Di kehidupan lain, seorang pria yang tengah sibuk membereskan barangnya di tempat tinggal yang baru dikagetkan dengan kemunculan gadis berkisaran umur dibawahnya yang tiba-tiba saja membuka pintu kamarnya.Ia mengerutkan alisnya, "Lo siapa? Kok tiba-tiba buka pintu?" tanya tegas pria itu.
"Eh, kamu kak Sadadjiwa temannya bang Galih, kan? Maaf kak, tadi saya kira kakak belum datang. Perkenalkan, saya Betari, Adiknya bang Galih," jawab Betari.
"Ohh, sorry. Nyari Galih ya berarti? Tadi dia bilang mau ke warung depan, nggak tau mau beli apa."
Tari hanya menjawab dengan anggukan kecil, lalu ia menutup pintu kamar Djiwa. Djiwa terheran, mengapa ia bisa lupa dengan Tari? Padahal beberapa tahun lalu ia pernah berkunjung kemari. Ketika ia masih remaja, Djiwa yang hidup di Ibukota merasa ingin berlibur. Namun ia tidak ingin berlibur dengan sia-sia, ia memutuskan pergi ke Yogyakarta karena ia ingin mengenal budaya nya. Ia sangat beruntung, ketika di Yogyakarta bertepatan dengan digelarnya sebuah acara budaya yang sering disebut Opera Jawa. Ia tak pernah lupa akan hal itu. Ia juga menyadari betapa bodoh dirinya kala itu, karena meninggalkan seseorang begitu saja. Dengan alasan, ia harus segera kembali ke Jakarta. Ia mendapat kabar bahwa ibu sambungnya telah berpulang. Sebenarnya, itu sangat tak apa baginya. Hanya saja, ia harus menghargai keluarganya dan turut berbelasungkawa. Walau ia tak yakin, apakah mereka layak disebut "keluarga"?
Djiwa merebahkan badannya di kasur, pikirannya kembali pada masa lalu. Ia masih membayangkan gadis itu. Ia bertemu dengannya di kota istimewa ini.
"Gadis seperti Kota Yogyakarta, istimewa," gumamnya sembari tersenyum geli. Entah apa yang terjadi dengan pria ini.
Baru saja ia ingin memejamkan matanya sejenak, pintu kamarnya kembali dibuka oleh seseorang. Ia tak mengerti mengapa orang-orang ini tak mengetuk pintunya terlebih dulu.
"Dji, tadi ketemu Adikku?" tanya seseorang yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya kembali. Ia adalah Galih Wicaksana. Akrabnya, sapa saja Galih.
"Iya, tadi datang-datang buka pintu. Kaget gue, kirain siapa. Kok lu ngomongnya jadi 'aku' gitu? Naksir lu sama gue?" ujar Djiwa bertubi-tubi.
"Mulutmu iku lho, ini udah nggak di Jakarta. Aneh kalau ngomongnya pakai 'lo, 'gue'. Biasain pakai 'aku', 'kamu', gitu."
Djiwa tercengang tak percaya mendengarnya. Pasalnya, dulu ketika ia menginap disini, nggak ada yang namanya harus pakai 'aku', 'kamu', dalam percakapan. Namun ia tak bisa menolak, ia harus dapat beradaptasi. Mengingat, ia akan lebih lama tinggal disini dari sebelumnya.
"Aneh.. tapi ya sudah, aku coba." Djiwa menahan geli mengucap hal itu kepada teman lelakinya, Galih. Sedangkan Galih tertawa puas mendengar Djiwa berbicaranya dengannya menggunakan bahasa yang sopan.
Djiwa dan Galih merupakan teman dari SMA. Djiwa bertemu Galih saat di bangku kelas 2, karena saat itu Galih adalah murid pindahan. Orang tua Galih dan Tari pada saat itu berpisah, sehingga mereka harus menentukan pilihan harus hidup dengan siapa. Sesuai kesepakatan keluarga, Galih ikut dengan Ayahnya di Jakarta, sedangkan Tari bersama Ibu nya di Yogyakarta. Saat libur semester, Galih mengajak Djiwa pulang ke Yogyakarta selama seminggu. Tak dipungkiri, Djiwa yang mulanya sangat bahagia berangkat ke Yogyakarta, harus kembali ke Jakarta dengan kabar duka dari Ibu sambungnya. Dan alasan Djiwa mengikuti Galih ke Yogyakarta adalah karena ia sudah tak punya siapa-siapa di Jakarta. Secara kebetulan pula, ia memiliki saudara dari Ibu kandungnya. Ia sepakat untuk melanjutkan usaha keluarganya di Yogyakarta.
Semakin dewasa, ia semakin paham akan kondisi keluarganya. Hingga kini ia memutuskan untuk memulai hidup baru, mulai dari nol. Galih sendiri memilih tinggal di Yogyakarta kembali karena Ayahnya membebaskan ia ingin tinggal dimana saja. Djiwa tidak meneruskan kuliahnya karena disini ia akan mengembangkan salah satu coffe shop milik keluarga Ibu kandungnya. Mungkin lusa ia akan kesana. Lalu Galih, ia juga berhenti kuliah dan berpikir untuk membuka usaha. Djiwa sangat bersyukur ditemukan dengan teman sebaik Galih. Ia selalu ada kala susah maupun senang. Semoga ini adalah awal dari doa yang selalu di semoga-kan oleh Djiwa.
Malam itu sudah berlalu, kini berganti mentari yang menyapa di pagi hari. Djiwa sudah siap memulai hari. Rencananya, hari ini ia ingin memutari Yogyakarta. Ia ingin menelusuri secara rinci kota ini. Sebelum menyalakan mesin motornya, tak lupa ia berpamitan ke Galih. Karena Ibu dan Adiknya sedang tak tau kemana.
"Lih, pergi dulu ya. Mau keliling kota."
"Gayamu keliling kota, mau cari gadis Yogya yang katamu istimewa itu toh?" goda Galih. Ia sudah tau kisah cinta monyetnya di acara Opera itu. Tak heran, bila Djiwa sangat bersemangat datang ke Yogyakarta.
"Apa, sih? Nggak usah gitu. Tapi doain aja ketemu, haha." Balas Djiwa. Dari lubuk hatinya yang terdalam, lebih dalam dari Palung Mariana, ia sangat mengamini ucapan dari Galih.
"Halahh!! Nggak usah, nggak usah, tapi mau. Dasar lelaki."
Batin Djiwa ingin memaki, memangnya ia seorang gadis??
Djiwa bergegas menancapkan gas motornya dan keluar dari halaman rumah. Ia mulai mneghirup udara segar pedesaan di Yogyakarta. Sangat asri. Ia sangat nyaman berada disini. Tujuan utamanya adalah ke Malioboro. Tempat terakhir yang ia kunjungi pada tahun sebelumnya. Ahh, mengapa ia merasakan rindu yang sangat menggebu ketika sampai di tempat ini. Ia memakirkan motornya dan duduk dikursi sekitar Malioboro, menyalakan rokoknya, dan berandai-andai. Ini adalah momen yang ia tunggu dihidupnya. Menikmati hidup, menghisap rokoknya, tak ada perdebatan maupun pukulan. Ia harus mencari cara untuk tetap bertahan hidup, ia tak akan menyia-nyiakan hidupnya yang sekarang.
Untuk kali ini, Tuhan. Sadadjiwa meminta bagian bahagia dalam perjalanannya.