Semua percaya bahwa hidup adalah perjalanan yang nyata, yang tak terhingga, hingga sang kuasa menentukan hentinya. Tak ada yang mengira, menjadi seperti apa perjalanannya. Tak ada yang tahu, kepada siapa akan bertemu. Cerita ini bukan sepenuhnya bermakna cinta, namun bagaimana manusia menghargai hidupnya. Jika ingin berjumpa, ia adalah Sadadjiwa dan yang terkasih, Diajeng Kunala. Mereka adalah dua dari seribu insan yang tak mengira seperti apa perjalannya, dan tak pernah tahu kepada siapa ia akan bertemu. Sadadjiwa hanyalah pria berumur kepada dua yang mengenal bahagia ketika remaja. Ia tak punya cinta, bahkan keluarga. Kerasnya dunia memaksanya merasakan duka pada usia yang terbilang sangat muda. Ia selalu mengadu kepada sang kuasa, mengapa hidupnya seperti ini saja.
Tak dipungkiri, Djiwa kecil selalu berandai-andai kelak ia dewasa, ia ingin mencari cinta, ia ingin menemukan bahagianya. Sampai sang kuasa mendengar bisiknya, Djiwa datang ke sebuah Opera, bertemu dengan gadis jenaka kelahiran tanah jawa. Gadis itu adalah Kunala. Wanita penuh cinta, lebih dari ibunya. Hidup Djiwa yang terlihat tak bercahaya berbanding terbalik dengan Kunala yang penuh cita. Senyumnya enggan hilang. Ketika Tuhan memberinya kesedihan, ia tetap menebarkan senyuman. Semua karena ia percaya, manusia tak akan pernah puas jika ia tidak bersyukur. Tidak, bukan berarti ia tak pernah berduka. Justru dengan cinta, ia selalu mendapat luka. Jikalau boleh meminta, ia ingin diberi cinta secukupnya. Ia ingin dicintai dengan sederhana. Cinta yang ia yakini akan datang melalui pria yang selalu didambakannya kala remaja. Hingga saat ini masih menanti kedatangannya kembali, pada sebuah Opera di kota Yogyakarta.