Perdebatan Klasik

28 4 0
                                    

🌻🌻🌻


Air mataku jatuh lagi seperti seorang pecundang lemah. Kini diiringi oleh raungan pilu yang memalukan. Arina, Senjani dan Lentari ikut mendekatiku dan memeluk dari segala arah. Aku merasa Tuhan memberi sekuntum bunga indah di tengah kebunku yang gersang dan hancur. 

“Ceritanya nanti aja saat kamu siap,” ujar Arina.

“Kita enggak ke mana-mana kok, kita di sini buat kamu,” imbuh Senjani. 

Lentari tak mau kalah, sahabatku yang paling lembut layaknya bayi itu mengusap pundakku. “Kamu kuat, ada kita kok di sini. Tenang aja, ya?”

Aku tersenyum meski masih menangis. Pernahkah kalian merasa sakit dan bersyukur di saat yang bersamaan? Itulah yang aku rasakan sekarang. Makan rujak tahu campur masih kalah jauh sensasinya dari ini.

“Ayok makan rujak tahu campur di Bu Anggi,” ajak Mauren.

Aku melepas rengkuhan mereka berempat dan menatap penuh tanya seraya menarik ingus yang sudah akan keluar.

“Aku traktir. Jarang-jarang aku baik,” tambah Mauren sambil melempari beberapa lembar tisu ke arah wajahku.

Hanya senyum kecil yang aku sungging untuk membalas perkataan Mauren. Kini dia sudah terlihat sibuk memasukkan sisa biskuit regalnya ke dalam ransel. Teman-temanku yang lain sibuk merangkul dan mengusap lenganku. Aku perhatikan satu-satu persatu ekspresi wajah mereka. Hanya ada ketulusan dan aku berharap akan terus begitu.

***

Aku mengerutkan kening saat membaca notulen rapat kemarin yang dibuat oleh Senjani. Seketika aku menoleh ke arah Arina yang sedang membuka camilan kesukaannya.

“Anggota baru? Kok aku enggak tahu?” tanyaku dengan alis menyatu sempurna.

Arina tersenyum lima jari sambil memasukkan brem ke dalam mulut. Aku masih tidak mengerti bagaimana dia bisa sangat menyukai makanan aneh itu. Katanya sensasi dingin dan langsung meleleh di mulut terasa menyenangkan.

“Mau brem?” tawarnya tanpa menjawab pertanyaanku. 

“Na, jawab aku kalau enggak mau itu masuk ke tempat sampah,” balasku sambil melirik sekotak brem kepunyaan Arina.

“Iya ... iya, emosian banget. Aku kemarin mau bilang, tapi kan kamu lagi dalam keadaan enggak baik.”

Aku menatap Arina semakin tajam. “Enggak ada pembukaan anggota baru, kamu kenapa sembarangan terima tanpa bilang ke aku?”

“Emang kenapa, Ra? Toh aku udah liat backgroud-nya. Anggota UKM kita juga enggak banyak yang masuk tahun ini karena seleksi yang ketat. Kan, lumayan nambahin anggota,” balas Arina.

Wanita itu sampai menaruh kembali brem ke dalam kotak pertanda perbincangan ini akan menjadi serius. Sedangkan aku menatapnya tidak percaya dan melempar lembar notulen ke atas meja. Di lain sisi Senjani melihat kami berdua dengan pandangan takut. Dia selalu merasa ingin kabur saat aku dan Arina beradu argumen.

“Ra, Na, aku nyusul Mauren sama Lentari ke tukang soto di depan kampus dulu, ya? Nanti aku balik ke kantin lagi,” ucap Senjani seraya memeluk tabletnya dan berlalu pergi.

Kami berdua hanya menjawab dengan deheman dan kembali menaruh atensi pada pembicaraan yang tertunda. Aku meneguk air di dalam tumbler yang aku bawa. Biar bagaimanapun aku tidak boleh sampai terpancing emosi.

“Emang sepantas apa dia sampai boleh masuk pengecualian dan parahnya kamu sampai enggak ngomong dulu ke aku, Na?” 

Arina mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto anggota baru yang menjadi sumber perdebatan kami. Mataku membola karena sosok itu tidak asing.

“Orang ini?” tanyaku spontan.

Lawan bicaraku mengangguk. “Iya, kamu kenal?”

“Aku enggak setuju. Batalin!” titahku seraya membuang muka.

Terdengar debas napas lelah dari Arina. Mungkin dia mengira aku tidak menerima orang ini hanya karena kesal. “Kalau kamu kesal sama aku silakan, tapi nilainya secara objektif dong!”

“Oke, apa kelebihan manusia ini? Kenapa aku harus izinin dia masuk saat kita enggak buka pendaftaran?”

Arina terlihat sangat bersemangat, bagai sales perumahan yang sedang dikejar target menjual apartemen 35 lantai. Beberapa foto Arina perlihatkan, bisa aku tebak lelaki itu mungkin cukup terkenal.

“Dia kakak kelasku waktu SMA, Ra. Dari dulu dia ikut pensi dan lomba nyanyi. Pernah menang juga pas ajang pencarian bakat di radio. Kalau boleh dibilang, dia berjasa memotivasi aku buat mengasah bakat di bidang vokal,” tutur Arina panjang lebar.

Aku memijat pangkal hidung. Sahabatku ini terlihat sangat berbinar saat bercerita. Terasa sekali dia begitu menghormati dan mengidolakan orang ini.

“Siapa namanya? Kalau nanti ada anggota lain yang protes, kamu yang tanggung jawab, ya?”

Arina mengangguk mantap. “Namanya Bimantara, panggil aja Bima. Tenang aja, Ra. Respons anak-anak aman aja kok kemarin.”

Usapan kasar mendarat di wajahku. Mau bagaimana lagi? Arina sudah terlanjur menerima lelaki itu. Aku akan terlihat kurang profesional jika mempersalahkannya berlarut-larut.

“Berarti rapat 2 hari lagi dia dateng? Aku mau lihat pakai mataku sendiri respons anak-anak UKM kayak apa,” ucapku pada akhirnya.

“Iya, Adhira. Astaga rewel banget,” balas Arina sambil mencubiti pipiku.

“Kalau misal anak-anak salah satu aja ada yang protes, kita tinjau ulang keputusan ini. Aku enggak mau—pffft.” 

Ucapanku terpotong saat Arina memasukkan sepotong brem ke dalam mulutku. Ingin kugantung saja dia di atas pohon rambutan andai saja aku tidak menyayanginya bagai saudara.

“Jangan banyakan ngomel, Ra. Heran banget deh kaku banget kayak kanebo kering,” tutur Arina tanpa rasa bersalah.

Aku meneguk air sebanyak yang aku bisa. Rasa brem begitu aneh di lidahku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan selera Arina. Dia bisa menghabiskan berkotak-kotak brem dalam seminggu. Katanya dia langsung membeli di Bali lewat toko online.

“Sumpah, ya, Na! Andai aku jahat, aku arak kamu keliling Bandung,” umpatku sambil mengelap lidah dengan tisu.

Manik mataku melirik sosok yang lari tergopoh-gopoh menuju ke arah kami. Itu adalah Lentari, ujung hijab berwarna violet yang dia kenakan sampai berantakan tak karuan. Dia terlihat kesusahan membenahinya sambil berlari. Aku dan Arina saling pandang. Perasaan kami mendadak tidak enak.

“Kenapa lari-lari kayak dikejar soang?” tanyaku pada Lentari tanpa basa-basi.

Dia tak langsung menjawab. Lentari malah menjarah botol minumku dan menghabiskan tanpa sisa.

“Tari?” tanyaku lagi penuh penekanan.

Lentari menunjuk-nunjuk sembarang arah sambil berjingkrak tak karuan. Wajahnya terlihat sangat khawatir.

“Mauren kelahi di warung soto! Tolongin atuh cepetan!”


Bersambung



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wilted FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang