Pagi-pagi buta Tari harus menginjakkan kakinya dikampus yang cukup sepi. Ia baru saja diminta untuk membuat sebuah proposal terkait kegiatan yang nanti akan mereka jalankan. Sebagai seorang sekretaris yang baik, tentu Tari menerima tugas tersebut dengan patuh. Setidaknya ia bisa sibuk hari ini.
Dari kejauhan, kerutan diperempatan jidat Tari terbentuk kala mendapati bahwa pintu ruang BEM terbuka. Seingatnya mereka tidak ada kegiatan hari ini kecuali dirinya seorang.
Dengan ragu-ragu Tari tetap melangkahkan kakinya. Hingga akhirnya kerutan yang masih tercipta dijidat Tari semakin dalam ketika melihat sosok Baskara yang kini tengah duduk disalah satu kursi kayu didalam ruangan sambil tersenyum lebar kearahnya.
"Lama banget lo." Celetuk lelaki itu.
Tari berhenti dibingkai pintu. Ia menatap Baskara dengan salah satu alis yang terangkat. "Lo ada urusan disini?."
Lelaki itu mengangguk singkat seraya berdiri dari duduknya dan menuju salah satu rak dokumen dipojok ruangan. Baskara tampak sibuk memilah-milah berkas mana yang kemungkinan cocok dengan keperluannya.
Awalnya Tari tidak ingin pusing. Setidaknya ia hanya sebentar disini, ia hanya perlu mendapatkan apa yang ia butuhkan dan bisa segera pergi dari sini. Menjauh dari Baskara secepat mungkin. Namun, ada satu hal yang mengganjal dipikiran Tari.
"Bukannya lo divisi seni?."
Baskara lagi-lagi tak menjawab dengan kalimat. Hanya kepala lelaki itu yang mengangguk beberapa kali.
"Tim lo mana?."
Kali ini barulah Baskara berhenti dengan kegiatannya. Lelaki itu berbalik dan langsung melipat kedua tangannya didada. "Lo sendiri? Nala mana?."
"Nggak butuh. Gue bisa sendiri."
"Anggap aja itu juga sebagai jawaban gue atas pertanyaan lo barusan."
Tari tak lagi menanggapi. Baskara memang aneh dan tidak seharusnya ia meladeni orang aneh seperti Baskara. Akhirnya gadis itu memilih untuk fokus pada tujuan awalnya. Kebetulan juga Baskara sudah selesai dengan kegiatannya dirak dokumen yang ingin Tari tuju.
Dengan telaten tangan gadis itu menggeledah berbagai macam dokumen yang terdapat disana. Anehnya, ia tak kunjung mendapati satu pun dokumen yang ia perlukan.
"Semua yang butuhin udah gue dapat." Ujar Baskara tiba-tiba.
Tari lantas berbalik. Netranya menatap Baskara berserta tumpukan dokumen yang menjulang cukup tinggi di depan lelaki itu.
"Lo nggak percaya sama gue?." Pertanyaan Baskara tak mendapat respon apa-apa dari Tari. Gadis itu masih diam di tempatnya. Baskara yang melihat itu akhinya menghela napas pelan. "Sini, lo bisa cek sendiri."
Setelahnya barulah Tari bergerak dari sana. Ia mendekat ke arah meja dimana Baskara menyusun dokumen yang ia maksud. Dengan seksama, Tari membaca nama-nama dokumen tersebut dan benar saja. Ini dokumen yang sesuai dengan apa yang ia inginkan.
"Kok bisa?." Tanya gadis itu tanpa mengahlikan pandangan dari dokumen ditangannya.
"Apanya?."
"Kenapa lo bisa tau kalau gue butuh semua ini?."
Baskara tak langsung menjawab. Lelaki itu terlebih dahulu mengambil dokumen yang masih Tari genggam hingga membuat gadis itu menatapnya dengan bingung. "Lo lagi ngobrol sama kertas atau sama gue?."
Tari memutar bola matanya malas. Namun, ia kini sudah tak lagi sibuk dengan dokumen seperti tadi dan benar-benar menatap mata baskara.
"Lo kesini beneran ada urusan kan?. Bukan Cuma buat ngerecokin gue?." Todong Tari cepat.
"Beneran lah. Lagian gue bukan ngerecokin lo tuh, gue malah bantuin lo kan?." Balas Baskara tidak mau kalah.
Akhirnya Tari hanya berdecak pelan. Memang benar bahwa Baskara membantunya. Biarlah sudah, setidaknya ia bisa lebih cepat menjauhkan dirinya dari Baskara. Tari sungguh butuh tempat yang tidak ada Baskara di dalamnya.
Tanpa basa-basi lagi, Tari merapikan dokumen yang sempat ia hambur diatas meja dan segera mengangkatnya sekaligus. Belum sempat kakinya melangkah, Baskara kembali mengintrupsi Tari.
"Lo liat gue nggak sih?."
Lagi-lagi. Baskara dengan pertanyaan anehnya. Sudah cukup rasanya Tari merespon Baskara. Jadi, lebih baik ia diam saja dan tetap melanjutkan langkahnya.
Diabaikan Tari sungguh membuat Baskara tidak tinggal diam. Lelaki itu menggeram pelan dan segera bangkit dari duduknya lalu mencegat Tari tepat didepan wajah gadis itu.
"Lo bisa minta bantuan gue." Katanya seraya mengambil semua dokumen dari tangan Tari.
Baskara melihat jelas bahwa gadis itu tidak leluasa bergerak ketika memegang dokumen ditangannya sekaligus. Namun, entah bagaimana gadis itu memaksakan diri daripada meminta bantuannya.
Berbeda dengan Tari sebelumnya, Baskara lebih mudah memegang semua dokumen itu bahkan sekaligus pun ia tidak merasa kesulitan. Tentu saja, tangan Baskara jelas lebih besar dari pada milik Tari. Namun, jika dibandingkan dengan gengsi Tari, tangan Baskara sudah jelas kalah jauh. Gengsi gadis itu lebih besar dibanding apapun.
"Gue nggak butuh bantuan lo." Tolak Tari mentah-mentah sambil berusaha merebut kembali dokumen tersebut.
Baskara cepat-cepat menganggkat tangannya tinggi. "Gue yang mau kasih lo bantuan."
"Bas, gue nggak mau main-main sama lo."
"Gue nggak ada niat buat mainin lo."
"Lo kenapa sih?." Eluh Tari. Terdengar dengan jelas bahwa gadis itu benar-benar kesal dengan Baskara. Hal itu pun Baskara sadari dan ia senang akan hal tersebut.
"Gue?." Tanyanya dengan jari telunjuk yang ia arahkan pada dirinya sendiri. "Gue baik-baik aja. Thanks udah nanyain keadaan gue."
Tangan Tari bergerak mengusap pelan pelipisnya. Ia benar-benar pusing. Belum saja memulai menyusun proposal, ia sudah terlebih dahulu dibuat pusing oleh Baskara.
"Please, lo kalau mau gangguin gue jangan sekarang."
"Udah gue bilang, gue nggak gangguin lo."
"Terus sekarang lo nganggapnya ini lagi ngapain? Lo ngeggangu gue, Bas."
"Gue lagi bantuin lo buat bawa ini." Baskara menganggkat tangan kanannya yang dipenuhi dengan beberapa lembar kertas. "Lo nggak bisa bawa semuanya sekaligus dengan tangan lo yang kecil itu, jadi biar gue bantu."
"Gue bisa."
"Giwi bisi." Cibir Baskara. "Sekarang lo mau kemana? Gue bantu bawain ketempat tujuan lo."
"Nggak perlu. Siniin, biar gue bawa sendiri."
Lagi-lagi Tari menolak. Ia menjulurkan telapak tangannya didepan wajah Baskara. Sedang lelaki itu hanya menatap jengah tangan Tari.
"Lo yakin masih mau ngabisin waktu lo cuma buat ngeributin ini kertas?."
"Nggak mau. Mangkanya cepat siniin ke gue."
"Katanya nggak mau, tapi lo tetep kekeuh pengen bawa sendiri. Mending sekarang lo sebutin mau kemana, biar gue bawain aja kertasnya. Abis itu terserah lo mau gimana, mau lo makanin sekalian kertasnya gue nggak masalah."
"Nggak bisa, Bas."
"Nggak bisa kenapa?."
"Gue mau nyari tempat yang nggak ada lo."
Baskara terdiam sejenak. Ia menatap iris coklat Tari yang menatapnya lurus. Sepersekian detik kemudian lelaki itu tersenyum hingga menampakkan deretan giginya.
"Nggak bisa. Mulai sekarang, dimana pun ada lo pasti ada gue."
***
To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Try On!
Teen Fiction[!} Maybe it's not your pair. --- Sebelumnya Tari hanya tahu jika sosok didepannya ini bernama Baskara. Hanya sebatas nama meski keduanya berada diorganisasi yang sama. Namun, belakangan ini Baskara seperti tengah melewati batas yang ia buat sendiri...