Prolog, 22 Januari 2000

7 4 0
                                    

Orang-orang yang beralu lalang dengan sigap, pemandangan ramai yang sudah menjadi tontonan baru oleh seorang pria bertubuh jangkung dengan surai kehitaman yang baru saja ia pangkas dengan rapih.

Duduk di kursi tunggu didekat loket itu, sambil menunggu gilirannya, ditatap pula sebuah jam tangan yang menempel ditangan kirinya, memiliki merk G-Shock yang cukup mewah bagi sekalangan orang orang saat itu, pemberian pertama dan terakhir dari sang teman lama.

"Mau pulang kampung, Mas?"

Netra sang pria beralih ke seorang lelaki paruh baya yang tiba-tiba datang dan duduk disampingnya.

"Iya Pak, bagaimana dengan anda?" Tanya nya singkat.

Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum menatapnya, lalu kembali menatap lurus kedepan.

"Saya sedang menunggu teman lama yang akan datang." Balas sang lelaki paruh baya dengan senyuman.

Mendengar hal itu, sang pria jangkung hanya mengangguk, dan kembali lagi dengan lamunan panjangnya, menatap lengan kirinya dengan tatapan sendu, yang belum pernah ia tunjukkan selama hidupnya.

"Wah...jam tangannya mewah itu, Mas! Dapat dari pacar ya?" Tanya sang lelaki paruh baya dengan nada menggoda di akhir, berusaha untuk mencairkan suasanya.

Namun, sang pria jangkung bukanlah tipe yang suka diajak untuk bergaul saat ini. Beberapa kejadian lama mengubahnya, namun demi menghormati seorang yang lebih tua, dia hanya menjawab dengan singkat dan sopan.

"Bukan Pak, dari teman lama." Balasnya, di iringi dengan gelengan singkat.

"Ohh teman lama, ya? Saya juga ada. Boleh saya bercerita sedikit mengenainya?" Tanya lagi sang lelaki.

Sedikit heran dengan tawaran yang tiba tiba diberikan oleh si lelaki tua, sang pria jangkung hanya mengangguk, memasang gestur siap mendengarkan.

"Kehadiran teman lama saya itu, bak oasis di gurun yang gersang," Ucap sang lelaki sambil menyilangkan kakinya.

"Yah, dia yang oasis, saya yang gurun gersang nya, sih! Hahaha." Sambungnya

"Tapi saya sebagai gurun, saya menyapu bersih genangan oasis itu, saya menghancurkannya, Mas." Lanjutnya, sekali lagi.

Pria jangkung itu mulai penasaran dengan cerita yang dituturkan oleh sang lelaki tua, dia berucap,

"Mengapa?"

"Saya meninggalkannya karena saya tidak mau dia berteman dengan gurun gersang seperti saya, Mas. Namun sayangnya saya menyesalinya, sangat menyesal," Nada sang lelaki tua mulai sendu, diikuti oleh tatapannya yang menurun.

"Saya pengecut, saya tidak bisa mengungkapkan kerinduan yang selama itu saya pendam. Saya tak menyalahkan takdir, karena ini semua mungkin bisa diubah jika saya tidak seperti kereta kereta disana, hanya melesat jauh tanpa menoleh kebelakang." Tutur sang lelaki tua.

Sang pria jangkung hanya terdiam dan menelaah, sepertinya Tuhan saat ini sedang menunjukkan binarnya untuk sang empu.

Keheningan menghiasi kedua insan yang sedang duduk bersama itu, lagi lagi sang pria hanya menatap lurus, lalu dia kembali berucap,

"Kalau begitu, apakah anda mau mendengarkan cerita saya mengenai teman lama juga?" Tanyanya sambil tersenyum.

Ucapan sang pria jangkung hanya dibalas anggukan oleh sang pria tua, mereka merasa bahwa saat ini Tuhan sedang menukarkan jiwa mereka untuk menampilkan cerita yang akan menjadi sejarah bagi kehidupan mereka masing masing.

Maka dari itu, izinkan aku, Nabasala Adiputra untuk menceritakan semuanya melalui perspektif diriku, untuk dirimu, gadis sastra inggris!

Kereta Tiba Pukul BerapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang