Berbeda dengan gadis berambut hitam legam yang sedang menghadapi tes setelah liburan. Ini sangat melenceng dari perkiraan. Ia pikir, hari pertama akan baik-baik saja. Nyatanya, yahh tak dapat di deskripsikan. Raut muka yang lelah dan malas ini sudah terjawabkan."Tar, ini waras nggak sih? Baru masuk udah ngerjain tes aja." Bukan Nala jika tidak mengeluh. Ia akan tetap mengomel sampai rasa penatnya hilang.
"Nal, aku juga nggak nyangka, jujur. Bener, udah nggak waras."
"Eh, kemarin pas aku telepon kamu katanya ada teman bang Galih ke rumah, emang siapa Tar?" tanya Nala.
Tari menengok ke arah Nala dan menampilkan ekspresi berpikir sejenak.
"Ohh, kemarin itu temannya bang Galih dari Jakarta dulu. Katanya sih, bakal menetap disini. Nemenin bang Galih. Namanya Sadadjiwa, dulu waktu kita SMP, kak Djiwa juga pernah berkunjung kesini. Dia nonton pertunjukkan Opera Jawa waktu itu juga."
Nala terkejut, pada saat itu ia datang bersama Tari dan rombongan, tapi ia tak pernah tau siapa Sadadjiwa itu.
"Serius kamu? Kok aku nggak lihat dia ya, padahal aku barengan sama kamu."
"Lah, kan pas itu kamu mencar dari aku sama bang Galih. Kebetulan, kak Djiwa juga kepisah sama kita. Mungkin karena itu kalian nggak ketemu." Tari menjelaskan.
Hal itu baru terpikirkan oleh Nala, apa Sadadjiwa itu pria yang menemaninya kala itu?"Kok diam, Nal? Kamu kepikiran kalau ternyata kak Djiwa itu laki-laki yang nemenin kamu saat opera lalu itu, ya? Bisa jadi sih, Nal. Minggu depan aku ajak bang Galih buat nonton bareng. Semoga kak Djiwa mau dan kamu bisa buktiin betul dia apa nggak."
Nala dibuat bingung, "Kok kamu kayak semangat banget pengen nemuin aku sama pria itu? Aku nggak yakin masih ingat wajahnya, Tar. Pertemuan itu waktu kita masih remaja, pasti muka dia sedikit ada perubahan."
"Udah, yakin aja sama aku. Aku capek lihat kamu setiap tahun nonton Opera Jawa buat nunggu ketemu lagi sama laki-laki itu."
"Aku nonton bukan karena mau ketemu dia lagi aja, ya! Aku suka pertunjukannya. Ngebersihin otak dari deadline tugas Dosenmu yang nggak seberapa itu."
"Ya kamu kira bukan dosenmu juga, ini aku udah bilang ke bang Galih." Ketus Tari yang mendapat ledekan dari Nala.
...
Pria Ibukota itu belum bosan duduk dikursi Malioboro, sudah terhitung 2 jam ia berdiam diri disana. Ia hanyut dalam lamunnya. Ia tenggelam dalam pikirannya. Arlojinya menunjukkan pukul 11. Sinar matahari mulai memancar dan memudarkan lamunannya. Ia bisa menjadi ikan asin jika terus disini. Djiwa menaiki motornya dan berpindah ke taman kota. Ia sedikit lupa jalanan Yogyakarta, untung saja ia dapat membaca Google Maps.
Sesampainya di taman kota, ia sudah disuguhkan pemandangan anak kecil yang sedang bermain ria. Ia pikir, akan sepi karena hari Senin. Tapi tak mengapa, ini tak terlalu mengganggunya. Djiwa kembali duduk dikursi taman yang sedikit jauh dari kawasan bermain anak-anak. Diambilnya sebatang rokok dan ia membeli kopi hitam milik Ibu-ibu yang berjualan dipinggir jalan taman. Ia mengambil ponselnya dari saku jaket yang dikenakan, terdapat pesan dari Galih yang mengajaknya menonton pagelaran Opera Jawa pada minggu depan di kawasan Malioboro. Ia sedikit tertegun, ia adalah kali kedua ia menonton Opera. Di Opera sebelumnya adalah pertemuannya dengan gadis asing itu saat remaja. Apakah nanti jika ia ikut menonton Opera tahun ini, ia akan bertemu dengan gadis yang dijumpai di Opera pada 6 tahun lalu. Waktu yang cukup lama untuk kisah cinta remaja. Ia mengiyakan ajakan Galih, hitung-hitung juga cari hiburan sebelum dia harus banting tulang.
Ia kemarin mendapat tawaran untuk tinggal dirumah pamannya, namun ia masih menimbang-nimbang iya atau tidaknya. Ini karena ia tak cukup dekat dengan sang paman, ia merasa tidak enak jika tiba-tiba datang dan tinggal dirumahnya. Rencananya, ia akan membeli rumah sederhana. Lebih tidak mungkin jika ia selamanya tinggal di rumah Galih.
Sudah merasa cukup sangat bosan, Djiwa berniat untuk menghampiri Galih ditempat Galih membangun usahanya. Entah usaha apa yang sedang ia bangun, jawabnya selalu rahasia. Sudah mulai siang yang benar-benar siang, sinar matahari sangat menusuk ke kulitnya.
"Alahh, panas banget. Bisa-bisa tampang mirip Song Joong-ki ini hilang kena matahari," gumamnya.
Jarak tempat Galih dan taman kota cukup terbilang jauh, berkali-kali Djiwa memaki Galih dalam hati, mengapa ia tidak membangun usaha ditempat yang dekat-dekat saja.
Setelah perjalanan yang panjang dan cukup terik, ia sampai ditempat Galih membangun usahanya. Ternyata ia membuka sebuah rumah makan. Tau begini, daritadi Djiwa tak perlu susah-susah mencari makan di Yogyakarta.
"Jadi ini usahamu yang terbilang rahasia itu? Bagus deh kalau nggak aneh-aneh."
"Heh, emang kamu kira aku buka usaha apa? Ternak Arapaima?" ujar Galih tak terima.
"Hahaha. Kirain, buka Biro Umrah. Mau daftar soalnya, tapi nggak usah bayar, ya?"
"Kamu kalau buat emosi mending pulang aja bantu Ibuku goreng lele." Djiwa mendengar itu seketika tertawa paling kencang.
Djiwa yang sedari tadi diluar, kini sudah memutari rumah makan milik kawan dekatnya tersebut. Di sisi lain, ia sangat bangga kepada Galih karena meskipun ia tidak melanjutkan pendidikannya dijenjang selanjutnya, ia tetap menjadi orang yang berhasil. Hal sederhana dapat membuat hatinya penuh semburat bahagia, cukup melihat rekannya berjaya, ia sudah sangat bahagia.
"Senyum-senyum aja, Mas. Minggu depan jadi mau ikut?" ucap Galih yang membuyarkan lamunannya.
Djiwa mengangguk, "Iya, ikut. Sama siapa aja emangnya?"
"Sama Adikku, tapi Adikku ngajak temennya. Kamu masih inget, nggak?" tanya Galih membuat Djiwa kembali bingung.
"Hah? Siapa? Aku sama Adikmu aja lupa."
"Nggak deh Dji, kamu nggak kenal. Aku nggak tau kamu ketemu dia atau nggak di Opera, soalnya kalian berdua sama-sama mencar dari aku."
Djiwa menyalakan rokoknya sembari mengingat kejadian 6 tahun lalu. Masalahnya, yang ada diingatannya hanya gadis Opera berambut hitam legam dengan kuncir dua itu saja.
"Kayaknya aku nggak ingat. Cuman ingat gadis yang waktu itu tak temenin aja."
Galih hanya memutar bola matanya, ia tak habis pikir mengapa temannya ini selalu mengingat gadis itu. Sampai muncul dipikirannya, bagaimana jika ternyata gadis itu adalah Kunala?
Djiwa pun tak tau mengapa ia terus mengingat gadis itu. Walau memang dia tidak ada keinginan untuk melupakan. Setelah obrolan yang cukup panjang bersama Galih dan juga beberapa karyawan baru, Djiwa memutuskan untuk berpamitan untuk pergi karena mendapat panggilan dari Pamannya. Rupanya, sang Paman sudah menyiapkan rumah untuk nanti Djiwa tinggali. Ia hanya perlu menyelesaikan pembayarannya saja. Menginap di rumah Galih hanyalah pengalihan isu karena Djiwa malu jika harus satu rumah dengan keluarga dari Ibunya. Sedari kecil, Djiwa besar di Jakarta bersama keluarga Ayahnya. Semenjak Ibu kandungnya tiada, ayahnya melarang Djiwa untuk berkunjung ke Yogyakarta bersama keluarga Ibunya dengan alasan takut bila Djiwa diambil hak asuh. Tidak heran, jika ia merasa canggung dengan keluarga Ibunya. Ia langsung bergegas menuju daerah Jl. Piere Tendean, disana Pamannya sudah menunggu kedatangannya.
Berbeda dengan Nala yang kini sudah berada dirumah, ia mempelajari materi yang telah dipaparkan Dosennya pada hari ini. Ia sama sekali tak bisa fokus karena minggu depan akan datang ke acara Opera Jawa. Acara yang selalu ia nantikan setiap tahunnya. Ia selalu berharap dapat bertemu dengan pria itu, namun selalu zonk. Sudah 6 tahun berlalu, jika pada tahun ini ia tidak bertemu dengan pria itu, Nala berjanji akan berhenti menunggu kedatangannya. Ia sudah cukup banyak menolak banyak hati karena pria yang dijumpai di Opera itu. Terlepas dari itu, ia belum menemukan hati yang cocok dan belum berminat menjalin hubungan. Entah jika nanti ia bertemu dengan pria di Opera itu. Yang pasti, ia tak ingin berlebihan soal cinta.
Ia ingin yang sederhana dan menghargai hidupnya. Jika hidupnya saja tidak disyukuri, bahagimana dengan wanitanya?