Luka Keluarga

22 4 0
                                    

🌻🌻🌻

Ini bukan pertama kalinya, tetapi tetap mampu membuat hatiku runtuh. Begitu panggilan selesai aku berlari ke luar setelah memberi pengarahan pada Arina untuk menggantikanku memimpin rapat. Dapat aku rasakan beberapa pasang mata menatap ingin tahu. Akan tetapi, bagiku itu tidak penting. Aku tetap berlari seperti orang kesetanan. Ibuku tidak memiliki siapapun untuk melindunginya kecuali si sulung ini. Sepatu kets model tali itu seakan ingin ikut mengejek nasib burukku. Aku jatuh terjerembap karena menginjak tali sepatu yang terlepas.

“Sialan!” umpatku seraya berusaha bangkit.

Mukaku memerah. Antara jengkel atau ketakutan. Pernahkah merasakan sesuatu begitu menyesakkan, tetapi sulit sekali mengekspresikannya? Seharusnya aku menangis saja. Namun, air mata terasa tidak sudi membasahi pipiku. Dia seolah mengejek penderitaan yang mungkin baginya belum seberapa pantas sehingga pantang untuk menangis.

“Kalau kamu ngiketnya kayak gitu, 50 meter lagi aku yakin kamu jatuh gara-gara nginjek tali sepatu,” celetuk seseorang yang kini berjongkok di hadapanku.

“Kamu lagi?” tanyaku dengan nada tak suka. 

Lelaki yang sempat aku temui di ruang musik itu menunjukkan ekspresi datar. “Pop mie mu udah habis?”

Aku tak menyahuti. Atensiku fokus pada tali sepatu yang susah sekali untuk diikat. Aku seperti terkena serangan panik. Ini adalah hal mudah, kenapa sekarang terasa rumit sekali?

Calm down,” celetuknya seraya merebut tali sepatuku dan mengikatnya dengan baik.

“Kalau tangan kamu gemetar kayak gitu, bahkan hal mudah bakal kerasa sulit. Tenang dulu, baru bertindak,” imbuhnya seraya bangkit setelah mengikat tali sepatuku dan berlalu pergi entah ke mana.

Aku tertegun sejenak. Perkataannya mengusikku. Namun, buru-buru aku tersadar. Ibuku membutuhkan aku segera. Tubuhku kembali berlari sekuat tenaga menuju skuter matic berwarna hitam. Motor yang dibelikan ibu dengan cara mencicil selama 3 tahun.
Pikiranku melayang untuk membuat skenario buruk yang mungkin terjadi di rumah. Bukan bermaksud mendoakan hal buruk terjadi. Terlalu sering melihat hal seperti ini membuatku frustrasi untuk berpikir positif.

“Buk!” teriakku begitu sampai di rumah.

Harusnya aku mengucap salam, tetapi sopan santun itu menguap dan terkalahkan oleh rasa cemas.

“Buk, kenapa sampai kayak gini?” tanyaku pada ibu yang tengah berjongkok di sudut dapur.

Adikku juga terlihat di sana memeluk ibu. Mukanya sembab sekali. Aku tebak dia sudah menangis berjam-jam. Suara benda dipukul di kamar mengalihkan atensiku. Aku yakin itu bapak yang sedang mengamuk. Tanpa ragu aku berjalan menghampirinya ke kamar. Sayup-sayup teriakan ibu dan Sandrina terdengar dari arah belakang. Akan tetapi, aku tidak peduli.

“Bapak, maunya apa lagi kali ini?” 

Bapak yang sedang membongkar lemari pakaian menoleh. “Anak kecil enggak usah ikut campur!”

Mataku terpejam menahan amarah. Aku tebak bapak pasti sedang mencari sertifikat rumah yang disembunyikan ibu. Ini bukan pertama kalinya terjadi di rumah ini.

“Sertifikat rumahnya udah aku bakar. Percuma Bapak mau hancurin seisi rumah ini enggak bakalan ketemu,” ucapku spontan. 

Bapak menoleh dengan mata memerah. Anggap saja aku sudah tidak waras karena telah memancing amarah kepala keluarga di rumah ini. Akan tetapi, aku bergeming. Wajahku memperlihatkan ekspresi muak.

“Ngawur!”

Bapak sepertinya tidak termakan omongan spontan tak masuk akal dariku. Dia tetap sibuk membongkar isi lemari dan bufet di kamar.

“Bapak mau ngapain? Mau gadai rumah ke rentenir? Enggak cukup pukulan yang kami terima, sekarang Bapak mau jadiin kami calon gelandangan?”

Bapak memukul pintu lemari hingga satu engselnya terlepas. Dia mulai menaruh atensi sepenuhnya padaku. 

“Kamu enggak usah ikut campur! Emang kamu udah kasih kontribusi apa di rumah ini? Kalau enggak bisa ngasilin duit, mending diem!” seru bapak dengan emosi yang semakin tersulut.

Dadaku bergemuruh. Kata-kata bapak begitu menyakiti hatiku. Meski aku belum berpenghasilan, setidaknya aku bukan penikmat j**i togel seperti dia.

“Aku emang belum bisa cari duit, tapi seenggaknya aku bukan tukang j**i yang suka mukul kayak Bapak!” balasku tak mau kalah.

Anggap saja aku anak durhaka. Siapa yang tidak akan muak terkurung dalam belenggu seperti ini selama belasan tahun? Aku ingin melindungi ibu dan adikku.

“Anak kurang ajar!”

Bapak mengambil parang yang dia sembunyikan di bawah tempat tidur. Dia mengangkat tinggi dan siap mengarahkan benda panjang itu ke leherku. Aku bergeming dengan wajah datar. Sejujurnya aku tidak takut. Bapak itu penakut. Dia melakukan ini hanya untuk menggertakku. 

“Jangan! Pak tolong nyebut, Adhira itu anakmu!” teriak ibuku dari arah belakang.

Bapak berteriak kesal dan membuang parang ke lantai. Dia keluar seraya menabrak tubuhku yang menghalangi pintu. Aku yakin dia akan pergi ke warung kopi yang ada di ujung jalan, tempat dia dan teman-temannya sesama penj**i togel berkumpul.

“Ra, jangan lawan Bapak kayak tadi. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?” ucap ibuku dengan air mata yang luruh.

Aku menatap ibuku nanar. Mataku mulai berkaca-kaca. Lihatlah wajah yang penuh keriput itu kini lebam lagi untuk ke sekian kali. Dalam benak aku masih bertanya, kenapa ibuku bertahan dalam hubungan pernikahan bagai racun neraka ini? Entah karena dia cinta buta pada bapak atau tidak ingin kami jadi anak broken home

Jujur jika boleh memilih, aku lebih senang jika ibu dan bapak bercerai saja. Meski tinggal satu rumah, tapi jarak secara emosional sudah terlampau jauh. Untuk apa raga dekat, tetapi batin kami berjarak bagaikan kutub ke ujung kutub lainnya?

“Ibuk enggak mau cerai aja sama bapak?” tanyaku lagi untuk ke sejuta kali.

Meski aku tahu apa yang akan keluar dari mulut ibuku, nyatanya tak dapat menahan pertanyaan retorik itu. Aku menghela napas kasar dan mengambil ransel hitam yang terjatuh di lantai.

“Aku mau balik ke kampus, Buk. Kunci pintunya biar dia enggak buat ulah lagi.”

Aku berlalu tanpa banyak bicara lagi. Bukan karena aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin ibu melihatku menangis. Air mata ini tak bisa terbendung saat melihat noda kebiruan di wajah wanita yang melahirkanku. Aku adalah si sulung yang kuat. Setidaknya itu yang harus ibu dan adikku kira.

Motor skuter hitam itu menjadi saksi bagaimana derai air dari mataku tertiup angin. Aku memang sengaja tidak menutup kaca helm. Anggap saja angin ini adalah perpanjangan tangan Tuhan yang ingin mengusap kesedihanku.

“Kalian udah pada balik?” ucapku pada seseorang di seberang telepon saat sampai di tempat parkir kampus.

“Belum, masih di ruang musik. Kamu kok balik ke sini? Ibuk gimana?” jawab Arina. 

Aku terdiam sekian detik sebelum menjawab. “Tungguin aku. Sekarang lagi jalan ke sana.”

Setelah menerima persetujuan dari Arina di seberang telepon, aku berlari menuju ruang UKM musik. Untungnya kampus sudah mulai sepi, jadi tidak susah bagiku untuk sampai dengan cepat.

“Kok kamu balik lagi, Ra?” tanya Arina begitu aku sampai.

Aku tak langsung menjawab dan malah bergeming dengan tangan memegang erat tali ransel di pundakku. Tiba-tiba lidahku kelu untuk bersuara. Mungkin aku hanya bingung untuk menceritakan dari mana.
Mataku menatap satu persatu sahabatku di sana. Lentari ternyata datang untuk rapat meski tidak masuk kelas. Tubuhku masih kaku dengan ekspresi tak terbaca. Mauren yang tengah makan, meletakkan biskuit regalnya dan berjalan ke arahku. Tanpa aba-aba wanita itu memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.

“Enggak usah ngomong apa-apa, Ra. Kalau mau nangis, keluarin aja."




Bersambung

Wilted FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang