Cahaya mentari yang mengintip-ngintip malu melalui celah awan. Berselimut kabut tipis. Menyambut kehadiran Fikri dan Joko di kota Yogyakarta, perjalanan kereta mereka berhenti di stasiun kecil bernama Maguwo. Sebuah stasiun kecil yang bangunannya masih terdiri dari kayu-kayu tua, yang mungkin saja masih peninggalan koloni kala itu. Terdiri dari dua jalur rel, semuanya terlihat tua. Seolah-olah kita kembali beberapa puluh tahun pada masa koloni.
“akhirnya …. selesai juga malam yang menyeramkan itu. Kita gak salah naik kereta kan, joko,” Tanya fikri pada joko sembari mengelap peluh keringat di dahinya.
“kayaknya enggak sih, den. Kalo ngeliat dari nama keretanya, sih. Seharusnya gak salah naik kereta. Cuma, emang aneh kenapa di zaman yang udah modern, kereta tua kayak gitu masih di oprasionalin,” jawab joko bingung.
“ngeliat apa yang terjadi belakangan ini, kayaknya memang bener ada yang harus kita telusuri tentang kematian Eyang Sukmo Kuncoro. Pokoknya, joko. Apapun yang terjadi nanti kedepannya kita harus tetap maju, dan tidak ada yang boleh saling mengkhianati di antara kita. Karena saya yakin, apa yang akan kita hadapi kedepannya akan semakin besar resikonya,” papar fikri meyakinkan joko.
“baik, den. Saya akan senantiasa menemani setiap perjalanan penerus kuncoro. Walau, harus ke neraka sekali pun. Sebagaimana yang telah dilakukan leluhur keluarga saya,” timpal joko.
Joko mengangkat koper yang mereka bawa. Tuan dan abdi setianya, kedua manusia tersebut melanjutkan perjalanannya menuju selatan gunung merapi, menuju padepokan naga sakti. Tiga puluh menit kurang lebih. Perjalanan dari staisun Maguwo, menuju selatan kaki lereng gunung merapi. Menaiki mini bus tua. Mereka mulai menjelajah setiap jengkal tanah Yogyakarta.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebua tepi hutan pinus yang lebat. Tidak ada rumah, tidak ada kendaraan yang lalu lalang, kecuali hanya beberapa saja. Suara serangga yang bernyanyi memanjakan telinga mereka. Mereka telah tiba di Alas Tali Jiwo, sesuai dengan yang Eyang Agus Kuncoro arahkan.
“setelah sampainya kalian di Alas Tali Jiwo. Bergeraklah ke arah utara. Sebelum, kalian melanjutkan perjalanan tarulah ubo rampe di bibir Alas Tali Jiwo. Lalu, bakarlah kemenyan. Dan, yang terakhir teteskan sedikit darah keluarga kuncoro pada bakaran kemenyan itu. Dan, ucapkan akulah sang pemangku Kuncoro, pemilik Alas Tali Jiwo. Sopo-sopo sing ngehianati pasti sirno,” jelas Eyang Agus Kuncoro sebelum keberangkatan Fikri.
Fikri segera mempersiapkan Umbo Rampe, membakar kemenyan, dan meneteskan sedikit darahnya yang menetes melalui bilah belati pada bakaran menyan. Karena, dia lah penerus resmi Kuncoro itu sendiri.
“akulah sang pemangku Kuncoro, pemilik Alas Tali Jiwo. Sopo-sopo sing ngehianati pasti sirno,” Fikri merapalkan mantra, setelah semua persiapannya usai.
Suasana alas tiba-tiba berubah. Menghening, sunyi. Bahkan terlalu sunyi untuk tempat yang tidak berpenghuni. Kali ini, tidak ada lagi serangga yang bernyanyi. Bahkan, suara daun dan rumput yang bergesekan sudah tidak lagi terdengar. Joko, menelan salivanya. Menatap sekeliling dan tuannya bergantian. semua berhenti, seolah mereka sedang berpindah dimensi waktu.“MERENE PUTUKU …. KOWE WIS SUWE ORA TEKO. IKI UMAHMU, UMAH KUNCORO, UMAH SOPO-SOPO SING ORA SETIA ILANG JIWA LAN SUKMO,” Suara besar, berat, dan serak, yang datang entah darimana tiba-tiba memecah keheningan diantara Fikri dan Joko.
Tubuhnya bergetar, matanya menatap kosong antara dua ujung sepatunya. Hampir-hampir saja ia kehabisan udara. Ia, hilang tenaga seolah ada aura besar hadir dari dimensi yang lain. Fikri, masih mencoba untuk berdiri dengan bertopang satu kaki, dan satu tangan yang menyentuh tanah. Takut, cemas. Mungkin itu yang sekarang ia rasakan. Tiba-tiba saja ada perasaan aneh membuncah dalam dadanya, menautkan kedua gerahamnya hingga bergesekan satu dengan yang lainnya. Perlahan tubuh itu bangkit. Fikri telah berdiri sempurna, menatap tajam dan menarik sedikit simpul senyum pada hutan yang akan dituju.
"Aku trah Kuncoro, berani-beraninya kau menguji," batin Fikri sembari menjejakkan kakinya menjelajahi Alas Tali Jiwo. Pemandang di dalam Alas Tali Jiwo sangat berbeda dengan apa yang ia lihat ketika sebelum memasukinya. Hari masih pagi, tapi tidak ada satu cahaya pun yang menyembul malu di antara lebatnya dedaunan hutan, lembab, berkabut sangat cocok untuk menyempurnakan suasana mencekam saat ini. Rumput ilalang liar menemani perjalanan mereka menembus Alas Tali Jiwo. Joko, masih dengan setia membuntuti tuannya, sembari mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru, mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
"Den, kayaknya kita rehat dulu, deh. Udah dua jam kita jalan nelusurin Alas Tali Jiwo. Tapi, kita belum juga ketemu sama padepokannya," pinta Joko dari belakang sembari mengatur nafasnya.
"Oke, kita rehat dulu sejenak sekitar 10 menit. Joko, keluarin persediaan makanan yang kita bawa," balas Fikri.
"Baik, den,"
"Entah, kita harus berjalan berapa lama lagi. Tapi, yang jelas menurut penjelasan Eyang kita harus terus mengarah ke Utara sampai bertemu dengan padepokannya," Papar Fikri.
"Haduh .... gila capek banget, den. Kenapa orang-orang terdahulu, tuh. Kalo tirakat jauh-jauh banget. Emang gak kasihan apa sama penerusnya yang harus Napak tilas udah kayaknya nyari harta Karun," cicit Joko seorang diri sembari menyandar ke sebuah batu besar, dan meluruskan kedua kakinya.
"Semakin sulit Napak tilas seseorang, biasanya semakin berharga perjalanan kisah hidupnya, Joko," timpal Fikri "yuk, kita lanjut perjalanan kita. Kayaknya masih jauh, kalo istirahat kelamaan nanti kita gak sampe-sampe lagi,"
Mereka pun terus melanjutkan perjalanan, menjelajahi arah Utara Alas Tali Jiwo. Joko, kembali menggendong ransel tuannya dengan susah payah, dan mengangkat sebuah koper sedang di tangan kanannya. Aneh memang, manusia mana yang mau menjelajah hutan sembari membawa-bawa koper. Ya, jawabannya hanya satu. Yakni, pemuda satu ini Fikri sang penerus Kuncoro.
Suasana Hutan Alas Tali Jiwo cukup berbeda dengan hutan lainnya. Biasanya, hutan-hutan pada umumnya manusia akan mendengar banyak suara kehidupan yang berasal dari hewan-hewan, maupun dedaunan yang saling bergesekan. Tapi tidak dengan Alas Tali Jiwo. Sunyi. Bahkan, sangat sunyi untuk dikatakan jika di tengah lebatnya Alas Tali Jiwo memiliki padepokan yang ada kehidupan. Dan, Alas Tali Jiwo memiliki aturan untuk memasukinya, barang siapa yang melanggar aturannya, maka jiwanya akan tersesat. Hilang, tidak pernah kembali. Tidak pernah ada yang berhasil kembali ketika memasuki Alas Tali Jiwo. Kecuali, salah satu keturunan Kuncoro, yakni Eyang Sukmo Kuncoro. Dia berhasil menjelajah Alas Tali Jiwo, menaklukkan penghuninya, dan membuat perjanjian dengan Pemimpinnya yang bernama Sancaka. Seorang pemimpin bangsa lelembut dari Alas Tali Jiwo. Ia terkenal dengan kekuatannya, belum pernah ada diantara iblis trah dua belas kerajaan jagat lelembut, yang mampu mengekspansi ya. Tidak, ada yang tahu jumlah pasukannya, seberapa besar kekuatannya. Yang mereka tahu setiap utusan pasukan yang dikirim untuk menaklukkan Alas Tali Jiwo akan musnah. Dan, yang paling menariknya lagi adalah Sancaka tidak pernah tampil dalam pertemuan dua belas trah kerajaan jagat lelembut. Dia juga terkenal dengan julukan si tidak tersentuh.
Bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
12 Trah Jagat lelembut
Mystery / ThrillerYusi adalah seorang gadis cantik . ia adalah orang yang tidak mudah percaya dengan perkara mistis, tapi apalah daya semua perspektifnya berubah ketika ia mulai menempati rumah singgahnya yang baru. gangguan demi gangguan terus ia alami. hingga ia pe...