#1

210 11 0
                                    

| I'll never let you die.

Nyatanya melukis goresan pada pergelangan tangan lebih menarik dari apapun. Suara memekakkan telinga dari kamar sebelah, hembusan angin, serta gelapnya ruangan sama sekali tak mempengaruhi remaja itu. Jendela kamar sengaja dia buka lebar, mempersilahkan angin malam yang menusuk kulit masuk tanpa halangan.

Eunseok melampiaskan ketakutannya pada goresan di tangan, harap-harap akan memberinya sedikit ketenangan namun nyatanya dia hanya terus merasa resah, membuatnya hilang akal dan berakhir memekik bagai dirasuki setan.

Cutter di tangannya melayang begitu saja ke lantai kamar yang dingin dengan membawa sisa darah segar.

Eunseok mengeluh pada hidupnya yang lucu sekali. 17 tahun dirinya hidup, tak sedikitpun hari yang ia lewati tanpa mendengar suara yang memekakkan telinga dari kedua orang tuanya yang entah beradu perkara apa. Eunseok hanya tahu bahwa setelah ini dialah yang akan menjadi samsak gratis untuk ayahnya.

Dan ibunya lagi-lagi akan memohon hingga bersujud untuk membebaskannya.

Andai kata membunuh manusia bukanlah tindak kriminal yang akan langsung menjebloskannya ke penjara, sasaran utama yang ingin dia bunuh adalah ayah kandungnya sendiri. Ayah kandung yang sialnya memiliki wajah yang begitu mirip dengannya.

Pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki, dengan sedikit kesadaran yang tersisa Eunseok dengan cepat meraih gagang pintu dan menguncinya. Melarang siapapun datang dan masuk ke ruang pribadinya yang berantakan. Setidaknya dia mencoba untuk menghindar dari ayahnya kali ini.

Eunseok menulikan telinga dari suara ibunya yang menginstruksi dari luar. Dia bersandar di balik pintu, menyaksikan dirinya yang total kacau akibat ulahnya sendiri lewat cermin di depannya. Pergelangan tangan yang begitu memprihatinkan dan rambut yang acak-acakan.

Eunseok lagi-lagi mengeluh kenapa dia harus terlahir dengan begitu buruk entah dari segi apapun itu.

Bagai berhalusinasi, cermin di depannya memunculkan dirinya yang lain. Eunseok dengan senyum merekah yang sangat berbeda dengan dirinya yang asli, Eunseok di cermin terlihat mempesona tanpa goresan di pergelangan tangan dan penampilan rapi dengan seragam sekolahnya.

“Selamat malam, Eunseok!”

Dia menganggap dirinya sendiri gila saat mendengar bayangan dirinya di cermin berbicara. Dia terperangah dan mencoba mengabaikan suara yang datang. Hingga lagi-lagi dirinya yang lain bersuara.

“Song Eunseok?”

Dia menggertakkan giginya, mengambil cutter di hadapannya dan dengan cepat melayangkannya pada bagian atas cermin. Eunseok semakin yakin dirinya gila kala melihat bayangan dirinya menampilkan wajah sedih seolah-olah merasa tersakiti.

“Setan!” pekiknya tak tertahan.

Bayangan Eunseok di dalam cermin beranjak dari posisi duduknya, berjalan semakin dekat dan entah bagaimana caranya ia dapat keluar dari cermin. Membuatnya ketakutan dan mencoba mundur walau itu percuma.

Sosok asing itu memegang rambut Eunseok pelan, dan dengan tiba-tiba menariknya hingga membuat Eunseok sedikit mendongak dengan sisa air mata yang menggenang.

Dia meringis kesakitan, namun tak kuasa lagi mengeluarkan suara. Tubuhnya bergetar takut dengan sosok dirinya yang lain di hadapannya.

“Kamu yakin mau mati?”

Sosok asing itu beralih memegang pergelangan tangannya, mengelusnya dengan sedikit ditekan dan  dengan gerakan sensual hingga membuatnya lagi-lagi meringis kesakitan.

“Aku tanya sekali lagi. Eunseok, kamu yakin mau mati?”

Dia tertegun mendengar pertanyaan sosok yang sekarang menatapnya tajam, perlahan dia renungkan lagi keinginan nya untuk mati.

Benar, tak ada orang yang benar-benar ingin mati. Mereka hanya ingin lari dari masalah yang mereka hadapi.

Eunseok tak ingin mati, ia hanya ingin melewati masalah yang berat untuk dia lalui. Jikapun ada jalan pintas selain mati untuk melewati masalah ini, dia akan dengan yakin untuk memilih itu. Asalkan tidak mati. Namun adakah?

Pertahanannya roboh, Eunseok menangis di hadapan sosok dirinya yang terasa asing.

Semua terlalu berat untuknya. Orang tuanya. Teman-teman nya. Padahal ia tahu bumi ini dihuni milyaran orang, namun nyatanya tak satupun yang peduli dengannya.

Dia menangis tanpa suara, merutuki nasibnya yang sudah terlahir di dunia. Pikirannya tak pernah lepas membayangkan dosa apa yang telah ia lakukan di kehidupan sebelumnya hingga Tuhan memberinya karma sebesar ini.

“Aku Beomseok, Song Eunseok dari masa lalu.”

Eunseok sama sekali tak menanggapi perkenalan singkat sosok Beomseok di hadapannya, dia sibuk meluapkan perasaannya dengan pikiran kritisnya yang masih berpegang teguh bahwa ini hanyalah halusinasi.

Dia sadar diri, dengan apa yang sudah datang padanya sejak kecil, besar kemungkinan dia akan memiliki paling tidak sedikit gangguan jiwa.

“Eunseok, kamu percaya sama reinkarnasi?”

Kepalannya diusap penuh sayang, Eunseok menatap sosok di hadapannya lewat mata hazel yang tergenang air mata. Nyaman. Baru kali ini selama 17 tahun ria hidup dia merasa nyaman.

“Aku nggak mau mati.”

Beomseok berganti memeluk tubuh ringkih sosok kacau di hadapannya, mengusap punggung itu pelan. Penuh sayang. Ikut merasakan seberapa rapuh 'sosoknya' di masa kini.

I'll never let you die.

Bolehkah Eunseok menikmati ini walau hanya sesaat? ini terlalu nyaman. Pelukan Beomseok adalah pelukan terhangat yang pernah dia dapatkan.

Eunseok kecanduan. Dirinya begitu haus akan kasih sayang, hingga dia dengan mudah merasa nyaman dengan sosok ntah apalah yang mengusap halus kepalanya.

***

Let me die ; song eunseokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang