Tawa keras terdengar dari ujung lorong gedung fakultas Teknik Mesin, terdengar pula lolongan keras dari beberapa pria di lapangan sebelah lorong itu. Disana pula terdapat seorang pria bertubuh jangkung dengan surai kehitamannya yang memanjang dan diikat berantakan dibelakang, Nabasala Adiputra.
Mendisiplikan mahasiswa baru adalah tugas nya saat ini. Namun, dirinya bukanlah bagian dari bem atau semacamnya, entah mengapa teman karibnya menyuruhnya untuk datang mengawasi.
Beberapa yang lain meninggikan suara karena para jantanan Teknik Mesin yang baru bergabung ini tak mendengar apa yang dikatakan panitia.
"Tiarap!" Teriak mereka, sedikit sinis dan memerintah.
Para mahasiswa baru itu hanya menurut, Nabasala sedikit kasihan dengan sistem kolot ini. Terkadang ia berfikir, apakah di masa depan kegiatan plonco ini masih akan dilakukan di kampus-kampus.
Omong-omong mengenai kegiatan kampus, Nabasala baru ingat kalau dia memiliki janji untuk bertemu dengan teman nya di gedung fakultas Sastra Inggris.
"Bang, aku duluan ya?" Nabasala mendekat ke seorang teman, sembari menepuk pundak sang teman.
"Weh mau kemana euy?" Sahut sang teman.
"Biasa, ada titipan dari si Nina." Balas Nabasala.
"Oh iya, Bas. Jangan lama-lama euy!" Balasnya singkat, dengan nyengir kuda khas sang teman.
Nabasala mengangguk, dan berjalan meninggalkan gedung fakultasnya dengan cepat.
Kaki nya semakin cepat menuju ke motor warisan kesayangannya, sebuah hadiah yang bermakna dari mendiang sang ayah. Duduk pula ia dengan tenang, tanpa memakai helm karena merasa tak perlu, toh dekat juga jarak antara gedung fakultasnya dan fakultas Sastra Inggris.
Suara mesin motor Honda CB 100 miliknya mulai menggema, mengebulkan asap dari knalpotnya, berjalan menuju tujuannya.
———...———
"Loh Mas Abas? Tumben ke sini, mau nyari Mba Nina, ya?" Sapaan datang dari seorang teman. Baru saja ketika Nabasala memakirkan motor nya.
"Iya, kalian lihat Anina?" Balasnya singkat.
Mereka hanya menggeleng singkat, memberi sinyal tak tahu. Balas Nabasala dengan anggukan, lalu berjalan santai menuju gedung.
Fokus Nabasala terpecahkan karena melihat para mahasiswa baru yang berjalan kesana kemari untuk mencari tanda tangan senior nya. Yah baguslah, setidaknya tak se-keras fakultasnya, sih. Pikirnya.
Masih mencari sang teman, menengok bingung kesana kemari, rasanya tak ada tanda-tanda presensi sang teman disana. SMS pun tak kunjung dikirimkan, maupun dibalas untuk memberi kabar. Nabasala hanya memutar matanya malas, sembari mencari tempat untuk bersandar, 'tuk melepaskan kelelahan sedari tadi.
Akhirnya ditemukan tempat untuk menunggu sang teman, bersandarlah ia sambil menutup mata nya, menikmati alunan musik dari kebisingan disekitar, sembari melamunkan kehidupannya yang memburuk layaknya keadaan politik saat itu.
"Excuse me, kak.."
Suara lembut yang seakan akan menjadi sajak indah diantara alunan musik kebisingan di hari itu, membuat mata Nabasala terbuka perlahan, menatap lurus ke arah suara. Bujang lapuk merupakan panggilan yang cocok untuk dirinya, karena rasanya baru kali pertama itu Nabasala mendengar suara lembut seorang wanita.
Siapakah gerangan yang memiliki suara halus ini? Pikir Nabasala. dasar alay!
Ternyata, dia adalah gadis dengan kepangan rambut yang rapi, dikuncir pula kepangannya dengan karet gelang berwarna kuning, membuat fokus Nabasala teralihkan. Apalagi disandingi dengan keringat bercucuran, serta baju yang sedikit tak rapih. Sangat jelas bahwa sang gadis sedikit tertekan dengan plonco di fakultasnya.
"Ada apa-"
"Saya Siti Adinda Dhiajeng, izin meminta tanda tangan senior!"
Belum selesai dengan kalimatnya, ucapan Nabasala dipotong dengan sedekimian rupa, membuat guratan kesal terlihat di wajah kalem nya.
Nabasala hanya terdiam disana, ya bagaimana dia tak terdiam. Sudah jelas selama 2 tahun ini dia lumutan di fakultas Teknik Mesin tercinta-nya. Dan sekarang, seorang mahasiswi baru dari fakultas sebelah meminta nya untuk menandatangani tugas plonco nya itu, edan!
"Tidak mau."
"Kak please..."
"Gak."
"Kak..."
Kutarik pujian tentang gadis dengan suara sehalus bulu merak, ternyata gadis ini goblok dan pemaksa, pikir Nabasala.
Benar pikir Nabasala, karena saat ini dia sedang memakai baju khas fakultas nya, masa' dia tidak dikenali bahwa dia bukanlah anak dari fakuktas itu.
"Yasudah kalau begitu, makasih ya kak untuk waktunya!" Balas akhir sang gadis, disertai dengusan kesal dan nada sarkasme yang jelas.
Nabasala hanya berdehem. Yah, sepertinya gadis itu menyerah. Karena ia berbalik dan berjalan pergi dari Nabasala.
Namun saat melihat gadis itu berbalik membelakanginya, Nabasala salah fokus dengan tas sang gadis yang terbuka, menampilkan sesuatu, dan...greb!
"Eh!?"
Nabasala menarik tas sang gadis, membuat wanita bersurai kepang itu terdorong ke arah Nabasala dengan paksa.
"Ada apa, kak!? Jangan pikir kakak mau merundung saya, ya! Bisa saya laporkan-"
Belum selesai sang gadis mengoceh, Nabasala menarik buku yang berisi tanda tangan senior sang gadis. Membuatnya keheranan.
Sreet..srat!
Coretan tinta berisi tanda tangan Nabasala terekam disana, membuat sang gadis makin kebingungan.
Lagi lagi, sebelum sang surai kepang berceloteh, Nabasala kembali memotongnya.
"Sudah saya beri tanda tangan, giliran anda yang memberi saya sesuatu." Tuntut Nabasala, sembari menunjuk kearah tas sang gadis yang terbuka.
"Bumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer, itu dilarang beredar. Kenapa anda memilikinya?" Pandangan Nabasala menusuk, membuat gadis yang sering dipanggil Dhiajeng ini berkeringat dingin.
Sang gadis diam membisu, apalagi dengan tatapan Nabasala yang menuntut. Padahal dia hanya memiliki duplikatnya saja, namun karena kecerobohannya, Dhiajeng bisa dalam masalah.
"Itu.." Gagap ucapnya.
Belum Dhiajeng menyelesaikan kalimatnya, lagi lagi Nabasala memotongnya. Mungkin itu hobi Nabasala untuk memotong ucapan lawan bicaranya, membuat Dhiajeng sedikit jengkel.
"Buku ini aku pinjam." Singkat Nabasala. Sebelum membiarkan Dhiajeng berkata sepatah kata lagi, dia langsung mengambil buku itu dari tas sang gadis. Membuat Dhiajeng hanya terdiam heran.
"Tapi tidak akan kau laporkan, bukan?!" Tanya nya dengan tuntutan saat melihat Nabasala berjalan menjauh darinya.
Nabasala tersenyum tipis, menyelipkan buku itu di dalam gulungan kemeja nya.
"Tidak, sekedar informasi. Saya kolektor karya Pramoedya Ananta Toer. Terserah anda ingin melaporkannya atau tidak. Paling tidak, kita berdua akan ditangkap dan dibunuh jika anda menyebarkannya."
Kata akhir Nabasala tersebut membuat pertemuan aneh ini berakhir dengan membingungkan. Apalagi dari sisi Dhiajeng yang tidak tahu ingin bereaksi seperti apa. Dimia hanya berdoa, semoga setelah ini dia tidak diculik maupun ditangkap oleh orang atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kereta Tiba Pukul Berapa
Genç Kurgu"Kereta tiba pukul berapa?" Kisah singkat dari seorang insan yang telah kehilangan asa nya, namun jiwa kecilnya terbangun pula oleh setitik binar yang datang bersama nya di tahun 96 itu. Membuatnya mulai menikmati kidung yang sebelumnya ia hindari...