Halo-Halo Bandung

8 2 0
                                    

Sore ketika kami kejar-kejaran dengan polisi adalah sore paling membahagiakan sepanjang hidupku. Semua mobil pada minggir termasuk Pajero arogan itu, suara wiuw wiuw sirine polisi terdengar renyah di telingaku, dan revolver yang mengilat itu. Oh... Bagaimana mungkin aku bisa melupakan sore itu?

-

Aku tatap tulisan di ponsel itu dengan seksama:

SELAMAT ANDA TELAH DITERIMA DI UNIVERSITAS PADJADJARAN JURUSAN SASTRA PERANCIS.

Aku periksa lagi untuk memastikan bahwa itu bukan editan. Sebab tahun lalu ada kasus seorang siswa terlanjur syukuran karena ia mengira telah diterima ITB, padahal temannya mengirim foto editan. Hal itu membuatnya malu setengah mampus, konon sampai sekarang dia selalu menghindar kalau diajak reuni.

Oke, foto ini bukan editan. Aku kabarkan berita baik ini kepada orang tuaku. Reaksi mereka mengecewakan. Yah wajar boomer, mereka belum puas kalau anaknya belum masuk teknik atau kedokteran. Harusnya mereka bangga, karena akulah satu-satunya anak SMA Negeri Pamekasan yang kuliah di Bandung. Sisanya cuma berani kuliah di Surabaya, Malang, bahkan dalam pulau. Cemen.

Bapak bilang masa depan lulusan sastra itu suram. Aku bantah dia seperti Namrud membantah Tuhan. Enak aja bilang masa depan suram. Aku bilang pada Bapak kalau peluang bilateral antara Indonesia dengan Perancis sedang tinggi-tingginya. Aku tidak perlu cari pekerjaan, karena nanti pekerjaan yang akan mencariku. Setelah lulus kuliah, aku baru sadar bahwa perkataan Bapak memang benar.

Orang Madura itu terkenal suka merantau, namun perjalanan paling jauh yang pernah aku tempuh hanyalah saat study tour ke Yogyakarta. Mengunjungi keraton dan membeli bakpia di Malioboro. Jelas itu tidak bisa disebut dengan merantau, itu liburan anak-anak. Kali ini aku akan merantau beneran untuk pertama kalinya ke bumi Pasundan, bukan sekadar untuk study tour ke Museum Geologi, foto cantik di Gedung Sate, atau belanja sepatu kw di Cibaduyut. Aku akan kuliah di sana.

Inilah saatnya bagi si burung untuk terbang lepas dari sarangnya, keluar dari zona nyaman. Si burung begitu bersemangat dan tidak sabar untuk berpetualang menggunakan sayapnya sendiri. Namun si induk burung tidak membiarkan si burung terbang sendirian, mereka kira sayap burung belum cukup kuat untuk terbang jauh. Induk burung itu adalah orang tuaku.

Orang tuaku ingin mengantarku ke Bandung. Okelah kalau mobil kami Alphard atau minimal Avanza, aku bisa bobok cantik sepanjang perjalanan. Tapi mobil kami cuma Kijang Kotak buatan tahun 1982 (bahkan mobil itu 20 tahun lebih tua daripada aku). Orang menyebut mobil ini dengan Kijang Doyok, konon karena moncong mobil ini mirip dengan muka pelawak Doyok. Kok bisa ya orang sepakat dengan sebutan ini? Maksudku kenapa ada orang yang kepikiran menyamakan wajah manusia dengan moncong mobil?

Bapak selalu membanggakan mobil butut itu seolah itu mobil terbaik di dunia yang fana ini (cieehhh). Misal minggu lalu, tetangga kami Pak Nurdin (bukan M TOP) baru saja beli Kijang Innova tahun 2018. Meski berbeda kasta, Bapak bilang, 'Ah masih enak juga kijang punya Bapak'. Haduh gini nih kalau punya orang tua fanatik sama satu jenis mobil. Kalau fanatik sama BMW okelah, lah ini fanatik kok sama Kijang Doyok.

Aku pernah meyarankan Bapak buat menjual si Kijang Doyok, tukar tambah sama Avanza tahun 2005. Dia bersikeras kalau mobil itu menyimpan banyak kenangan. Padahal aku yakin alasan utama mobil itu tidak dijual adalah karena dia tidak menemukan orang yang cukup tolol untuk mau beli rongsokan itu.

Pada dasarnya Bapak tidak mempercayai orang lain untuk mengendarai mobilnya dan itu termasuk aku. ANAKNYA SENDIRI. Dari situlah aku mengalami pengalaman traumatis saat latihan nyetir. Waktu itu kelas 2 SMA, aku langsung membikin SIM di hari ketika usiaku menginjak 17 tahun. Jangan tanya pakai cara apa, sebab aku mendapatkan SIM seperti anggota dewan mendapatkan jabatannya.

Halo-Halo BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang