01

12 2 0
                                    

"Kalo gitu, tebak, aku masuk smansa jalur apa?" tanya nya dengan sombong. Mata nya berbinar binar.

"Zonasi?" tanyaku dengan cepat.

Ia menggeleng, "Bukan, bukan itu."

Ia terkekeh. "Aku jalur prestasi, prestasi nilai."

Mata Zura membulat. Ia menatap lelaki itu lagi. "Kaget ya?"

Tanya nya, kemudian ia membenarkan rambutnya ke belakang. Lelaki itu menatap Zura dengan mata kecil nya, sembari tersenyum puas.

Zura bertatapan dengan lelaki itu sejenak. Namun lelaki itu sudah menyudahi nya. Lelaki itu mengeluarkan ponsel nya, kemudian mengetikkan sesuatu disana.

Lelaki itu kembali menatap Zura. "Kamu punya IG nggak?" tanya nya. Ia sebentar sebentar menatap ponsel nya, kemudian kembali menatap Zura.

"...aku nggak punya." jawabku. Di pikiranku sudah terbesit kata kata.

"Modus nggak sih?" Batinku. Sepolos apapun Zura, dia juga pasti berpikir dengan logika. Tapi kenapa hanya itu yang aku pikirkan saat melihat dia?

"Waduh, WA aja gimana?" Ia bertanya lagi. Kali ini dengan senyum mempesona.

Aku berpikir sejenak, kemudian aku hanya menganggukkan kepala. Aku men-dikte kan nomorku padanya.

"Nama kamu siapa? Biar aku save."

"Zura."

"Zura?"

Zura mengangguk.

Ia menganggukkan kepala, kemudian ia menyimpan nomorku di hp nya. Sekilas aku melihat ke arah hp nya. Layar nya sedikit gelap.

"iPhone ya..."

Aku menatap lelaki itu. Tampak ia akan mengunyah buah naga itu, kemudian aku bertanya. "...nama mas nya siapa kalau boleh tahu?"

Ia menaruh buah naga yang akan ia makan, kemudian menatapku. "Aku Arven."

Aku mengangguk paham. "Salam kenal ya." ucapku, dengan senyum tipis.

Arven tak berhenti menatapku. Ia mengunyah buah naga itu, kemudian menatapku lagi.

"Jujur, aku dulu alumni spada." ucapnya. Aku mengangguk lagi.

"Tapi pas kelas 8 aku udah pindah ke sekolah lain." lanjutnya.

Aku mengangguk lagi.

Mati topik. Kemudian aku berusaha mencairkan nya.

"Tebak aku anak ke berapa di keluarga ku." tanyaku dengan nada yang hampir sama dengan dirinya.

"Anak terakhir?" tebaknya. Hal itu memang tidak salah, Zura satu satunya anak terakhir di keluarga nya. Orang tua nya sudah lelah punya anak banyak.

Aku mengangguk, "Iya. Anak ke-6."

Mata Arven membelalak ketika mendengarnya. Menurut dia, mempunyai 3 anak saja sudah banyak apalagi 6 anak.

Aku terkekeh geli ketika melihat ekspresi wajahnya. Lucu dan konyol untuk dilihat. Puas rasanya melihat wajah kebingungan itu.

Setelah beberapa saat, aku akhirnya bertanya padanya. "Mas nya anak keberapa?"

Ia menjawab,"Aku anak kedua. Dari 3 bersaudara."

Hanya itu saja. Aku mengangguk, kemudian aku menceritakan tentang keluarga ku padanya.

"Sebenarnya aku kalo di rumah itu... lebih diem daripada kakak kakak ku yang lain.

Jarak umur ku sama mereka itu jauh. Umurku, dengan umur kakak ku yang pertama itu beda 14 tahun. Jadi, jelas aku pasti jarang bisa bertemu dengan dia.

Sama, kakak kedua ku cuma berjarak satu tahun sama kakak pertama ku. Kakak kedua ku kuliah di Madura, dan dia ini... Jarang pulang." ucapku.

Arven berpikir sejenak, kemudian ia bertanya. "Kamu bukan asal sini ya?"

Aku mengangguk.

"Aku dari Kalimantan."

Bibir Arven membentuk O. "Soalnya logatmu kaya bukan orang sini... Terus wajah kamu juga cantik banget."

Arven menatap Zura dengan tatapan manis, dengan tatapan polos.

○○○

"Dia itu sebenarnya ganteng tapi bukan yang guuaannteenngg banget gitu. Nggak putih, cuman dia tinggi." ucapku kepada ketiga temanku.

Zura mempunyai 3 teman yang dekat dengannya. Pokoknya nempel terus mereka berempat.

Kalau dari awal MPLS, yang pertama kali deket sama Zura itu Kano. Kano ini termasuk jarang senyum, tapi sekali senyum itu manis banget.

Lalu, Zura juga jadi dekat dengan Nagi. Zura sempat bingung, Nagi ini cewek atau cowok. Ternyata cewe, namanya aja yang emang bikin nge-lag orang.

Datanglah satu cewek lagi ke mereka bertiga, Rayner. Mereka semua cewek, kok. Rayner jadi deket sama mereka karena saat pramuka.

Mereka ini standar. Nggak pinter-pinter amat, nggak se-bodoh itu. Kecuali Kano, dia ini spesies berbeda. Dia anaknya rajin banget, catatan dan tulisan nya rapi. Tidak heran kenapa dia jadi anak berprestasi di sekolah. Bahkan baru beberapa hari setelah MPLS, sudah ada kabar dia juara nasional IPA.

Kano anaknya nggak neko-neko. Dia bakal bilang dia mau apa, namun kalau tidak dia juga tidak bilang apa apa.

Berbeda dengan Rayner yang kalau ingin sesuatu, ngode dulu. Kalau orang yang di kode tidak paham, dia malah menjadi kesal sendiri.

Bagaimana dengan Nagi? Nagi anak nya kalem, manut manut. Tapi kalau kalian merasa Nagi ini pendiam, kalian salah besar. Nagi, sekali nyaman dengan orang lain itu keluar sifat asli nya. Suara tawa nya yang menggema, mirip kunti bogel di tengah malam.

"Buset. Pepet terus ju," kekeh Nagi.

Zura biasa dipanggil Juju dengan Kano and friends. Rasanya sedikit susah untuk memanggil nama nya yang simpel, Z-U-R-A. Karena Nagi cadel, alias tidak bisa berbicara huruf R. Lucu rasanya mendengar dia berbicara dengan kata yang ada huruf R nya. Huruf R nya jadi hilang. Apalagi bagian Zu nya. Lidah orang jelas lebih suka menyebut J daripada Z.

Hingga akhirnya muncul lah nama Juju.

"Tapi nek ngunu iku biasane modus cuy." ucap Kano. Di balas dengan anggukan Rayner.
(Tapi kalo begitu biasanya modus cuy.)

Zura berpikir lagi. Memang benar, biasanya lelaki seperti itu modus. Atau mungkin ada alasan tersendiri?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang