2 from 7/365

33 7 43
                                    

Jadwal pengajuan judul skripsiku telah keluar. Aku ingat betul bagaimana tangan dan sekujur tubuhku bergemetar. Mungkin ini adalah salah satu doa ibuku yang manjur karena dari sekian banyaknya teman-temanku yang mengajukan judul, tapi puji Tuhan aku termasuk ke nama-nama yang langsung diterima.

Ya, ada perasaan haru yang membuatku ingin meluapkan emosi hingga aku berteriak dan langsung berlari menemui orang yang selalu menjadi tempat tujuanku dalam segala hal. Ibuku.

Aku langsung mencium kening, pipi, hidung, dagu, dengan pipi yang langsung mencium rahang ibuku yang tirus. Perlakuanku itu langsung membuat ujung bibir ibuku berkedut, menampakkan sudut giginya yang bolong yang malah membuatnya semakin cantik.

Aku memeluk ibuku sangat erat, seakan tak ada hari esok yang akan merayakan momen sesederhana ini. Momen yang selalu ada ibu di fase sedih dan bahagia. Meskipun aku melupakan satu hal, bahwa judul skripsiku yang diterima bukanlah judul yang aku minati. Judul itu adalah hasil dari desakan kakak perempuanku yang menyuruhku agar segera menyelesaikan skripsi, seperti dia yang lulus dengan predikat terbaik dengan masa studi 3 tahun setengah.

Ya, bahasa. Bukan sastra yang sudah aku rencanakan mulai dari semester awal.

Setelah sesi belanja di penjual sayur usai pada pukul setengah delapan. Akhirnya aku dan ibuku pun memutuskan untuk membuat menu soto, hingga kegiatan memasak ini selesai pada pukul 10 pagi.

Ibuku masih setia duduk di tempat favoritnya, di pojok kursi ruang makan. Tempat yang selalu didudukinya saat berada di dapur. Bertepatan dengan itu, ponselnya berdering saat aku melangkah menuju kamar.

Di kamar, aku mendengar Ibu menerima panggilan telepon dari bibiku—istri dari kakak laki-laki ibu.

Sudah menjadi rahasia umum kalau para ibu tiap kali mendapatkan panggilan telepon selalu di loud speaker sehingga obrolan itu terdengar jelas hingga ke penjuru ruangan. Sangat kencang sekali.

"Tan, kamu jangan kaget ya kalau denger informasi ini."

Tania adalah nama ibuku, tampaknya obrolan itu sangat serius. Refleks aku sampai menghentikan aktivitasku saat sebelumnya mengerjakan revisin skripsi yang baru saja dikirim melalui email dari dospem.

"Iya. Ada apa emangnya? Ada kabar buruk, kah?"

"Tapi kamu harus kuatkan mental dulu, kamu nggak lagi sakit kan sekarang?"

"Nggak, aku barusan selesai masak. Emangnya ada apa?"

"Tarik napas dulu ya terus embuskan perlahan. Aku takut kamu kaget soalnya kalo denger informasi ini."

Ada jarak hening setelah bibiku mengatakan demikian. Tampaknya ibuku melakukan sesuai instruksi tersebut. "Udah. Ada apa? Jangan bikin aku penasarn."

"Mbak Lisa nggak ada umur. Sebenarnya daritadi pengen ngabari kamu, Dek. Tapi Mas Dapin ngelarang, takut kamu syok"

Ya, Mas Dapin adalah suaminya.

Sedangkan Mbak Lisa adalah anak dari kakak perempuan ibuku, sehingga umur mereka tidak jauh berbeda pula. Mereka sudah paket komplit, bagaikan perangko dan amplop. Mereka tak terpisahkan.

"Udah-udah, ditenangin ya. Jenazahnya di rumah sakit. Sekarang masih mau perjalanan pulang."

Mendengar hal tersebut, malah aku yang syok berat. Bagaimana mungkin saat tiga hari yang lalu Mbak Lisa sempat mengobrol lama melalui panggilan telepon dengan ibuku.

Sudah seperti kegiatan rutinan, setiap pagi antara pukul 9 sampai 10 pagi biasanya Mbak Lisa akan menelepon ibuku seperti menanyakan bagaimana hari ibuku, atau sekadar mengingatkan untuk makan tepat waktu.

AlmaWhere stories live. Discover now