PRELUDE

2.2K 245 27
                                    


*

"How does it feel, Kar?"

Suara lembut tanpa intonasi itu membuat Karagan menoleh, menatap kedua mata perempuan yang paling laki-laki itu benci seumur hidupnya.

Tapi sepanjang hidupnya selama dua puluh delapan tahun, Karagan selalu terbiasa atau lebih tepatnya terpaksa untuk menganggap perempuan itu ada dalam hidupnya. Walaupun Karagan tidak pernah ingin. Dia selalu berharap perempuan itu bukan bagian dari ceritanya.

"Get lost, Lexie."

Perempuan bernama Lexie itu tersenyum tipis, menyelipkan satu batang rokok hitam di mulutnya. "Is it painful? Heartbreaking? Unbearable? Or does it hurt as if you're bleeding to death? Tell me. Which one, Karan?"

"Diam. Selagi aku masih bersikap baik, Lex."

Lexie, perempuan itu terkekeh pelan, menghembuskan asap rokoknya dengan pelan. "Kamu nggak pernah bersikap baik sama aku, Kar. Buat apa sekarang kamu berusaha?"

Karagan menghela nafasnya, menoleh dan memandang Lexie dengan tajam. "Mau kamu apa, Lex?"

"Mau ku?"

"..."

"Kamu tau apa mau ku, Kar."

"..."

"Dari dulu hingga detik ini. Mau ku cuman satu. Aku mau kamu."

Karagan tersenyum sinis. "But I don't want you."

Diam-diam Lexie menahan nafasnya, lalu tersenyum tipis. "I know." Bisiknya pelan.

"Tapi sekarang orang yang kamu mau, pemeran utama di hidup kamu sudah membuang kamu, Karan. So let me ask you, how does it feel? Does it hurt?"

"Yes, Lexie. It hurts. and thanks for asking." Balas Karagan dingin. Lexie lantas menjatuhkan batang rokoknya, menginjak rokok itu pelan dengan heels hitamnya.

"Kamu tahu nggak, Kar? Hal yang kamu rasakan saat ini gak sebanding dengan apa yang aku rasakan. No offense. Tapi mungkin kamu bisa menganggap pengkhianatan perempuan itu sebagai tamparan. Agar seorang Karagan sadar kalau gak ada hal yang lebih menyakitkan daripada dianggap tidak ada."

"Berhenti sebut Abhista dengan sebutan 'perempuan itu' Lex. Dia punya nama. I've warned you before."

"Aku tidak cukup dekat dengan perempuan itu untuk sekedar memanggil dia dengan sebutan nama, Karan." Balas Lexie cepat, dengan nada tajam.

"..."

"Sebutan 'perempuan itu' jauh lebih baik, 'kan Kar? Daripada aku memanggil dia dengan sebutan wanita perusak hubungan orang lain, atau wanita simpanan?"

"ALEXANDRA GWENETH ARIETEDJO!"

Lexie terkekeh pelan, suara bentakan dari Karagan tidak pernah membuat Lexie bergetar atau takut sama sekali. Rasanya seperti sudah terbiasa. Terbiasa karena bentakan itu bukan bentakan pertama yang Karagan lontarkan padanya. Rasa sakit sudah seperti menetap di hatinya untuk waktu yang sangat lama, sehingga rasanya seperti sudah mati rasa.

Rasa sakit karena bentakan Karagan tidak sebanding dengan sikap laki-laki itu yang selalu menganggapnya tidak ada. Padahal realitanya, Lexie punya tempat di hidup laki-laki itu sebelum perempuan beranama Abhista Pranaya mengambil tempatnya.

Maka dari itu, bentakan dan amarah yang Karagan lontarkan padanya tidak pernah terasa begitu menyakitkan untuk Lexie. Dia lebih baik di bentak, di maki dan di benci oleh Karagan.

Daripada di anggap tidak ada di hidup laki-laki itu.

"Oh ya, aku hampir lupa. Bukan perempuan itu ya, Kar, yang menjadi wanita perusak hubungan orang lain? Tapi aku." Tutur Lexie dengan senyum dan ekspresi tenangnya.

Ekspresi dan sikap tenang gadis itu adalah hal yang tidak pernah Karagan sadari dari seorang Alexandra Gweneth Arietedjo, tunangannya sejak umur keduanya masih sangat belia. Bahwa gadis itu punya sikap setenang air di lautan—yang tidak pernah sama sekali menunjukan emosi berlebihan atau bahkan menangis atau bersujud didepan nya, meminta Karagan untuk meninggalkan Abhista, walaupun Karagan tahu gadis itu begitu menginginkannya.

Karagan kembali memandang kedua iris mata Lexie, melontarkan satu pertanyaan yang sudah lama ingin dia tanyakan pada gadis dihadapannya itu.

"Kamu tahu Lex, apa alasan aku tidak pernah memilih kamu dibandingkan Abhista?"

Lexie mengukir senyum tipis. "Aku tahu." Sampai aku mati pun, kamu tidak akan pernah memilih aku. Aku tahu.

Senyuman itu. Senyuman tenang seakan-akan gadis itu tidak terluka adalah senyuman yang paling Karagan benci dari Lexie.

"Jawab aku kalau kamu tahu jawabannya. Apa alasannya, Lex? Apa alasan aku tidak akan pernah memilih kamu?"

"Aku secara tidak langsung sudah menjawab pertanyaan kamu sebelumnya, Karan. Aku bukan pemeran utama di hidup kamu. Aku hanya wanita perusak kebahagiaan kamu. Selamanya akan begitu, kan?"

Karagan termenung. Dia tidak bespektasi sama sekali bahwa jawaban gadis itu akan berbeda dari apa yang Karagan pikirkan.

"Aku tidak mencintai kamu. Itu jawabannya."

Lexie tertawa pelan mendengar jawaban Karagan. "Even if you do love me, aku gak akan pernah menang di hidup kamu, Karan. Karena jawaban benarnya adalah jawaban ku sebelumnya. Aku bukan pemeran utama di cerita ini. Atau di hidupmu. Jadi kamu benar, tidak mencintaiku adalah jawaban yang juga cukup mendekati."

Lexie melangkah maju, mendekati Karan hingga keduanya berhadap-hadapan. "Kar, if one day,"

".....If one day in your life, in another chance, or even in another lifetime, you start to realize you've fallen in love with me, everything will remain the same, Karan."

"..."

"Aku nggak akan pernah jadi pemeran utama di hidup kamu. Selamanya akan begitu."



*



Hi, deb disini.

Finally aku debutin cerita jenselle pertamaku disini. Aku udah dari lama kepikiran mau nulis disini. Cerita baru ini genre nya angst, dan included mature content ya teman-teman. So please be wise ya buat adek-adek yang masih dibawah umur.

Cerita ini juga akan punya lumayan banyak karakter, akan aku perkenalkan satu persatu seiring cerita berjalan, ya.

Selamat membaca.

BACKSEATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang