"Abang nakal! Abang jahat sama aku!"
"Apa sih, Adek! Jangan treakin Abang begitu!"
Sonia masih berusaha menengahi walau saat ini ia tidak berada di kamar. Teriakan Ganda menggelegar di rumah. Sebagai Ibu ia hanya menghela napas panjang.
"Mamaaaaaaa.., Abang narik rambutku!"
Teriakan itu membuat Sonia langsung berlari tergopoh-gopoh dari dapur. Dilihatnya kedua putranya yang sedang bergelut di atas lantai dengan karpet berbulu yang tebal melindungi kepala agar tidak membentur lantai.
"Astaga, Abang! Lepasin Adek! Mama nggak suka-"
"Awhh ...aw..sakit Ma,"
Ganda terus mengaduh, tubuhnya mendapat pukulan dari Azil bertubi-tubi. Sonia nampak berusaha meraih tangan yang mengepal kuat itu. Berusaha menghentikan tinjuan yang tak main-main Ganda dapatkan di punggung dan perutnya.
Setelah Sonia berhasil menenangkan putra sulungnya. Azil dibawa menjauh dari Ganda tetapi masih dalam ruangan itu.
Kepalanya menunduk. Kedua tangannya meremat satu sama lain. Ganda kembali duduk dengan merapikan pakaiannya yang kusut. Menatap wajah Azil dengan kening yang mengernyit. Ganda memejamkan mata. Pusing juga meladeni permainan Abangnya hari ini.
"Abang kok pukul-pukul Adek? Udah nggak sayang lagi sama Adek?"
Azil menggeleng cepat.
"Katanya dulu Abang Azil sayang banget waktu Adek lahir. Kok, sekarang udah gak sayang? Adek salah apa sama Abang?"
Azil tetap bergeming. Sedangkan Ganda kini menggeleng ribut.
"Aku nggak ngapa-ngapain sumpah, Ma. Tadi Abang tiba-tiba aja begitu."
Tatap mata Sonia tajam menghunus Ganda hingga membuat bibir Ganda mengatup rapat. Mama lagi mode serius. Jangan dipancing kalau tidak mau kena karma.
Sonia nampak tidak percaya. Tapi mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Azil yang basah oleh air mata. Hanya dengan Ganda lah Azil akan mengeluarkan air mata jika bertengkar seperti tadi.
"Adeknya salah?"
"Engga? Terus.. kenapa dipukul?"
"Abang marah?"
"Iya?.. Emang marah kenapa?"
Ganda masih diam. Melihat Ibunya yang seperti berbicara sendiri. Sebab Azil hanya membalas dengan gelengan dan anggukan kepala. Kebiasaan jika Abangnya sedang marah maka akan betah diam berlama-lama.
"Adek mainnya curang?"
Kali ini Azil menggangguk. Mengiyakan begitu saja. Ganda menganga. Ditatap oleh Sonia lantas membuat Ganda membela diri.
"Aku, enggak! Mana ada! Ngapain curang. Orang dari tadi Abang kalah mulu."
Sonia mulai paham dengan duduk perkaranya. Azil berdiri tiba-tiba. Lalu melenggang keluar kamar dengan kaki menghentak keras. Kekesalan yang dibawa rupanya belum usai. Sedangkan Sonia dan Ganda saling bertatapan.
"Ngalah, dek. Abang gak suka kamu menang terus. Itu sama aja nggak adil bagi Abang."
"Lah..kok jadi aku yang salah."
"Iyaa, dari dulu kamu nggak pernah mau ngalah."
Ganda ingin mengumpat. Tapi tau tempat. Dihadapan Mama nanti uang jajannya dipotong Papa kalau Mama mengadu.
"Beres-beres dulu, nanti maaf-maafan setelah makan malam. Mama nggak mau tau, harus."
Ganda menghela napas. Kini kembali lagi ia harus meminta maaf untuk semuanya. Sepeninggal Sonia, Ganda membereskan mainan balok kayu dan puzzle milik Abangnya.
Dari dulu kamu nggak pernah mau ngalah.
Ganda merenungi kalimat Mama nya. Iya. Dari dulu memang Ganda selalu ingin menang. Tapi Ganda sayang dengan abangnya. Sayang sekali. Meski Azil mungkin memiliki dunia nya sendiri.
Dunia yang tidak ada siapa pun di dalamnya selain dirinya. Hanya ada Azil tanpa ada sosoknya sebagai adiknya. Tanpa ada Mama dan Papa. Bahkan terkadang, Azil terlalu sibuk dengan dunia nya sendiri. Sampai tidak menghiraukan dia yang ada di dunia nyata ini.
Ganda terkadang bersyukur. Memiliki seorang Abang seperti Azil. Menghiburnya di kala dunia begitu keras untuk dilihat. Pulang kuliah, suara tawa Azil menghilangkan penat yang menghinggapi badannya seharian. Azil dengan dunianya. Terkadang juga amat disayangkan oleh Ganda.
Dia juga ingin, memiliki sosok Kakak yang benar-benar sesuai dengan perannya. Seperti teman-teman nya yang memiliki hal yang sama. Tapi Azil berbeda, dia begitu istimewa.
Azil, alasan besar Ganda bertahan hidup. Satu-satunya yang ingin Ganda jaga dengan baik sebelum ia dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Suatu titipan berharga dari Tuhan untuk keluarganya.
Azil itu ibarat lilin yang menyala di tengah kegelapan jiwa Ganda. Azil segalanya. Terlepas bagaimana dunia memandangnya hina. Tapi Azil adalah berharga di mata nya juga Mama dan Papa. Meski tidak untuk keluarga besar.
_
Ganda menutup pintu kamar setelah berhasil membersihkan kekacauan sebelumnya.
"Anying! Setan!"
Ganda meremat dadanya. Sial sekali weh, baru menutup pintu ketika ia berbalik, wajah datar Azil tepat di depan matanya. Mirip dedemit mana gitu, dengan tampang bodoh yang minta banget dibonyokin.
"Apa sih, Bang. Jangan suka ngagetin gitu, ah!" Ganda menggerutu.
Azil menarik kedua tangannya dan membawanya dengan langkah cepat. Heran, cowok kok, mood swing begini. Ganda ingin tertawa tapi lelah. Walhasil ia membiarkan tubuhnya diseret oleh Azil sampai menuju ruang makan.
"Duduk."
Azil menyuruhnya dalam sekali ucap. Ganda lekas menarik kursi dan menuruti. Nanti kalau tidak dituruti, mungkin abangnya akan marah berkepanjangan.
"Udah akur sekarang?" Tanya Fandi, basa-basi.
Azil mengangguk antusias. Senyumnya merekah. Ganda terkekeh. Memang paling jago abangnya itu memainkan hati orang lain. Tidak. Bukan orang lain. Hatinya yang sering dipermainkan. Jadi makin sayang.