Kita pergi lagi hari ini. Kamu datang ke rumahku pagi-pagi sekali. Kamu mengajakku ke pantai. Aku merasa sedikit gugup. Dan masih ku rasakan hingga motormu menembus kabut pagi yang nyaris membekukanku.
Kita saling menutup mulut untuk waktu yang cukup lama. Aku tidak tau mau membahas apa meskipun aku memiliki jutaan kata di kepala ku. Kamu cuek saja seperti tidak niat mengajak ku pergi. Kesunyian ini membunuhku perlahan.
Badai di kepalaku semakin membabi buta. Kamu masih menampilkan wajah yang terlipat itu. Sejak tadi. Aku merasa bersalah, mungkin sebaiknya aku tidak ikut saja. Kamu butuh waktu sendiri dan aku tidak suka kamu diamkan begini.
Ini pertama kali kita bertemu lagi sejak terakhir kita bertemu, di malam hujan itu. Di saat kamu patah hati itu. Dan sekarang pun masih.
Kamu meneguk air mineral hingga habis setengahnya. Menatap lurus ke pantai yang ombaknya sangat brutal. Kamu duduk, aku di sampingmu. Lagi-lagi, kesunyian sangat gemar hinggap di sekitar kita. Aku ingin tau, apakah kamu ingin berteriak mengeluarkan segala resah, sakit dan apapun itu yang menyakitimu akhir-akhir ini?
Badai di kepala ku semakin sulit ku kendalikan, saat kamu mulai bersuara. "Aku ada janji ketemu dosen nanti jam 1 dan ada jadwal mengajar jam 4." Kamu menambahkan petir, angin puting beliung dan tsunami di badai yang sudah tercipta sejak pagi tadi. Aku mengangkat handphone ku, mengetuk dua kali di layarnya untuk melihat pukul berapa sekarang.
11.30.
Ternyata kita sudah di sini nyaris 5 jam. Tanpa bicara apa-apa. Biasanya aku suka bercerita, apapun. Dan kamu mendengarkan. Selalu. Tidak lupa tertawa dan ekspresimu sangat menggemaskan. Aku selalu menyukai bagian itu. Tapi kali ini, aku tidak tau harus cerita seperti apa. Kamu tidak bersuara. Tidak bercerita. Meskipun aku berharap, aku bisa menjadi tempatmu berkeluh kesah.
Kita pulang. Meninggalkan pantai yang sepertinya lebih memahami apa-apa yang sedang kamu rasakan dan pikirkan, ketimbang aku.
Kamu memperlambat laju motormu. Sedikit menengok ke belakang. Dan aku hafal gelagatmu. Kamu ingin mengucapkan sesuatu. "Mau pulang atau ikut aku ke kampus?"
Aku ingin pulang tapi aku tidak ingin membiarkanmu pergi ke sana sendirian. Aku membiarkanmu yang memilih. "Aku ngikut kamu. Kalo kamu bisa sempat mengantar aku ke rumah dan ke kampusmu tepat jam 1, anterin aja. Tapi kalau enggak sempat, bawa aja aku."
Aku tau kamu enggak enakan orangnya. Aku memberikanmu pilihan yang aku tau kamu akan memilih yang mana. Sekarang, aku menambahkan bubuk baru di perasaan dan pikiranmu yang sedang kacau balau itu. Aku rasa badainya juga sedang berlangsung di kepalamu. Kamu tidak ingin mengeluarkannya. Kita berdua sama-sama memperbesar badai kita masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dena
RomanceBercerita tentang seseorang bernama Dena Bimantara melalui sudut pandang seorang perempuan muda, Anala Faladana. Keduanya memiliki kecocokan dalam berbagai hal. Satu frekuensi. Ketertarikan satu sama lain ? Mungkin iya, mungkin juga hanya salah satu...