01 - When We Started

59 8 0
                                    

Matahari mulai merangkak meninggalkan singgasananya, membiarkan bulan yang menempati tempat itu untuk beberapa lama. Begitu pun langkah yang diciptakan Tari untuk meninggalkan kampusnya kala kegiatannya sore ini sudah tumpas. Kedua sepatunya bergantian menyentuh tanah yang lembab akibat hujan beberapa jam lalu.

Langkah kakinya berhenti, kepalanya mengadah menatap langit jingga diatasnya. Mulutnya mulai terbuka dan segera mengeluarkan helaan napas panjang dari sana. Tidak ada kata atau kalimat yang keluar setelahnya meski kedua matanya masih senantiasa memandangi awan yang bergerak lambat.

Sampai akhirnya Tari harus berhenti dari kegiatannya karena merasakan salah satu bahunya yang terasa berat. Tari menolehkan kepalanya dan mendapati sosok yang sepertinya akan menambah bebannya hari ini.

Tari tidak ingat jelas, namun ia yakin sosok disampingnya ini bernama Baskara. Lelaki yang sering menambah beban pikiran Tari selama beberapa semester. Bukan, mereka tidak satu fakultas pun jurusan.

Hanya saja kebetulan lelaki itu mengikuti organisasi yang sama dengan Tari. Tak seperti Tari yang memiliki jabatan cukup tinggi, Baskara hanya masuk jejeran anggota disalah satu divisi. Meski begitu, peran Baskara dalam mencampuri urusan Tari sangat besar.

Lelaki itu kerap mengomentari project-project yang Tari buat, usulan yang terlintas dibenak Tari dan banyak hal lainnya. Tari akui apa yang Baskara lakukan tidak salah, bahkan Tari banyak menyadari bahwa ia terkadang memang salah langkah. Namun, Tari juga butuh waktu dimana ia harus percaya pada apa yang ia kerjakan sendiri.

Tari sering meminta Baskara untuk sekalian saja mengajukan diri sebagai ketua organisasi mereka agar Tari bisa sedikit rela saat lelaki itu ikut campur dalam hal yang ia lakukan terkait organiasi. Namun, lelaki itu selalu menolak dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya.

Jika sudah begitu, satu hal yang Tari minta kemudian adalah agar Baskara menjauh darinya karena memang Tari selalu begitu. Tari tidak suka menempel dengan orang lain tanpa ada hal yang penting.

"Lo ngapain?." Baskara berucap sambil ikut menatap langit sejenak sebelum kembali memfokuskan atensinya pada Tari.

Tak langsung menjawab, Tari terlebih dahulu menggerakan bahunya agar tangan yang masih setia bertengger disana menjauh.

"Sorry."

Begitu sudah merasa usahanya berhasil, Tari langsung melangkah cepat. Setidaknya ia harus menyisakan sedikit tenaganya hari ini daripada menghabiskannya untuk meladeni Baskara.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

Meski masih sampai ketelinga Tari, gadis itu masih terus melangkahkan kakinya. Sampai akhirnya ia dengan terpaksa harus berhenti ketika sebuah kalimat yang sebenarnya sudah sering ia dengar terucap dari bibir Baskara.

"Gue kira Cuma sekedar gosip doang, ternyata lo emang sesombong itu."

Kalimat itu berhasil memancing sebuah kekehan kecil dari Tari. Ia kemudian berbalik dan menatap lurus Baskara. Yang ditatap lantas menaikkan kedua alisnya, menunggu kalimat apa yang akan menjadi balasan dari Tari.

"Jadi sekarang lo masih nganggap itu sebatas gosip doang atau emang kenyataannya?."

"Lo pengennya gimana?."

"Terserah. Gue nggak bisa ikut campur sama pendapat orang lain. Setiap orang bebas berpendapat kan?."

"Tapi lo bisa ngerubah pendapat mereka tentang lo, Tari."

"Gue nggak mau, Baskara." Tekan Tari.

"Kenapa? Lo bisa dapat lebih kalau mereka mandang lo dari arah yang berbeda. Bukan Tari si anak sombong yang ngerasa hebat." Baskara berhenti sejenak, mencuri pandang ke arah Tari yang masih menatapnya tanpa ekspresi. "Lo nggak cape jalanin semuanya sendiri? Setidaknya lo harus punya satu teman yang siap nemenin lo dalam keadaan apapun—"

Belum selesai dengan kalimatnya, bibir Baskara lantas mengatup kala mendapati gadis didepannya ini malah tertawa. Sesuatu yang menurut Baskara layak disaksikan dalam diam. Meski Baskara sendiri tahu bahwa gadis itu tertawa akibat kalimatnya yang mungkin terdengar remeh baginya.

"Gue nggak butuh semua yang lo jelasin itu. Gue udah ngerasa cukup dengan apa yang gue punya sekarang. Termasuk waktu yang barusan aja gue habisin buat ngeladenin omong kosong lo."

Kalimat itu akhirnya menjadi penutup perbincangan singkat antar dua manusia berbeda kelamin dilapangan fakultas ekonomi. Baskara pun tak berniat untuk menghentikan Tari lagi. Ia hanya diam menyaksikan punggung gadis itu yang perlahan mengecil akibat jarak mereka yang sudah semakin jauh.

Sedang Tari terus mengutuk dirinya karena terpancing dengan kalimat pasaran yang Baskara lontarkan padanya. Padahal kalimat itu sudah sering ia dapatkan dari manusia-manusia lain.

Anehnya, ketika mendengarnya dari mulut Baskara ada rasa aneh yang timbul dalam perasaan Tari. Sehingga dengan cerobohnya gadis itu malah menciptakan sebuah perbincangan diharinya yang sudah cukup melelahkan seperti biasa.


***

To Be Continue



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Try On!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang