Prolog

2.1K 154 13
                                    

Didalam suatu ruangan, terdapat banyak sekali kotak kardus tergeletak diatas lantai yang dingin. Beberapa kotak itu berisikan barang-barang yang siap untuk dipindahkan, mengingat pemiliknya akan meninggalkan ruangan tersebut. 

Allen,sebagai pemilik ruangan yang merupakan kamarnya itu berjalan mendekati sebuah meja tidak jauh dari arah pintu. Ia mengambil sebuah pulpen yang ada disana. Terlihat begitu tua dan tidak layak pakai, tetapi Allen tetap mengambil dan memasukkannya ke dalam tas yang sedang digunakannya.

Semuanya baik-baik saja. Allen mulai menumpuk beberapa kardus dan menyusunnya sesuai barang-barang yang terdapat didalam kardus tersebut. Sampai sebuah langkah kaki terdengar semakin dekat menghentikan aktivitasnya sekarang.

"Allen? Apa sudah selesai?"

Allen mendapati sesosok pria berdiri diantara kusen pintunya begitu menoleh. Sosok familiar itu, Felix, dengan surai hitamnya yang mulai bercampur beberapa helai putih dan memiliki sedikit kerutan pada bagian pelipis. Meski begitu kecantikan yang dipancarkan oleh sang papa tidak pernah pudar meski sudah melewati banyak waktu.

Tubuhnya masih terlihat begitu ringkih, dengan pucatnya kulit pasti orang-orang awam akan mengira kalau Felix sedang sakit. Tetapi itu adalah penampilan terbaik yang Felix miliki, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu yang bahkan keadaanya lebih ringkih dan pucat dibandingkan saat ini.

Allen berjalan mendekati Felix. Langsung memeluk tubuh yang lebih kecil darinya itu dan menghirup aroma sakura yang sempat Allen khawatirkan akan menghilang nanti.

Felix membalas dengan gumaman kebingungan. Lalu Ia membawa tangan untuk mengusap punggung lebar sang anak yang semakin hari mirip seperti milik sang suami.

"Aku akan merindukan papa."  Allen melepaskan pelukan. Menatap langsung pada manik hitam Felix dan menunjukkan ekspresi cemberutnya. "Kalau ayah macam-macam, tendang saja kemaluannya!"

Mendengar itu Felix terkekeh pelan. "Kamu nggak boleh seperti itu." Lalu diberikan kecupan pada rahang tegas milik Allen. "Ayah sudah menunggu. Kamu akan dimarahinya lagi kalau semakin lama."

Walaupun tidak suka, Allen tetap mengangguk. Ia mulai mengikuti Felix yang membawanya menuju halaman depan. Melihat mobil sang ayah terparkir tidak jauh dari tempatnya, keduanya menghampiri mobil tersebut.

"Kalau begitu Al berangkat." Allen menghadapkan tubuhnya pada Felix. Mendekatkan diri pada sang papa dan memeluk kembali tubuh kurus itu. Kali ini cukup lama dan erat, sampai-sampai klakson mobil berbunyi menandakan pengemudi didalamnya memperingatkan Allen untuk bergegas.

"Papa sehat-sehat ya?" 

Pelukan terlepas, Ia bisa mendapati Felix memberikan tatapan perhatian begitu Allen berbicara. "Tentu saja. Kamu juga disana. Sampaikan salam ku pada kakak-kakakmu.

"Um.."

Dengan begitu Allen memasuki mobil, duduk di kursi penumpang samping pengemudi dimana Dion berada. Pria alpha yang merupakan ayahnya itu sudah semakin menua, berbeda dengan sosok pria yang ditemuinya beberapa tahun lalu yang merupakan ayahnya itu.

Perpisahan yang cukup singkat tetapi cukup menurunkan perasaan Allen saat itu. Ia tidak akan lagi tinggal bersama sang ayah dan sang papa setelah beberapa tahun bersama. Itu memang membuat Allen sedih. 

Kembali ke tanah kelahirannya dan membuka pengalaman baru untuknya.

Mobil akhirnya berjalan, membawa Allen yang tanpa henti melambai pada Felix dibelakang sampai sosok itu semakin menjauh dan akhirnya menghilang dari jarak pandang.

---

Berbeda tempat, terdapat sesosok pemuda diam berdiri diam ditempatnya. Kepala menunduk dan tatapan terus menatap kebawah. Tidak berani mengangkat kepala sedikitpun sejak Ia masuk kedalam ruangan ini yang memang memiliki pencahayaan minim.

"Jangan permalukan saya lebih dari ini."

Sosok lainnya, pria kisaran usia tiga puluh dengan kacamata terpasang pada pangkal hidung. Sedikitnya menghalangi manik cokelat yang sedang menatap tajam sosok pemuda dihadapannya tanpa ampun.

"Kalau kau membuat kekacauan lagi, katakan selamat tinggal pada kebebasan mu."

Sosok pemuda itu menjadi kaku untuk sejenak. Ia perlahan mengangkat kepala, dengan takut melihat secara langsung sepasang mata cokelat yang selalu menghantuinnya selama ini.

Tidak ada pilihan lain selain menyetujui perkataan pria itu. Hanya anggukan yang diberikan, cukup membuat kepuasan pada pria itu atas jawabannya.

"Dan satu lagi-"

Sosok pria itu berdiri dari kursi kebanggaannya. Berjalan mendekati sosok pemuda dengan melewati meja kerja miliknya. Tangannya terangkat untuk menarik dagu pemuda, memberi rasa takut ketika dipaksa langsung menatap kedua manik cokelat itu.

"Malam nanti datanglah ke kamarku." Ucapnya sensual sembari menjilat daun telinga sang pemuda. "Aku menunggu hadiahku karena sudah memberikanmu kesempatan kali ini."

Pemuda itu tahu tidak ada yang bisa melepaskannya dari belenggu ini. Ia sudah terikat sejak Ia dilahirkan dan tumbuh didalam keluarga ini.

Tentu saja tidak ada hak baginya untuk menolak. 

"Baik," Pemuda itu mengangguk dan mengalungkan tangan pada leher pria yang lebih tua. Diberikan senyuman tipis, lalu membalas menjilat bibir bawah pria yang lebih tua.

"Terima kasih, Kakak."

.

.

.


Beyond the Beyond: After We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang