.
—Fin. See u next chp!—
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Fix This? -Itoshi Brothers || Angst.
RandomSebenarnya ada apa dengan semua ini? Dengan hubungan 'Dua Itoshi'? ‼️character milik: Muneyuki Kaneshiro & Yusuke Nomura. Story by @vivi_nazui