SR:01

141 12 1
                                    

Jalanan kota Bandung— sang tempat kelahiran begitu ramai akan kendaraan yang berlalu lalang pergi.

Hangatnya langit sore, dengan warna jingganya mampu membuat keindahan pada detik-detik pergantian malam.

Kawasan taman sore ini cukup ramai disinggahi para pengunjung yang datang sekedar untuk singgah sejenak melepas penat, maupun bercanda ria dengan tawa senyuman. Adapun anak kecil yang berlarian kesana-kemari dengan bahagianya tanpa beban kehidupan.

Dibangku panjang putih taman, terlihat sosoknya yang mengadah ke atas menatap lembayung senja. Hadirnya sang jingga dengan balutan warna cantiknya mampu membuat getaran Kilauan kagum bagi yang memandang, pun pada sang bayu yang turut hadir menyapa.

Wajah dengan mata binar cerah masih senantiasa memandang sembakala yang kian redup warnanya.

Hingga helaan nafas panjang menjadi penutup singgahnya pada bangku taman.

ᝰ.ᐟ

Kakinya melangkah dengan waspada. Tangan gempal nya meremat ujung tas hitam yang hinggap pada punggung sempitnya.

Dirasa aman, ia bernafas dengan lega nya. Langkahnya dibawa naik keatas pada kamar kesayangannya. Ruangan dengan nuansa tema angkasa kini tampak oleh netra.

"Papa, sama abang kayaknya pulang malem deh. Kalau Asta bikin makan malam, bakalan kemakan nggak ya, sama mereka?" Bibir merah merekah itu bermonolog dalam kesunyian kamar.

Diamnya, masih asik berfikir apakah dirinya harus memasak atau memilih mengistirahatkan tubuhnya yang sudah penat.

"Masak aja kali ya, kalaupun nggak dimakan bisa di angetin buat besok pagi," Finalnya

Dengan langkah riang, tungkai nya melangkah ke bawah ke area dapur yang siap untuk dijadikan kandang bubrah oleh kegiatannya.

Tangannya begitu lihai memotong-motong bahan-bahan makanan. Menu nya hanya sederhana, ia hanya membuat soup ceker dengan sambal terasi sebagai pelengkap.

Kepulan asap panas terlihat pada soup ceker yang tandanya sudah matang dan siap untuk dihidangkan.

Tubuhnya dibawa kesana kemari dengan gesitnya. Meja makan panjang yang awalnya kosong kini sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan untuk menyambut mereka yang belum pulang.

Walaupun dirinya tak yakin, apakah santapan buatannya akan dilahap atau malah hanya dibiarkan begitu saja.

Hingga suara ketukan pada sepatu menjadi penanda bahwa salah satunya sudah tiba.

"Papa, selamat datang ke rumah." Sambutan ceria dengan senyuman manisnya mengudara. Namun nyatanya hanya dibalas diam dengan wajah datarnya.

Senyuman manis itu pun tak luntur dari raut wajahnya. Dirinya pun sudah biasa diacuhkan, seakan keberadaan hanya tertumbuk pandangan.

"Asta, udah siapin makanan buat papa sama abang. Hari ini menu nya soup ceker sama sambal. Makanan favoritnya papa." Ucapnya dengan menggebu-gebu

"Nggak perlu, saya udah makan di kantor."

Balasan dari Pradipta— Sang ayah membuatnya menyunggingkan senyuman canggung yang kentara.

Lebih tepatnya, Pradipta Raespati Hananda— Sosok ayah hebatnya yang begitu ia kagumi juga ia harapkan kehangatan akan dekapan pelukan.

"Nggak apa-apa. Nanti Asta tawarin ke abang-abang aja. Siapa tau salah satu dari mereka ada yang belum makan." Balas Asta, masih dengan harapannya.

Pradipta tak membalas ucapan putra bungsunya dan memilih melenggang pergi menuju kamarnya.

Asta hanya mampu tersenyum kecil, melihat punggung tegap sang papa yang kian menghilang dari arah pandang.

"Mungkin lain kali," Gumamnya lirih

Asta memilih duduk diruang tengah sembari menunggu kedatangan para abangnya.

Dan benar tak berselang lama, presensi para abangnya terlihat memasuki rumah. Asta lantas berdiri, lalu berlari kecil menyambut mereka dengan senyuman.

"Selamat datang ke rumah, abang. Asta udah siapin makanan dimeja makan. Baru aja mateng, dijamin masih anget." Ujarnya semangat sembari memamerkan deret gigi putih rapinya.

"Nggak usah caper deh jadi orang! Lagian siapa juga yang mau makan masakan dari pembunuh." Ucapan pedas dari Agra— abang ketiganya membuat Asta menunduk dalam diam.

"Asta, cuma khawatir kalau abang belum makan. Jadi Asta buatin makanan buat kalian, tapi kalau abang udah pada makan syukur kalau gitu. Jadi, Asta nggak perlu ngerasa khawatir lagi," Asta mengulas senyuman. Walaupun kendati demikian dadanya terasa di remat akibat penolakan.

"Besok-besok nggak usah masak, deh. Buang-buang bahan masakan aja lo! Sok-sokan mau cari perhatian lagi dari kita-kita. Sampek matipun, lo nggak akan dapetin itu!" Sentak Alan dengan raut wajah benci nya.

"Makasih ya abang, udah ngingetin Asta. Asta bakalan inget selalu ucapan Bang Alan barusan," Alan hanya bisa mendengus kesal melihat wajah yang selalu menampilkan senyuman yang membuatnya muak.

"Enek banget gue liat muka lo! Kapan matinya sih?!" Sahut Agra dengan rasa kesal yang membuncah.

Asta hanya bisa terdiam, jemarinya meremat ujung kaosnya. Kata menyakitkan itu hadir dalam sebuah ucapan yang terkesan seperti perintah.

"Nanti, kalau tuhan udah manggil Asta buat pulang. Kalau waktunya tiba, abang jangan nangisin Asta." Balas Asta dengan Kekehan kecilnya

Agra tersenyum remeh, apa barusan menangis? Akan sangat sia-sia air matanya menangisi pembunuh sialan ini.

"Gue? Nangisin lo? Nggak akan dan nggak usah mimpi! Gue bakalan jadi orang yang paling bahagia kalau lo mati!" Tutur Agra

Asta tersenyum dan menganggukkan kepalanya mantap. Menatap mata biru yang persis seperti dirinya.

"Eum! Asta tau itu,"

Tidak ada yang benar-benar tau bahwasanya dirinya berusaha sekuat tenaga agar tetap hidup.

Karena sekeras apapun usahanya, papa dan abangnya yang paling semangat dalam menanti kematiannya.

"Asta bakalan wujudin hal itu, tapi nanti. Biarin Asta berjuang buat dapetin pelukan kalian dulu, ya. Kalau nanti, Asta udah capek. Asta janji bakalan pulang seusai permintaan yang selalu papa dan abang nantikan."

SEBASTA RAESPATI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang