Gelap...
Semuanya tampak gelap.
Aku tak tahu sedang berada dimana sekarang. Kakiku menapak pada tanah becek alih-alih marmer statuario seperti di rumahku. Aku tak bisa meraba kemana harus melangkah. Aku tak berani, bahkan hanya untuk maju sesenti pun. Mataku seperti dibutakan dan mulutku tak sanggup berteriak kencang, seolah ada batu menghambat di tenggorokanku yang kering.
Bunda...?
Papa?
Kak Sarah?
Bang Wisnu...
Aku membatin, memanggil dengan frustasi nama-nama anggota keluargaku. Meskipun Bang Wisnu sudah tak lagi serumah denganku, aku berharap dia bisa mendengar jerit batinku. Sebab di keluarga Pradipta, hanya aku dan Bang Wisnu lah yang bisa berkomunikasi tanpa saling bertemu, dimana orang sering menyebut kami sebagai... anak indigo. Manusia pilihan yang bisa menembus masa lalu, melihat sejarah pada setiap timeline suatu ruang, dan mampu merasakan keberadaan entitas tak kasat mata.
Di tengah-tengah aku berdoa, tiba-tiba muncul cahaya di ujung jalan. Cahaya itu tampak kecil, tapi lama-kelamaan membesar hingga menyilaukan mataku yang anehnya tidak menyakitkan. Justru membuatku ingin berlari menuju cahaya itu.
Seiring langkahku, aku mulai mendengar suara gaduh. Meskipun tak yakin, tapi aku bisa mendengar banyak orang berbincang menggunakan dialek hokkien yang ku mengerti. Sejak kapan aku bisa berbahasa mandarin?
"Meimei? Dari mana saja kau? Papa mencarimu."
Seseorang menyeretku. Gadis berkulit putih dengan logat hokkien bercampur melayunya terdengar tak asing ditelingaku. Dilihat dari perawakannya, aku tahu dia lebih tua dariku. Tapi yang tampak kontras dimataku ialah pakaian chinese vintage atau yang kutahu adalah dress cheongsam berwarna putih dan merah dengan ornamen burung dan bunga sakura di pundaknya. Apa kami sedang ikut perayaaan imlek sekarang?
"Kali ini, jangan sampai membuat keluarga malu, Liu Mei. Papa dan Mama sudah mencarikan jodoh yang terbaik untukmu," ocehnya dengan penuh semangat.
Ia masih menyeretku agar melangkah lebih cepat. Dan baru ku sadari, bahwa tanah yang kupijak adalah lorong-lorong pasar menuju entah kemana aku pergi. Sepatu yang kukenakan tampak begitu cantik terbuat dari sutra bercorak. Dan pakaian yang kukenakan adalah dress cheongsam merah yang begitu menyilaukan mata. Serius, ini bukan warna favoritku, tapi anehnya aku senang memakainya.
"Percayalah, adik, kali ini kau tidak akan mampu menolaknya. Cici berani bersumpah, calon suamimu kali ini benar-benar tampan rupawan."
Aku masih tidak mengerti. Jodoh? Calon suami? Cici? Dan semua orang yang ku lihat di sepanjang lorong ini, tidak seperti orang-orang yang sering kutemui. Apakah aku masuk ke dimensi lain?
Kemana ponselku? Kemana kendaraan yang sering kulihat berseliweran di Jakarta? Kemana anak-anak gen z seumuranku yang sering kutemui di setiap jalan?
Ah, benar... sepertinya aku memang masuk ke dimensi lain. Karena yang kutemui hanyalah delman dan becak dorong yang pernah kulihat di film era 70an. Tidak ada satupun bangunan modern maupun gedung pencakar langit seperti di lingkunganku. Sebentar, aku tidak tiba-tiba masuk ke negara orang, kan?"
Dan saat aku melihat beberapa tempat terlukis lambang VOC di dinding dan gapura, kilasan-kilasan tentang diriku di masa kini muncul di kepalaku.
OH, TUHAN... AKU TERJEBAK DI MASA LALU!
Dan tepat ketika aku berada di salah satu toko obat di ujung jalan, orang-orang yang sudah berkumpul disana menatapku dengan kompak. Seolah mereka semua memang sedang menunggu kedatanganku. Dengan wajah sumringah, mereka tampak takjub.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEGER PECINAN, 1740 [End]
Historical FictionSpin-off Indigo's Love - Menceritakan tentang Dinda Sanjani, seorang gadis indigo yang memiliki kemampuan melihat hal-hal gaib, termasuk pada kisah masa lalu dari suatu lokasi. Suatu hari, ia terjebak pada tragedi pembantaian seluruh etnis Tionghoa...