Tidak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan bagi mereka yang akan lulus dari sekolah, tapi, bukan berarti mereka tak merasa sedih. Ada begitu banyak penggalan kenangan yang terukir di sesetel seragam putih abu-abu. Ada banyak sekali rasa senang ketika melihat kalender bertanggal merah, rasa kantuk yang menyerang saat jam pelajaran berlangsung, rasa lapar yang datang padahal jam istirahat belum berbunyi. Semua kenangan manis di kantin, kenangan memalukan di gerbang sekolah, bolos masuk, telat piket, bayar kas, bertemu ketos yang galak, guru idaman dan guru menjengkelkan.
Semua itu tak lebih dari hanya sekedar kenang-kenangan yang sebentar lagi akan tergantikan dengan kenangan baru. Ada yang memutuskan melanjutkan pendidikan, ada pula yang lebih memilih langsung mencari pekerjaan.
Hari ini, Senin. Adalah hari di mana seluruh peserta SMK Nirwana berhasil menuntaskan ujian mereka setelah sepekan berkutat pada buku pelajaran. Semuanya tampak menawan pagi ini, berpakaian ala wisuda lengkap dengan topi membungkus kepala. Beberapa juga ada yang membawa buket bunga sebagai penghias tangan.
Kemarin, para guru sudah mengumumkan bahwa semua kelas XII lulus dengan nilai yang cukup baik. Jadi tak perlu pusing memikirkan apakah ada yang tinggal kelas, sayangnya tidak ada satu pun guru yang membocorkan siapa peraih nilai tertinggi. Alhasil seluruh murid itu berbondong-bondong berlari ke mading dekat kantor. Tempat di mana seluruh nama peserta yang lulus tertulis jelas di sana.
Namun kali ini bukan nama mereka yang mereka cari, melainkan orang-orang berharga yang akan mendapatkan beasiswa khusus dari pemilik sekolah. Ya, Pak Raditya akan memberikan beasiswa full berkuliah di luar negeri untuk mereka yang berhasil mencapai nilai paling tinggi.
Sangat mengagumkan, bukan?
"Renzi pertama, lagi?!"
"Udah gue duga, Renzi pasti pertama."
"Keno aja yang anaknya pemilik sekolah dapet terakhir. "
"Emang sulit, saingannya anak Ilmuwan."
"Hah, yang bener aja!"
"Lo sih kudet, beritanya udah kesebar beberapa bulan yang lalu tau!"
Kiera mendelik tidak suka mendengar pembicaraan para siswi itu, rasanya ingin membekap mulut mereka satu-satu. Namun belum sempat menghampiri, Deeva sudah lebih dulu membuatnya tetap diam di tempat.
"Anggep aja mereka itu kentut yang terbawa angin, baunya doang yang kecium." Kiera berdehem sebagai jawaban, kemudian melipat tangannya di depan dada. Deeva maju membelah kerumunan, membaca teliti papan nama di mading.
"Shana, nama lo nomor dua!" Teriaknya tak tertahan. Shana girang, ia menghampiri Deeva untuk melihat apakah ucapannya benar atau cuma gurauan. Nyatanya memang benar, nama Shana ada diurutan nomor dua, mengalahkan Rakha.
"Gue berhasil, Deev, gue bisa!" Gadis itu melompat-lompat tinggi sembari menggenggam tangan sahabatnya.
"Iya, lo hebat banget!"
"Horeee ... Dito keempat!" Ungkap Riana ikut merasa senang.
"Keno juga dapet dong, meski terakhir."
"Astaga, ngatain pacarnya sendiri."
"Lah, kan emang dia paling akhir."
"Jadi ini peringkat paralel setiap jurusan yang dimaksud? Keren juga,"
Di antara hebohnya suara mereka, Abel hanya termenung manakala mendapati nama Aksa tersemat di sana, barisan nomor lima. Gadis itu diam, bagaimana bisa? Anak itu saja tidak mengikuti UKK dan ujian kelulusan sepekan ini, lalu, mengapa namanya ikut terdaftar?

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable | Dear Diary | End
Teen FictionIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...