BAB 9 -JefVa-

194 33 6
                                    

Hari-hari Elva sebagai laki-laki hamil terasa semakin berat saja. Bukan karena perutnya yang kini terisi janin, tapi karena perubahan yang dia rasakan semenjak hamil.

Ini sudah kedelapan kalinya dia bolak balik ke toilet untuk muntah. Padahal kemarin-kemarin dia sudah tidak mual lagi, tapi kali ini mual itu kembali.

Rasanya lelah sekali, terlebih sang Ibu juga belum pulang karena baru jam tiga sore.

Elva bingung harus apa, menghubungi teman-temannya? Tidak, mereka sudah ada agenda masing-masing.

Tubuh lelah itu Elva sandarkan pada ujung tempat tidur. Rasanya di saat-saat seperti ini dia ingin sekali ada seseorang di sini, tapi dia tidak bisa mengganggu siapapun.

Tangan kecilnya spontan mengusap perut yang masih lumayan rata itu.

Sepertinya kini dia harus benar-benar menerima takdirnya. Bayi di dalam kandungannya seolah marah setiap Elva berpikiran untuk melenyapkannya. Tidak, dia tidak bisa. Tidak bisa dipungkiri bahwa kasih sayang Elva pada anak ini sangat besar bahkan sebelum dia menyadari keberadaannya.

"Adek, ayo kompromi ya, jangan begini. Mama gak kuat."

Elva terkejut sendiri setelah mengatakannya. Mama? Apakah panggilan itu pantas untuknya? Dia seorang pria, atau kah harusnya Papa saja?

Senyum tiba-tiba muncul di bibir manisnya. Senang, terharu dan sedih. Sebentar lagi dia benar-benar akan menjadi seorang ibu. Kini hidupnya sudah bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang bayi di perutnya.

Setelah mualnya sedikit mereda, Elva menyalakan televisi untuk menghilangkan jenuh karena tidak ada siapapun yang bisa diajak ngobrol.

Tapi sepertinya itu adalah keputusan yang salah. Karena seketika air liur terasa hampir menetes saat dia melihat tayangan tentang makan-makan di sana. Buah mangga mengkal yang sangat manis, Elva ingin sekali.

Dia bingung sendiri, kenapa dia seingin ini? "Gue ngidam?"

Elva tertawa lagi, ternyata ini benar-benar bukan mimpi. Dia benar-benar sudah menjadi ibu hamil.

Elva memutuskan untuk keluar rumah, mencari abang-abang tukang buah sendirian.

Namun meskipun sudah berkendara lebih dari setengah jam, dia tidak juga menemukan mangga. Abang tukang buahnya bilang ini belum musim.

Elva jadi merengut sedih, dia ingin sekali mangga.

'Apa ke supermarket aja ya?'

Elva mengangguk atas pendapatnya sendiri. Tak apa membayar agak mahal, yang penting dia bisa mendapat apa yang dia mau.

Setelah sampai di supermarket, dia langsung menuju rak buah dan mendapatkan mangganya. Harganya lumayan juga. Tapi tak apa, keinginannya nomor satu.

Tapi melihat antrian di depannya, rasanya kakinya langsung meleleh seperti jelly. Tidak, dia tidak kuat berdiri lama di antrian.

"Beli itu aja dek?"

Elva menengok ke sumber suara. Ternyata pemiliknya seorang perempuan paruh baya yang masih sangat cantik. Penampilannya sederhana namun elegan.

"Iya buk." Jawab Elva.

"Muka kamu pucet banget. Sini masukin ke troly ibu aja, biar ibu yang antri. Kamu duduk aja di sana." Tunjuknya pada kursi tunggu.

Wah, kebetulan sekali, tapi Elva tidak enak.

"Nggak papa kok bu." Jawabnya lengkap dengan senyuman manis yang ramah.

Ibu itu tidak berbicara lagi. Selang dua menit, kaki Elva terasa semakin lemas. Lututnya tak sanggup lagi menumpu badan kecilnya.

Mau tak mau Elva berbalik ke belakang, dia tersenyum sungkan dan malu.

Selenophile [ JH X RJ Lokal ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang