2. Perpisahan

8 1 0
                                    

Sabrina bersiap-siap untuk kembali bekerja pagi ini. Tidurnya tidak terlalu nyenyak karena memikirkan ayahnya, alhasil wajahnya terlihat kurang segar.

Airam yang tengah menuangkan air hangat untuk Sabrina, memperhatikan wajahnya.

"Kamu kelihahatan kurang sehat hari ini, Sabrina. Atau itu perasaan ibu aja ?"

Sabrina mengambil minum dan menyeruputnya seteguk.

"Aku baik-baik aja," jawabnya pelan lalu menyoroti seluruh ruangan. "Ayah belum bangun, ya?"

"Lebih tepatnya dia udah bangun sebelum kita. Dia juga enggak pamitan sebelum pergi," jawab Airam agak frustasi.

Sabrina menggelengkan kepalanya tidak mengerti dan mulai memakan sandwichnya. Sementara itu Verna belum bangun sehingga mereka hanya sarapan berdua.

"Adhi ada di depan," kata Airam.

Sabrina menghentikan kunyahannya.

"Sejak kapan?"

"Pagi ini.  Ibu sempat ngajakin dia sarapan bareng, tapi dia menolak dan bnunggu kamu di depan aja."

Sabrina mempercepat sarapannya lalu pamit pada Airam dan menemui Adhi di mobilnya.

Adhi mengemudikan mobilnya, hari ini dia berinisiatif mengantarkan Sabrina ke kantornya, untuk menebus kesalahannya yang kemarin.

"Aku minta maaf atas kejadian kemarin," kata Adhi. "Selain itu, aku juga baru pulang dari kantor. Aku agak kewalahan dari biasanya. Aku harap kamu enggak menganggapku membuat alasan kali ini. Sebagai manusia, kita enggak bisa terus mengerti oranglain. Ada situasi di mana kita juga ingin dimengerti."

Sabrina merasa bersalah karena tidak berpikir sejauh itu, tapi dia juga senang Adhi berusaha menjelaskannya.

Sabrina sempat berpikir bahwa Adhi mulai tidak peduli dengannya. Bagaimana Sabrina tidak berpikir seperti itu, karena setelah perdebatan kemarin, Adhi tidak juga menghubunginya.

"Kupikir kamu enggak peduli dan sengaja mengabaikan masalah kemarin." Sabrina mengakui kekhawatirannya.

"Aku hanya ingin memberi ruang untukmu, sepertinya kamu perlu waktu untuk sendiri. Kamu tidak seperti biasanya," jelas Adhi.

Itu masuk akal. Sabrina memang kewalahan karena pekerjaan, lalu ditambah dengan masalah Ayahnya.

"Terima kasih, dan aku juga minta maaf." Itu yang akhirnya keluar dari mulut Sabrina. Dia tidak bisa menyalahkan Adhi atas perasaannya, kadang-kadang itu tercipta sendiri tanpa alasan yang kuat. Ada banyak hal indah yang pernah Adhi lakukan untuknya, dan dia hampir melupakannya karena masalah kecil.

"Kamu baik-baik saja? Hari ini kamu terlihat tidak segar dan cerewet seperti biasanya," tanya Adhi khawatir.

"Aku baik."

"Kita akan segera menikah, dua minggu lagi, sebaiknya jangan sembunyikan apapun lagi," kata Adhi. Matanya begitu serius menatap jalanan.

Sabrina menatapnya ragu-ragu, sebelum mulai curhat masalah ayahnya.

"Mendengar kalimat terakhir ayahmu, kurasa dia memang ingin hidup seperti itu," komentar Adhi terus terang.

"Tapi aku kasian padanya," jawab Sabrina agak pilu. "Kurasa ayah menjalani hidup yang tidak normal."

"Bagimu, baginya itu normal."

"Kenapa kamu tidak bisa setuju saja denganku?"

"Aku sedang tidak setuju dengan siapapun. Aku melihat dari dua sisi." Adhi menegaskan, "Ayahmu tidak pernah mengikhlaskan kepergian ibumu, dia hanya terpaksa menerimanya."

After Meet YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang