03; Martabak Dan Debat.

8 3 0
                                    

Hari mulai petang, kini baju Hasbi yang ia pakai sejak pagi tadi sudah compang-camping terkena oli dan kawan-kawan. Pun wajahnya yang sedikit banyak ikut terkena noda.

"Bang, kamu pulang duluan, gih! Mandi terus siap-siap ke masjid."

"Beresin ini dulu, lah, Pak. Baru jam 5 kok." Tolak Hasbi, tangannya masih sibuk memindahkan peralatan bengkel untuk dibawa masuk ke dalam.

Bapak hanya buka bengkel sampai sore seperti ini. Awalnya, Bapak buka sampai jam 9 malam. Namun tak lagi Bapak lakukan. Faktor usia, Bapak jadi gampang kelelahan. Sering terkena angin malam, membuat Bapak sering masuk angin. Sudah berumur, fisik Bapak tak lagi kuat seperti dulu.

Dan mengapa bukan Hasbi saja yang melanjutkan menjaga bengkel sampai malam? Karena, selain banyaknya tugas yang menunggu dirinya, izin dari Bapak pun tidak ia dapatkan. Maka dari itu diputuskan bahwa setiap jam 5 sore bengkel sudah akan ditutup. Jika mengharuskan lembur, Bapak membatasi waktu sampai pukul 7 malam. Selebihnya akan Bapak lanjutkan besok. Maka dari itu, Bapak seringnya meminta para pelanggan untuk mengambil motornya sekitar 2-3 hari apabila motornya banyak yang perlu diperbaiki.

"Lha iya udah jam 5. Kamu mau pulang jam berapa memangnya? Abis subuh?"

"Berlebihan!"

"Ya makanya pulang! Nanti belum kepotong perjalananmu pulang, kamu mandi, Bapak mandi, bisa-bisa ke masjid udah jam 8. Kamu tiap hari Bapak kasih tahu kok gak nyantol-nyantol. Efek kebanyakan bolos ya begini!"

Ingatkan Hasbi bahwa didepannya ini adalah sosok ayah yang sudah merawatnya sampai sebesar ini.

Hasbi merengut, "Perlu digaris bawahi kalau Abi tuh gak bolos!"

"Ya ya ya. Udah, sana pulang. Sisanya biar Bapak aja yang urus." Hasbi tak ada pilihan lain selain mengikuti perintah Bapak. Ia berjalan masuk kedalam bengkel, mengambil tas dan seragam yang tadi ia lepas.

Berjalan mendekati Bapak, kemudian berucap, "Abi pulang dulu, assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam."

***

Pukul 5 lewat 20 menit. Hasbi baru saja selesai mandi. Berjalan ke teras rumah menunggu Bapak pulang, sambil mengusak rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

Sebuah suara yang meneriakkan namanya membuat serentak mencari darimana asal suara tersebut. Sorot matanya mendapati Yama yang sudah mengenakan pakaian rapi. Dari atas sampai bawah, mulai peci berwarna hitam, kemeja lengan panjang berwarna pun dan sarung yang berwarna hitam. Orang-orang kalau gak tahu kelakuan asli Yama, bakal ketipu sama tampang Yama yang santri-able ini.

"HOI! Hasbinjing!"

Kan.

"Yamanyett, Yama monyet! Apa lu?!" Hasbi ya gak mau kalah lah.

"Sopan lu begitu?!"

"Lu duluan, congek! Jangan sampe sendal gua melayang ke muka songong lu, ye!"

Sebenernya Hasbi ini kesal terhadap kawan satu-satunya itu. Ia masih tidak terima ditinggal berangkat sekolah begitu saja dan berakhir didepak pak satpam. Padahal jika diingat, Hasbi ini adalah kawan sejati. Sering mentraktir Yama makan saat anak itu lupa tak membawa uang-- meskipun diakhir Hasbi selalu minta ganti rugi.. ya..

Lalu dengan sekonyong-konyong Yama yang malah datang dengan wajah sumringah seolah tak terjadi apa-apa. Menyapanya dengan wajah berseri-seri seperti baru saja ketiban duit bermiliar-miliar. Hasbi jadi semakin kesal.

Huh, dasar Hasbi Dramatis Wisesa.

"Santai ngapa. Ngegas bener kayak  pertamax." Yama yang sudah sampai diteras rumah mengerutkan kening. Ada apa dengan kawannya ini. Raut wajahnya tak bersahabat sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bapak TerhebatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang