Mungkin kata sepi persis menjabarkan kondisi Sunghoon saat ini. Tidak ada sapaan, gurauan, atau hiburan yang menemaninya. Bahkan kedua dayang yang ia harapkan berada di sisinya sekarang, justru ditarik oleh kepala pelayan untuk mengurusi bagian dapur. Semua itu tidak luput dari persetujuan sang Raja.
Pria hamil itu sebenarnya tidak terlalu berharap, ia mengerti bahwa dirinya memang tidak punya kuasa. Hanya kesendirian sunyi yang dapat ditemuinya akhir-akhir ini. Meskipun ia tetap bertemu Jungwon dan Haneul, kedua dayang itu kembali bersikap formal kepadanya, membuat Sunghoon menjadi ikut bingung.
Kalau boleh jujur, Sunghoon betulan frustasi. Ia merasa seperti dikucilkan dan diabaikan. Hidupnya bagai tak ada harga diri, malam sepekan yang lalu merubah segalanya.
Taman belakang adalah tempat pelariannya selama seminggu ini. Asri masih terasa karena memang jarang dilalui para anggota kerajaan. Ia juga kurang tahu alasan mengapa tempat ini begitu sepi. Tapi untunglah, ia dapat bersembunyi disini.
Menyedihkan, seminggu ini pula dirinya akan terus melamun sembari menatap daun yang tiap harinya berguguran. Sunghoon adalah pribadi yang suka menyendiri, bukan berarti ia pantas diperlakukan seperti ini. Pria manis itu berkecil hati bahwa mungkin rencana Dewa untuknya akan gagal.
Pada akhirnya ia juga akan mati.
Dalam diam ia mulai menekuk kaki dan menelungkupkan kepalanya ke dalam lutut yang ringkih. Bibirnya mulai terisak pelan, meluruhkan kesedihan yang ia alami. Siapapun yang mendengarnya pun akan bersimpati atau bahkan ikut menangis, karena sungguh isakan lirih itu terdengar sangat menyakitkan—penuh dengan keputusasaan.
Nampaknya janin dalam perut pun turut bersedih, bisa dilihat dari pergerakan minim perut Sunghoon. Ia yang tidak terbiasa dengan beban di perutnya menopang bagian bawah sembari terus menangis.
Lalu ketika sadar menit semakin berlalu, Sunghoon secara perlahan mengangkat kepalanya. Ini bukan dunia dongeng yang dimana saat ia dalam masa sulit akan selalu mudah untuk menjalani masalahnya. Bahkan setelah lamanya berlalu, ia tetap sendiri.
Sunghoon memutuskan kembali ke kamar dengan wajah yang sedikit bengkak dengan hidung memerah. Ia berjalan dengan kepala menunduk agar tidak menimbulkan pertanyaan besar bagi siapapun yang melihatnya.
“Mau sampai kapan kau terus mengabaikannya?” pertanyaan yang lebih menjuru pada sarkas hanya dibalas oleh bungkaman. Tangan yang menyilang pada belakang punggung sedikit mengepal. Raut luarnya datar dan dingin, namun pria di belakangnya tahu betul jika sebenarnya Tuannya itu menabur luka secara tersirat.
Tiada solusi selain komunikasi, pikirnya. Pengawal pribadi itu juga tak punya hak untuk ikut campur dalam masalah Raja, “Kita masih harus mengurus strategi penyerangan wilayah timur, Tuan.” ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Raja itu menghela nafas, kemudian berbalik mendahului sang pengawal tanpa mengucap apapun.
•••
Ruangan yang berisi para petinggi kerajaan kini berisi atmosfer yang mencekam. Masing dari mereka sibuk bergulat menyusun rencana untuk meluluhlantakkan wilayah Timur. Semua itu tak serta merta karena keegoisan mereka. Kerajaan Wongrae bukanlah pribadi yang seperti itu.
Kerajaan Reuma dulunya hanya wilayah kecil yang berdiri atas permintaan rakyat. Wilayah itu sebelumnya milik Wongrae seratus persen. Namun karena para rakyat yang memberi keluhan akan wilayahnya yang diabaikan, membuat mereka meminta untuk diberi kerajaan sendiri.
Faktor jarak yang jauh, jarak antara Kerajaan Wongrae dan Kerajaan Reuma ibarat ujung ke ujung. Kerajaan kecil itu berada di wilayah yang berbatasan dengan laut. Sementara Kerajaan Wongrae yang memang berada di pusat mengharuskan untuk mengatasi urusan yang utama terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest, ethernal. [heehoon] | REVISI
FanfictionSunghoon itu apatis, apalagi jika dikaitkan dengan supranatural. Baginya hal itu ga masuk akal dan cuma dilebih-lebihkan, atau bahkan khayalan orang-orang. Sampai pada suatu malam, ketika ia yang entah bagaimana caranya nyaris tenggelam dalam perair...