Chapter #1: Pribumi

21 5 5
                                    

Pada satu gugusan bintang di galaksi Bimasakti, himpunan delapan planet mengitari satu bintang katai kuning yang sama. Kesemuanya hidup dalam perlindungan angin heliosfer yang dahsyat dalam suatu sistem yang disebut tata surya. Zona orbit ke delapan planet tersebut begitu sempurna tanpa ada satupun yang bersilangan. Semua berkat tarikan gravitasi dari sang bintang yang berlaku adil bagi ke delapan 'anak' yang setia mengelilinya itu.

Selama lebih dari empat miliar tahun yang lalu, pusat tata surya yang diberi nama Matahari itu terbentuk. Butuh waktu miliaran tahun lagi untuk membuat perubahan yang signifikan baginya. Dua jutaan tahun tak berarti apa-apa. Meski begitu, waktu dua jutaan tahun memberi dampak yang luar biasa pada satu-satunya planet bercorak biru dan hijau dengan semburat putih yang mengelilinginya. Bumi—planet yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya menjadi yang paling bising dan paling hidup dalam tata surya itu—kini telah mati.

Suara mesin kendaraan yang sahut-menyahut di seluruh penjurunya, kapal terbang yang silih berganti mengudara, kebisingan industri yang mengepulkan asap hitam tak bersahabat, hingga suara kehidupan miliaran makhluk berakal yang tersebar dimana-mana—tak lagi meyisakan jejak apapun. Bumi itu kini sepi. Sunyi tak bersuara lagi.

Sebagian yang beruntung dan ber-uang di antaranya telah pergi, tepat sebelum bencana masif yang diramalkan akibat kerusakan global benar-benar terjadi. Mereka pergi mencari tanah baru untuk membangun peradaban—atau mungkin merusak peradaban. Sementara itu sebagian besar sisanya yang tak berguna dibiarkan menjajal gelombang pasang samudera, lelehan gletser yang mencair, hingga batuan dan magma panas yang terlontar dari perut sang planet. Nahas, tapi itulah yang terjadi. Makhluk berakal memang terlahir punya akal, tapi belum tentu punya nurani.

Kini, dua jutaan tahun sudah Bumi resmi dianggap mati. Sudah bukan lagi rumah untuk peradaban makhluk berakal. Kadar oksigennya menurun, bercampur karbon dioksida yang meningkat. Temperaturnya meninggi, hampir dua kali lipat dari yang pernah tercatat. Daratan hijau hanya tersisa 10 sampai 15 persen dari seluruh bagian yang ada. Samudera yang membentang sisanya dipenuhi biota dan mikroba ganas yang tak bersahabat. Mereka yang berhasil selamat dari bencana masif pun kebanyakan tumbang juga.

Namun selayaknya alam semesta dan seisinya yang selalu punya keseimbangan istimewa, Bumi pun demikian. Hilangnya seluruh makhluk perusak memudahkan lapisan atmosfer menyembuhkan perisainya yang berlubang. Tanaman hijau yang terasupi lebih banyak karbon dioksida mulai berevolusi, menjadikannya tumbuh makmur sejahtera. Hewan-hewan yang terasupi lebih sedikit oksigen ikut berevolusi—ada yang mengubah jam tidurnya, ada yang mengubah pola makannya, ada yang mengubah tempat tinggalnya, ada pula yang mengubah bentuk tubuh dan ketahanannya. Semua terjadi demi satu tujuan yang sama yakni bertahan hidup.

Bicara seputar bertahan hidup, ada kalanya Bumi menyimpan sebuah rahasia di balik kabut putih yang menyelimuti permukaannya dan samudera biru yang menggenangi perairannya. Tapak kaki yang berpijak, dayungan tangan yang menyelam—ternampak di dua sisi Bumi yang berbeda. Mendefinisikan diri mereka sebagai makhluk berakal yang telah berevolusi bersama tumbuhan dan hewan yang tersisa.

Mereka hidup, namun tak saling tahu.

***

Di antara daratan yang tersisa di Bumi yang tak seberapa luas itu, tanah cokelat dan perbukitan masih tersisa. Bukit Tabi tumbuh subur dengan tanaman hijau berukuran raksasa meskipun pada dasarnya terletak di ketinggian yang bersentuh awan. Hutan lebat mengungkung sekeliling bukit, menjadikannya area peradaban yang dianggap aman.

Siapa sangka di bilik kayu itu ada seonggok anak manusia yang tengah menjalani hidup selayaknya biasa. Anak manusia dengan tubuh kekar dan telapak tangan kasar, yang mendefinisikan keras kehidupannya di daratan Bumi yang tak seberapa luas itu. Kulitnya bersemu gelap dengan helai rambut yang kecokelatan dan kering, semua berkat teriknya sinar mentari berpadu dengan unsur udara yang tidak cukup bersahabat. Dia bukan satu-satunya yang dianugerahi penampilan fisik seperti itu. Semua orang suku Bukit Tabi berperawakan sama, setidaknya begitu selama mereka hidup.

Biru Di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang