Chapter #2: Pengelana dan Penyisir Jejak

8 1 0
                                    

Di antara bayang-bayang pohon itu Biru menggendong ransel besarnya yang berisi beberapa bahan makanan dan alat-alat bertahan hidup. Di tangannya tergenggam belati yang sesekali dia gunakan untuk menyabet akar dan ranting penghalang jalan. Di balik punggungnya terselip anak panah dari serat kayu, lengkap dengan busurnya. Sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu dia memburu hewan pelari cepat.

Matahari dan bulan telah beberapa kali silih berganti sejak pijakan pertama Biru keluar dari perbatasan Bukit Tabi. Permukaan tanah yang semula menurun kini telah berubah menjadi dataran biasa. Vegetasi hutan yang rapat kini berangsur merenggang. Pohon-pohon berbatang tebal dan tinggi kini tak lagi ada, berganti dengan pohon berbatang sedang yang tak begitu tinggi—cocok untuk Biru gunakan sebagai tempat tidur di malam hari.

Meski pemuda itu baru menginjak usia remaja, Bukit Tabi dan sekitarnya semudah menjentikkan jari ditakhlukannya.

Langkah kakinya yang terus maju di bawah perputaran bumi yang terus terjadi membawa Biru hingga ke batas ujung pepohonan. Savana luas menghampar di hadapannya, tak tersentuh ujungnya. Beberapa kerumunan hewan buas tersebar mulai dari serigala bertotol, macan bertaring, hingga burung berparuh panjang. Meski jumlahnya tak banyak, tapi cukup untuk membuat insting bertahan Biru menciut. Ada kalanya dia hanyalah seorang anak remaja biasa, yang merasa tak yakin dengan kemampuannya. Terlebih, ini bukan soal Bukit Tabi.

Maka anak itu menepi sejenak, mencari tempat yang aman untuk mengamati. Dia perlu sedikit bijaksana menimbang strategi ketimbang mati konyol sebelum tujuannya tercapai. Biru mengambil jeda di tengah perjalanannya. Mencari waktu yang tepat untuk menyeberangi savana tak berujung, tanpa mempertaruhkan nyawanya sendiri.

***

Di atas batu besar di area pesisir Sora, Osiana mendaratkan tubuhnya yang penuh guyuran air. Dengan tangannya yang berselaput, dia menyeka wajah dan rambutnya yang terurai setelah kedalaman seribu meter diselami sebagai pemanasan awal. Kulitnya yang semula mengencang di kedalaman laut, kini kembali mengendur di daratan. Insangnya yang tersembunyi di balik daun telinga kini menutup. Sambil mengatur napas menggunakan paru-parunya, gadis itu meramu strategi.

Lautan dalam berisi peradaban lampau yang pernah Ayahnya ceritakan itu berada di kedalaman sepuluh ribu meter di bawah laut. Kedalaman yang hanya orang-orang dewasa di suku Sora yang mampu selami. Anak-anak remaja seusinya masih perlu banyak berlatih untuk bisa menguasai kemampuan itu. Namun kenyataan bahwa Osiana adalah satu-satunya manusia yang tersisa membuatnya tak punya pilihan lain. Beberapa waktu belakangan Osiana terus berlatih menyelam dengan target pertambahan satu meter setiap harinya. Tentu akan sangat gegabah untuk menyelami dasar laut tanpa membiasakan tubuhnya lebih dulu.

Ada satu hal yang menjadikan semangat Osiana memancar lebih terang hari itu. Setelah sekian malam yang membawa pasang-surutnya air laut berlalu, tiba waktunya menyelami batas kedalaman yang Ayahnya bicarakan. Osiana bersiap untuk membuktikannya, meski tak tahu apa yang akan dilakukan setelahnya. Paling tidak, membawa setitik harapan hidup dalam dirinya.

Setelah dirasa yakin, gadis itu mengambil ancang-ancang setarikan nafas. Oksigen terakhir yang dihirupnya sebelum kembali mengaktifkan insangnya di kedalaman laut. Osiana menguncupkan ujung tangannya seperti perisai lalu menceburkan tubuhnya ke hamparan air laut. Gelembung udara bergolak, berebut tempat untuk kembali ke permukaan. Bertolak belakang dengan tubuh Osiana yang meliuk lihai, menukik tajam ke dasar bumi.

Osiana menyelam jauh lebih dalam setiap detiknya. Satu dayungan tangannya yang berselaput dapat membawanya beberapa meter maju. Dayungan kakinya yang kuat menambah kecepatan lebih lagi. Makin dalam dia menyelam, makin kencang permukaan kulitnya terasa. Suhu air yang hangat mulai berangsur netral. Di kedalaman yang akan dia tuju, suhunya akan jauh lebih rendah lagi. Meski begitu, tubuh Osiana telah terlatih menahan deranya.

Ikan-ikan besar dan beragam mulai terlihat pada kedalaman itu. Batu karang berjejer cantik seperti harta karun tersembunyi. Namun bukan sumber makanan yang sedang dia cari sekarang ini. Osiana terus menukikkan tubuhnya ke dasar laut, membawa kegelapan yang lebih pekat lagi di pandangannya. Meski begitu, matanya yang telah beradaptasi dengan kegelapan laut itu terlihat menyala.

Perlahan tapi pasti, Osiana tiba di kedalaman yang ditujunya. Rumah dari kesunyian dan kegelapan yang bersemayam di perut samudera. Predator besar seperti paus pemburu bermoncong lancip, hiu berbatu, hingga cumi-cumi raksasa tinggal disana. Osiana bukan hanya perlu melatih tubuhnya untuk bertahan di kedalaman itu, tapi juga bertahan hidup dari santapan mereka.

***

Pada satu malam yang berangin di bawah bayangan awan gelap, Biru mengambil celah untuk menyusup di antara semak-semak dan bebatuan savana. Adrenalin memacu kencang di tubuhnya, membawa semua indera berburunya meningkat tajam. Deru suara angin yang berhembus dimana-mana, membawa hewan-hewan mencari lindungnya masing-masing. Namun Biru menggunakan momentum langka itu sebagai keuntungannya, sebelum semua kesempatan hilang dan perbekalan yang dibawanya tak lagi cukup memenuhi kebutuhannya.

Memakan waktu yang cukup panjang, pada akhirnya ujung savana terlihat juga di ujung matanya. Pohon-pohon dengan vegetasi sedang menyambut di sisi lain tempat Biru bersembunyi. Remaja laki-laki itu terus maju, memunggungi savana penuh resiko di belakangnya. Dia meraih kemenangan mutlak berkat angin kencang yang tiba-tiba menderu, tanpa tahu pasti apa yang terjadi di balik punggungnya.

Biru terus maju, menembus daerah berpohon lagi. Langkahnya masuk lebih dalam ke area hutan, mempertemukannya dengan suara gemericik air yang sayup-sayup di kejauhan. Hukum alam yang berlaku, air adalah sumber kehidupan. Maka insting membawa Biru menyisir lebih jauh ke dalam kelebatan hutan, ke arah sumber suara itu berasal.

Anak laki-laki yang sebatang kara itu bertekuk lutut mendapati sungai besar yang menghampar di depan matanya. Perjalanan panjang yang tak menentu memaksanya untuk menghemat banyak perbekalan di ranselnya. Maka Biru berlari ke sumber kehidupan itu. Menenggak air sepuas-puasnya dan berterimakasih pada semesta. Biru menghabiskan sisa malam di area tepi sungai. Sambil mengumpulkan semangatnya untuk petualangan baru di esok hari.

Sementara itu, di belahan bumi yang lain, jauh di bawah permukaan laut....

Osiana tengah bertaruh antara hidup dan mati, dimana seekor hiu berbatu mengejarnya. Sekuat apapun dia berenang, makhluk laut itu tetap menjadi pemenang di habitat aslinya. Maka berenang menjauh bukanlah pilihan yang tepat untuknya jika ingin tetap hidup.

Di ambang keselamatannya, Osiana berpikir cepat. Jika lari bukan strategi yang cocok untuk menghadapi kejaran hiu, dan sangat mustahil untuk dihadapi langsung—maka bersembunyi adalah jalan terbaik. Maka dengan pengelihatan seadanya di antara kegelapan laut, Osiana menyisir kemungkinan adanya batu karang terdekat. Batu karang yang bercelah, yang memungkinkannya masuk dan bersembunyi disana.

Di ujung dayungan tangannya di tengah kepanikan itu, jemari Osiana menyentuh sebuah benda padat dengan permukaan halus. Osiana menoleh, memastikan hal itu bukanlah predator lain. Namun tentunya, benda besar berbentuk patahan kubus dengan celah di beberapa sisinya itu dirasa bukan predator. Sayangnya waktu tak memberi banyak kesempatan bagi Osiana untuk berpikir lama, maka gadis itu mengikuti instingnya untuk masuk ke celah patahan kubus tersebut.

Pergerakan Osiana yang gesit dan tepat waktu bertepatan dengan melesatnya sang hiu berbatu di belakangnya. Hiu berbatu itu lantas menyisir jejak Osiana meski sempat tertinggal, mendobrak permukaan benda itu dengan kepalanya yang kokoh seperti batu hingga menimbulkan getaran dan gelombang di sekitar persembunyian Osiana. Udang-udang kecil keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka mengendus adanya bahaya dan berlari mencari tempat persembunyian baru. Begitupun Osiana. Gadis itu berbalik, kalang-kabut mencari area bercelah lainnya untuk dia bersembunyi.

Namun setelah beberapa waktu berlalu dan sang hiu tak berhasil menuai apa-apa, dia berbalik pergi meninggalkan Osiana. Gadis itu lemas di sudutnya bersembunyi, hingga lambat laun dirinya menyardari, tempatnya bersembunyi bukan sekedar patahan kubus biasa apalagi batu karang. Sebab tidak mungkin patahan kubus ataupun batu karang berisikan perabotan rumah yang telah lapuk menjadi hiasan bawah laut. Tidak mungkin laut menyimpan reruntuhan tempat tinggal manusia di dasarnya. Tidak mungkin—sebelum Osiana melakukan perjalanan itu.

*** EXPLORE THE NEXT CHAPTER ***

Biru Di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang